NOTULENSI MINI-WORKSHOP
RUANG REFLEKSI
·
Pembukaan oleh MC
MC membuka acara dengan memperkenalkan tema mini-workshop. Kemudian, MC juga
memperkenalkan diri, yang meliputi latar belakang pendidikan dan peran di
Komunitas Halo Jiwa. Selain itu, MC juga memaparkan gambaran singkat mengenai concern Komunitas Halo Jiwa, yang fokus
mempromosikan isu-isu kesehatan mental. Setelah itu, MC menyebutkan akun media
sosial maupun alamat website Halo
Jiwa, serta mengajak kepada peserta untuk berkunjung ke akun Halo Jiwa.
Selanjutnya, MC membacakan rangkaian acara mini-workshop,
mulai dari pembukaan yang sementara berlangsung, hingga sesi foto bersama.
Secara spesifik, rangkaian acara mini-workshop
Ruang Refleksi, meliputi pembukaan, sambutan, pengenalan topik dan pemateri
oleh moderator, pemaparan materi, sesi tanya jawab, penutup, serta foto
bersama. Setelah itu, MC menyampaikan apresiasi kepada sejumlah media partner, yang selama ini membantu
publikasi acara. Media partner tersebut, meliputi Kitabisa.com, Wounder, Payung
Jiwa, Dekap, ILMPI Wil. VI, Imbang Diri, Lingkar Psikologi, Peduli Remaja
Indonesia, Literasi Banua, serta Kartala Project. Terakhir, sebelum memberikan
kesempatan kepada moderator, MC membacakan ground
rules yang seyogianya dipatuhi oleh peserta selama penyampaian materi
berlangsung, demi menjaga ketertiban acara. Ground
rules tersebut meliputi himbauan kepada peserta agar tidak mengaktifkan
mikrofon dan mencoret layar selama pemaparan materi. Kemudian, bagi peserta
yang ingin bertanya, diharapkan untuk menggunakan fitur raise hand, atau bisa menuliskan pertanyaan di kolom chat. Dalam hal ini, moderator akan
memilih beberapa pertanyaan yang masuk untuk dijawab oleh pemateri.
·
Pengantar oleh Moderator
Moderator memperkenalkan diri, sekaligus memberikan sedikit
pengantar mengenai topik mini-workshop yang
diangkat. Mini-workshop ini
bertemakan ‘Melatih Keterampilan Mendengarkan secara Aktif dan Empati, untuk
Menolong Insan dan Membina Relasi Sosial secara Positif.’ Dalam hal ini,
moderator menjelaskan bahwa sering kali individu dihadapkan pada berbagai
persoalan hidup. Pada saat seperti itu, sebagian orang terdorong untuk berbagi
kepada orang terdekatnya, dengan harapan bisa merasa lebih ringan dan lega.
Akan tetapi, ada kalanya bercerita dengan orang lain, justru membuat kondisi
semakin terpuruk. Di sisi lain, sebagai pendengar terkadang sulit memosisikan
diri ataupun memahami persoalan yang diceritakan oleh seseorang yang curhat.
Dikarenakan pada dasarnya,
tidak semua orang memiliki keterampilan mendengarkan yang
baik. Maka dari itu, melalui mini-workshop
ini, pemateri akan memfasilitasi peserta untuk lebih memahami bagaimana
proses menjadi pendengar yang aktif dan berempati. Setelah memberikan pengantar secara umum mengenai topik mini-workshop, moderator memperkenalkan
pemateri, sekaligus membacakan riwayat pendidikannya. Dalam hal ini, pemateri
atas nama Bu Umniyah Saleh, S.Psi., M.Psi., Psikolog, merupakan dosen Prodi
Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin. Pemateri merupakan
lulusan magister profesi psikologi klinis, Fakultas Psikologi, Universitas
Gadjah Mada. Saat ini, pemateri menjabat sebagai sekretaris Asosiasi Psikologi
Positif Indonesia (2018 sampai sekarang), dan sebagai sekretaris di Pusat
Kajian Keluarga, Prodi Psikologi Unhas (2017 sampai sekarang).
·
Sesi Materi
Pemateri mengawali sesinya dengan menyapa peserta mini-workshop. Dalam hal ini, pemateri
melihat sebagian peserta berasal dari Prodi Psikologi Unhas, sehingga familiar.
Kemudian, pemateri juga menyapa sejumlah pengurus Halo Jiwa, yang meliputi
founder yaitu saudara Azmul Fuady Idham, dan sekretaris saudari Syurawasti
Muhiddin. Setelah itu, pemateri mulai dengan memaparkan tahapan kegiatan, yang
meliputi berbagi harap, sharing pengalaman,
penyampaian materi, serta sesi penghayatan. Rangkaian tersebut diawali dengan
sesi berbagi harap. Pada sesi ini, sejumlah peserta menuliskan harapannya
mengikuti mini-workshop di kolom chat. Menurut seorang peserta,
mendengarkan merupakan hal yang sulit, sehingga harapannya melalui mini-workshop ini, skill mendengarkan bisa lebih terasah. Kemudian peserta lainnya,
berharap bisa menjadi pendengar dan caregiver
yang baik, serta bagaimana menunjukkan respons empati kepada seseorang yang
bercerita. Sementara itu, seorang peserta yang merupakan pengasuh Pondok
Pesantren, berharap bisa menjadi pendengar yang baik bagi para santri yang jauh
dari orang tua dan keluarga. Selain itu, ada pula peserta yang berharap bisa
menjadi lebih positif dan mampu memberikan respons yang tepat, ketika
mendengarkan orang lain. Kemudian, terdapat pula seorang peserta yang ingin
lebih memahami orang lain, tanpa menjustifikasi atau mencampuradukkan persoalan
dengan pengalaman diri sendiri. Dalam hal ini, harapan dari peserta cukup
beragam, untuk mengikuti mini-workshop ini.
Menurut pemateri, pada intinya, secara garis besar harapan peserta, yaitu ingin
mulai menjadi pendengar yang baik, bisa memahami, mampu menunjukkan respons
empati secara tepat, menjadi lebih peka, lebih positif melihat diri, dan untuk
menolong orang lain. Terkait hal ini, para peserta berasal dari background yang berbeda-beda, di mana
terdapat seorang peserta yang merupakan seorang caregiver, kemudian ada pula sebagai pengasuh di Pesantren.
Tujuannya sama, yaitu untuk membantu orang lain, meringankan persoalannya. Setelah menyimpulkan hasil berbagi
harap, pemateri menekankan kepada peserta untuk seyogianya ‘menghadir’ selama
penyampaian materi. Dalam hal ini, peserta telah memilih untuk ikut mini- workshop ini, maka konsekuensinya
adalah sebaiknya bisa here and now dan
menghadirkan diri sepenuhnya. Harapannya, peserta bisa meninggalkan sejenak
pekerjaan lain, kemudian ikut sesi materi. Karena pada dasarnya, hanya dengan
‘menghadir’, berbagai harapan dari peserta bisa terwujud, di mana bukan pemateri
ataupun orang lain yang bisa mewujudkannya, melainkan dari diri sendiri, yang
memilih untuk here and now.
Selanjutnya, pemateri mendampingi peserta untuk sharing pengalaman, terkait dengan
mendengarkan orang lain. Pada sesi ini, Saudari Retno berbagi mengenai
pengalamannya mendampingi penyintas pandemi, di mana terdapat seorang penyintas
yang mengalami keterpurukan, karena suaminya meninggal. Saudari Retno
menyampaikan perasaan dilema, ketika mendampingi penyintas tersebut, yang ada
kalanya menangis dan kembali teringat dengan mendiang suaminya. Kemudian,
seorang peserta lainnya, Saudari Bulqis, berbagi mengenai bagaimana dirinya
merasa senang ketika mendengarkan cerita orang lain. Menurut Bulqis, cerita
dari orang lain membuat diri terhanyut, sehingga seolah-olah turut merasakan
berada di posisi orang tersebut. Ketika mendengarkan orang lain, Bulqis merasa
senang, saat menyadari bahwa dirinya tidak sendiri mengalami persoalan hidup.
Sementara itu, terdapat pula seorang peserta yang berbagi mengenai pengalamannya
mendengarkan curhatan teman. Peserta tersebut merasa bingung, bagaimana
sebaiknya merespons curhatan seorang teman. Ada kalanya, ketika memberi saran,
temannya malah menilai dirinya sebagai tidak pengertian. Maka dari itu, peserta
tersebut merasa sulit menentukan, kapan sebaiknya memberi saran atau kapan
seseorang bercerita kepadanya, dengan tujuan hanya ingin sekedar didengarkan.
Setelah sharing pengalaman,
pembicara mengawali sesi materi, dengan ungkapan, “Semua orang mau didengarkan,
tapi apakah mereka mampu mendengarkan. Nah itulah yang akan dibahas lebih
lanjut.” Menurut pemateri, mendengarkan orang lain bukanlah hal yang mudah,
sehingga butuh keterampilan. Namun tidak mudah bukan berarti tidak bisa, maka
perlu dilatihkan. Sehingga melalui pembahasan ini, harapannya peserta bisa
melatihkan keterampilan mendengarkan pada diri sendiri. Dalam pembahasan
selanjutnya, hal-hal yang menjadi intisari meliputi, memahami apa itu
mendengarkan aktif, kemudian memahami apa itu empati, hingga pada akhirnya bagaimana
melatihkan keterampilan mendengarkan secara aktif dan empati. Realitas dalam relasi sosial kerap diwarnai oleh
kepelbagaian. Seperti latar belakang yang berbeda-beda. Peserta dalam mini-workshop ini juga berasal dari
latar budaya yang beragam, ada yang dari Sulawesi, dari Jawa dan sebagainya.
Kemudian, tentunya latar belakang yang berbeda, memengaruhi value
yang berbeda pula. Setiap individu memiliki nilainya masing-masing dan
kebenaran menurut versi diri sendiri. Sehingga tentunya, kebutuhan dan
kepentingan setiap orang pun akan berbeda. Maka tidak heran, jika kita
cenderung ingin dipahami. Belum lagi, tantangan perkembangan teknologi yang
pesat, yang menuntut kita untuk bisa menyesuaikan diri. Termasuk terhadap
pertemuan mini- workshop ini yang
diadakan secara virtual. Tentunya dengan berbagai kendala tersendiri, namun di
sisi lain cukup memudahkan, untuk bertemu di ruang yang sama, meski terpisah
jarak satu sama lain. Serangkaian kondisi tersebut rentan memicu terjadinya
konflik, apabila sulit menyesuaikan ataupun ketika tidak mampu menyelaraskan.
Maka dari itu, dibutuhkan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif. Hal ini
meliputi kemampuan menyampaikan pesan secara tepat, keterampilan mendengarkan,
hingga bagaimana kita membangun dan menunjukkan empati. Relasi sosial setiap
individu tentunya beragam dan luas, mulai dari dimensi antar-pribadi, dengan
anggota keluarga, rekan, hingga relasi yang lebih luas, yaitu masyarakat.
Dengan adanya berbagai keterampilan tersebut, individu tentunya bisa menjalin
suatu relasi yang positif, produktif, yang pada intinya bisa optimal.
Setiap individu telah dibekalkan potensi yang unik oleh
Sang Pencipta. Salah satu hal yang sering kali diabaikan, yaitu pengindraan.
Dari sini, kita akan lebih mengetahui apa yang membedakan antara mendengar (hearing) dengan mendengarkan (listening). Sebelumnya apakah kita
pernah mengalami situasi-situasi berikut. Pertama, sibuk dengan pikiran sendiri
ketika mendengar orang lain berbicara. Kemudian, apakah kita pernah cepat
menyimpulkan sebelum orang lain selesai berbicara. Selanjutnya, apakah kita
pernah sibuk memikirkan respons apa yang akan kita tunjukkan, untuk menanggapi
orang lain yang berbicara. Terhadap sejumlah pertanyaan tersebut, pemateri
mengajak peserta untuk mengecek di diri sendiri, situasi mana yang masih
cenderung dialami. Menurut pemateri, jika kita sering mengalami situasi tersebut,
maka masih kurang kemampuan mendengarkan. Sehingga masih perlu dilatihkan
kemampuan mendengarkan. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri situasi tersebut
ada kalanya sulit dihindari, ketika sedang mendengar orang lain bercerita. Dari
situasi-situasi tersebut, sejumlah peserta mengaku pernah mengalami hal yang
serupa. Seperti sibuk dengan diri sendiri ketika mendengar orang lain yang
berbicara. Ada juga yang cepat menyimpulkan sebelum orang lain selesai
berbicara. Hingga ada juga peserta yang pernah mengalami ketiga situasi yang
disebutkan. Bagi pemateri, ketiga situasi tersebut hanya sebagian kecil dari
hal-hal yang bisa saja terjadi selama mendengar orang lain. Namun pada umumnya,
ketiga situasi tersebut yang cenderung dialami oleh sebagian orang. Dengan
memahami berbagai situasi yang terjadi selama mendengar
orang lain, maka kita menjadi
paham apa yang masih perlu dibenahi. Karena pada dasarnya, keterampilan
mendengarkan dibangun mulai dari diri sendiri.
Mendengar dan mendengarkan adalah dua hal yang berbeda.
Bagi pemateri, semua peserta saat ini sedang mendengar. Apakah mendengar suara
pemateri atau misalnya mendengar moderator. Namun apakah bisa dikatakan
mendengarkan, jawabannya adalah belum tentu. Mendengar adalah bagaimana kita
menerima stimulus berupa suara, kemudian oleh organ sensori melalui sistem
syaraf, diantarkan ke otak, untuk diterjemahkan, suara apa yang sedang kita
dengarkan. Akan tetapi, mendengarkan adalah hal yang berbeda. Ketika mendengarkan
terdapat hal-hal yang perlu dilakukan. Mendengarkan adalah kegiatan komunikasi
yang paling penting, selain membaca dan menulis. Dalam mendengarkan, sebaiknya
kita bisa mencapai active listening.
Mendengarkan secara aktif dilandasi oleh kesadaran dan rendah hati. Kita sadar
bahwa kita siap untuk mendengarkan orang lain. Jika kita dalam kondisi yang
tidak siap atau tidak sepenuhnya sadar, maka akan sulit untuk mendengarkan.
Kita dalam kondisi kesadaran yang penuh dan ‘menghadir’. Maka dari itu, di awal
pemateri menekankan untuk sebaiknya ‘menghadir’. Ketika peserta sudah memilih
untuk ikut mini-workshop ini, maka
konsekuensinya adalah hadir secara penuh. Kemudian, yang tidak kalah pentingnya
adalah rendah hati. Dalam kondisi yang tidak rendah hati, di mana kita merasa
lebih daripada orang lain, maka akan sulit mendengarkan. Jika tidak rendah
hati, maka kita akan terperangkap dalam berbagai situasi yang sudah dijelaskan
sebelumnya, di mana kita akan cenderung sibuk dengan diri sendiri atau sibuk
memikirkan respons apa yang akan kita berikan kepada orang lain yang bercerita.
Mendengarkan adalah melibatkan diri sepenuhnya, menghadirkan diri secara penuh.
Ketika memilih untuk mendengarkan, maka bukan hanya badan kita yang hadir, tapi
kita juga mengarahkan pikiran kita seutuhnya pada situasi tersebut. Dalam
situasi tertentu, seseorang mungkin mengaku hadir mendengar orang lain
berbicara, namun sambil main gadget,
tentu orang tersebut tidak sedang mendengarkan. Dalam mendengarkan, kesadaran
dan pikiran menjadi satu dan tertuju kepada orang lain yang berbicara.
Proses mendengarkan meliputi tiga dimensi, yaitu
pengindraan (sensing), pengolahan (processing), dan pemberian respons (responding). Pengindraan adalah
memperhatikan atau menyimak sesuatu secara seksama, baik verbal maupun
nonverbal. Dalam mendengarkan, semua indra kita gunakan. Mata kita gunakan
untuk mengobservasi dan menangkap pesan yang disampaikan. Karena pada dasarnya
bukan hanya pesan melalui kata-kata, ada
juga pesan non-verbal. Apa yang ditunjukkan melalui body language atau gestur. Karena tidak menutup kemungkinan apa
yang diucapkan bisa saja berbeda dengan ekspresi yang ditunjukkan. Seseorang
bisa saja mengatakan dia sedang merasa sedih, namun dengan tanpa menunjukkan ekpresi kesedihan. Atau mungkin dia mengatakan sedang senang, dengan ekspresi yang datar. Maka patut
dipertanyakan, apakah ia betul sedang baik-baik saja atau bagaimana. Kemudian,
ketika mendengarkan, sebaiknya kita menunjukkan sikap tubuh yang sesuai.
Misalnya, dengan sikap tubuh yang condong ke depan, yang secara tidak langsung
menunjukkan bahwa kita sedang siap dan penuh kesadaran untuk mendengarkan.
Sekaligus menjadi pesan bahwa kita ada untuk dia, dia tidak sendiri, kita
tertarik untuk mendengarkan, dan kita ingin ‘menghadir’ untuk mendengarkan
ceritanya. Sementara itu, ada pula sikap tubuh yang sebaiknya dihindari,
seperti melipat tangan ketika orang lain bercerita.
Sikap tubuh seperti ini
menunjukkan bahwa kita sedang tertutup dan tidak siap untuk mendengarkan. Kemudian,
dimensi lain yang dibutuhkan saat mendengarkan adalah proses pengolahan
informasi. Bagaimana kita menafsirkan pesan-pesan yang ditangkap melalui
pengindraan. Proses penafsiran ini menjadi penting, karena akan menentukan
seberapa baik respons yang bisa kita berikan. Ketika merespons orang lain, kita
bisa paraphrasing, menceritakan
kembali apa yang menjadi inti pesannya. Mendengarkan secara aktif bukan berarti kita hanya diam dan mendengar.
Namun sebaiknya kita memberikan respons yang sesuai. Bukan hanya badan kita
saja yang hadir, namun pikiran, kesadaran, dan pengindraan tertuju pada orang
yang bercerita. Ada kalanya, ketika selesai bercerita, teman kita kembali
menanyakan, apa yang tadi kita sampaikan. Hal ini akan membuat kita berpikir,
bahwa ternyata ia tidak sedang mendengarkan kita, namun hanya badannya saja
yang hadir. Maka dari itu, penting untuk menunjukkan respons yang tepat.
Sehingga orang lain pun berpikir, bahwa kita paham ceritanya, dengan kita mampu
paraphrasing atau menceritakan kembali
inti pesan yang disampaikan menurut versi diri sendiri, dan sesuai dengan apa
yang diceritakan. Terkait hal ini, pemateri mengajak peserta untuk mengecek ke
diri, apakah sudah bisa menerapkan hal-hal tersebut ketika mendengarkan. Jika
belum, silakan mulai mencatat poin-poin apa saja yang akan diterapkan dan
dikembangkan dari dirinya, ketika kelak mendengarkan orang lain.
Selanjutnya, pemateri menjelaskan mengenai ragam Listening Blocks. Pertama, terkait mind reading, di mana seseorang merasa
ia sudah paham dengan pesan yang disampaikan, sebelum orang lain benar-benar
selesai bercerita. Seolah-olah ia tahu apa yang hendak disampaikan oleh orang
tersebut, sehingga cenderung menebak-nebak kondisi yang sedang dialami oleh
orang lain. Kemudian, rehearsing, di
mana kita sibuk sendiri memikirkan respons apa yang kita berikan, untuk
menanggapi orang lain yang bercerita. Sehingga pada akhirnya tidak fokus
mendengar pesan yang disampaikan, tapi justru sedang bermain dengan pikiran
sendiri. Kemudian, ada pula filtering,
di mana kita melakukan seleksi terhadap cerita orang lain. Kita hanya ingin
mendengarkan cerita tertentu, dan cenderung
mengabaikan cerita yang lain. Sementara, kita perlu mendengarkan secara utuh untuk bisa memahami seseorang. Terkait hal
ini, jika pernah melakukan filtering, pemateri mengajak peserta
untuk segera bergeser. Kemudian, jenis listening
blocks lainnya, yaitu daydreaming,
di mana ketika mendengarkan seseorang bercerita, ada kalanya kita melamun dan
tidak fokus. Sekilas kita terlihat mendengar, namun sebenarnya pikiran kita
sedang fokus pada hal lain atau bahkan sedang memikirkan banyak hal secara
random.
Sementara itu, sebaiknya ketika kita mendengarkan, kita menghadir
sepenuhnya dan pikiran kita difokuskan kepada orang lain yang bercerita. Listening blocks selanjutnya, yaitu advising, tergesa-gesa memberikan
nasihat sebelum mendengarkan cerita orang lain secara utuh. Padahal tidak semua
orang yang bercerita membutuhkan nasihat dari kita. Ada kalanya, seseorang
bercerita hanya untuk didengarkan atau sekedar memastikan bahwa masih ada orang
yang bisa memahami posisinya. Lagipula kita tidak harus selalu menyediakan
solusi bagi permasalahan orang lain. Terkait hal ini, kita terkadang terdorong
memberikan nasihat kepada seseorang yang menceritakan hal yang pernah kita
alami. Kita terjebak dalam pikiran bahwa ketika saya sudah mengalami hal yang
serupa dan berhasil melewatinya dengan baik, artinya orang lain juga harus menerapkan
apa yang telah saya lakukan, agar bisa mengatasi masalahnya. Padahal setiap
orang mengalami proses yang berbeda-beda dalam dirinya, meski permasalahan yang
diceritakan terdengar mirip dengan yang pernah kita alami. Apalagi sampai
menghakimi cerita orang lain, yang mana hal ini juga termasuk listening blocks, judging. Sebelum menyampaikan kritik atau evaluasi kepada orang
lain, sebaiknya kita mendengarkan terlebih dahulu, kemudian memahami sudut
pandangnya. Hindari memberikan penilaian dengan menggunakan standar diri
sendiri, yang sifatnya subjektif. Sehingga kita bisa terhindar dari merendahkan
atau meremehkan orang lain. Setiap orang memiliki kisahnya masing- masing. Apa
yang sederhana menurut kita, belum tentu juga mudah bagi orang lain. Begitu juga
sebaliknya, maka yang dibutuhkan adalah rendah hati untuk mau memahami
bagaimana berada di posisi orang lain.
Mengapa seseorang sulit mendengarkan? Bagi pemateri, proses
mendengarkan bisa saja terhambat oleh berbagai hal, yang disebut dengan noise. Noise ini ada beragam bentuknya, yang meliputi physical noice, physiological noice, semantic noice, dan psychological
noice. Physical noice, contohnya
suara kendaraan, dering HP, dan lain- lain. Physiological
noice, mengarah pada abnormalitas organik, seperti gangguan bicara atau
gangguan artikulasi. Semantic noice mengarah
pada penggunaan istilah-istilah yang sulit dipahami atau kurang familiar. Bisa
jadi karena faktor perbedaan budaya, bahasa, dan latar belakang lainnya.
Kemudian psychological noice terkait dengan
emosi dan pikiran yang muncul ketika mendengarkan orang lain, yang bisa saja
tidak relevan dan kurang disadari.
Selanjutnya, pemateri memberikan mini-assesment kepada peserta, untuk mengetahui sejauh mana diri
bisa menjadi pendengar yang baik. Dalam assessment
tersebut, terdapat 11 pernyataan dalam bentuk skala linear, di mana peserta
diminta untuk mengisikan skor dari rentang 1-4. Dalam hal ini 1 berarti sering,
2 kadang-kadang, 3 jarang, serta 4 tidak pernah. Adapun kesebelas pernyataan
tersebut, meliputi: saya mengecek HP atau layar laptop/komputer selama
percakapan, ketika orang membuat komentar membingungkan saya merasa kesal, saya
mudah teralihkan selama percakapan, saya menjaga kontak mata dengan yang
berbicara dengan saya, saya berkomunikasi lebih banyak melalui pesan teks/email
daripada tatap muka, saat orang lain berbicara saya memikirkan apa yang akan
saya katakan selanjutnya, saya mengatakan apa yang saya pikirkan tanpa
memfilter komentar saya, saya tidak sengaja menyinggung orang lain, saya bisa
tahu bagaimana perasaan seseorang berdasarkan bahasa tubuh mereka, orang-orang
mengeluh bahwa saya tidak mengerti mereka, serta pernyataan saya beradu argumen
dengan orang lain.
Setelah peserta mengisi assessment
tersebut, pemateri memaparkan interpretasi skor, yang meliputi rentang 11- 25, 26-39, serta 40-44. Dalam hal ini,
skor yang telah diisikan oleh peserta untuk masing- masing pernyataan,
ditotalkan. Mayoritas peserta menunjukkan skor akhir 26-39, kemudian terdapat
pula peserta yang menunjukkan skor di rentang 11-25. Masing- masing rentang
skor akhir, bermakna sebagai berikut: 11-25 berarti keterampilan mendengarkan
Anda perlu ditingkatkan. Sulit bagi Anda untuk mendengarkan orang lain, dan
pesan Anda sering disalahpahami. Kemudian, 26-39 berarti keterampilan
mendengarkan Anda cukup baik. Anda memiliki beberapa keterampilan untuk menjadi
pendengar yang baik, tapi masih ada lagi yang harus dipelajari. Terakhir, skor
40-44 bermakna keterampilan mendengarkan Anda secara keseluruhan bagus, tetap
terbuka untuk melakukan beberapa penyesuaian.
Bagi pemateri, untuk mendengarkan orang lain, pertama kita
sebaiknya mampu mendengarkan diri sendiri. Mengapa penting untuk mendengarkan
diri sendiri? Hanya dengan mendengarkan diri, maka kita bisa mengenali diri.
Mengenal diri termasuk terhadap emosi, hal-hal yang membuat kita merasa tidak
nyaman, tujuan kebutuhan, dan sebagainya. Ketika kita tidak dapat mengenal
emosi diri sendiri, mengidentifikasinya, serta sulit menggambarkan emosi yang
dirasakan, maka tentu saja akan sulit untuk memahami ekspresi emosi orang lain.
Kemudian hal lainnya yang tidak kalah penting, yaitu terkait respek diri. Hanya
apabila kita respek terhadap diri sendiri, maka baru kita bisa respek ke orang
lain. Untuk bisa mendengarkan, individu minimal mencapai level 80 dari respek
diri. Jika kurang dari itu, maka respek diri yang dimiliki hanya sebatas tidak
melakukan kesalahan, belum sampai pada kontribusi untuk orang lain. Ketika
seseorang bisa respek ke diri sendiri, maka ia juga lebih mampu untuk regulasi
emosi. Ia paham kapan
dirinya sedang tidak siap untuk mendengarkan atau bagaimana mengontrol aspek
emosi yang dirasakan selama mendengarkan orang lain. Kemudian penting juga
untuk mengidentifikasi asumsi-asumsi yang muncul dalam pikiran. Termasuk
mengenali listening blocks yang
sering dialami. Dengan mengenali hal tersebut, maka kita bisa lebih antisipasi
ke depannya.
Esensi dari mendengarkan adalah empati. Empati merupakan
basis dari relasi sosial yang baik. Tanpanya, individu akan sulit berinteraksi
dengan orang lain, karena cenderung tidak adaptif. Sama halnya dengan
mendengarkan, kita membutuhkan empati. Hanya dengan berempati kita bisa
memahami sudut pandang orang lain, tanpa penilaian. Namun sebaliknya, kita
penuh penerimaan dan mampu merasakan sebagaimana berada di posisi orang lain
yang bercerita. Berempati adalah bagaimana kita mampu mengenali, memahami emosi, pikiran, perasaan, dan sikap
orang lain. Empati dibangun atas kesadaran penuh, sehingga terdapat kontrol
emosi di dalamnya. Berempati bukan berarti kita larut dalam permasalahan orang
lain, sehingga kita mudah terbawa perasaan. Akan tetapi, kita bisa mengontrol
emosi yang sedang dirasakan, karena prosesnya sendiri sepenuhnya disadari.
Kemampuan empati seyogianya dikembangkan sejak individu berusia kanak-kanak,
melalui penerapan pola asuh orang tua yang empatik. Kemudian dalam proses
dewasa, empati dapat dikembangkan melalui mindfulness.
Mindfulness berarti kita menghadirkan
diri, here and now, dan fokus pada
situasi di sini dan saat ini. Mindfulness
berarti bagaimana kita menikmati apa yang ada di sekitar kita dan termasuk
menikmati apa yang sedang kita lakukan.
Terdapat 3 komponen dalam mindfulness, yaitu kesadaran (awareness), pengalaman saat ini (present experience), dan penerimaan (acceptance). Ketika kita mampu melatihkan mindfulness, maka hal itu akan meningkatkan regulasi diri,
penghargaan diri, emosi positif, dan kebersyukuran. Pada akhirnya, hal ini
mendukung pengembangan empati. Mindfulness
dapat diterapkan pada banyak aktivitas, termasuk terhadap aktivitas
sederhana seperti bernafas (mindful
breathing). Bernafas merupakan proses yang otomatis, sehingga jarang
disadari. Akan tetapi dengan mindfulness,
kita bisa merasakan secara sadar bagaimana proses masuknya udara melalui
hidung, kemudian mengalir di sepanjang saluran pernapasan. Maka pada akhirnya,
kita bisa lebih memaknai aktivitas tersebut. Sama halnya dengan aktivitas
sehari-hari, seperti makan, mandi, berjalan, dan sebagainya. Misalnya, dengan mindful showering, kita bisa rasakan air
mengalir di tubuh kita, mulai dari kepala menuruni wajah, kemudian terus turun
ke bawah, hingga membasahi seluruh badan. Ketika berlatih mindfulness, duduklah dalam posisi yang nyaman, rasakan sensasi
tubuh, rasakan pernapasan, sadari pikiran dan emosi, kemudian ucapkan terima
kasih. Dengan menerapkan mindfulness,
hidup kita akan lebih bermakna. Selain itu, kita bisa lebih aware dengan diri sendiri, kemudian
lebih aware dengan sekitar.
------
Bagaimana mengembangkan empathic
awareness skill? Sebelumnya kita perlu menyadari bahwa setiap pribadi
adalah unik, spesial, dan berharga. Kemudian, untuk melatihkannya, ada 4
tahapan, yang dimulai dari diri sendiri kemudian berkaitan dengan hubungan
bersama orang lain. Pertama, kenali dan akui nilai-nilai yang melekat pada diri
dan sadari martabat Anda sebagai manusia. Maka kemudian Anda dapat mengenali
nilai- nilai yang melekat pada orang lain dan menghargai harkat martabatnya
sebagai manusia. Berikutnya, setelah
mampu memahami bahwa setiap orang memiliki nilai pribadi masing-masing,
ciptakan keinginan di diri untuk mendengarkan dan menjalin relasi dengan orang
lain. Terakhir, pikiran hal-hal positif dalam hubungan Anda dengan sesama.
Lalu bagaimana mengembangkan active-emphatic listening skill? Sedikitnya terdapat 5 tahapan
untuk melatihkan skill tersebut.
Pertama, tenangkan pikiran Anda dan fokuslah pada orang lain saat mereka
berbicara. Tempatkan diri Anda di dunia mereka, lihat dari sudut pandang
mereka, kemudian hadirkan diri sepenuhnya, di mana kuncinya adalah here and now. Kemudian, tahap kedua,
dengarkan sepenuhnya dengan sikap terbuka terhadap apa yang dikatakan orang
lain, pahami kata-kata dan bahasa tubuhnya, tanpa bias, tanpa defensif, dan
tentunya hindari memberikan penilaian. Berikutnya, tahap 3 dengarkan pikiran
dan perasaan terdalam dari orang yang berbicara. Terkait poin ini, maka kita
seyogianya menyimak pesan yang disampaikan orang lain, dan tentunya kita
sebaiknya meminimalkan munculnya listening
blocks.
Selanjutnya, tahap keempat, usahakan mendengar dengan tuntas setiap
kalimat yang disampaikan, hindari memotong pembicaraan atau menyampaikan
sesuatu sebelum orang lain selesai berbicara secara tuntas. Sehingga pada
akhirnya, kita bisa menyampaikan kembali pesan yang ditangkap (berupa pikiran
dan perasaan) orang yang bercerita, dengan versi diri sendiri. Jadi dalam
mendengarkan, bukan berarti kita hanya diam saja, tapi sebaiknya kita mampu
menyampaikan kembali isi cerita orang lain, dengan pesan yang mudah ditangkap
dan tentunya sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan oleh orang yang
bercerita. Dengan begitu, orang lain akan merasa dipahami dan berpikir bahwa
Anda hadir sepenuhnya mendengarkan.
Sebagai tambahan, pemateri juga memaparkan mengenai
bagaimana mengembangkan empathic speaking
skill? Sama halnya dengan cara melatihkan active- empathic listening skill, sedikitnya terdapat 4 tahapan
untuk mengembangkan keterampilan berbicara yang empathic. Pertama, perjelas dan atur pikiran Anda sebelum Anda
berbicara. Gunakan ‘I statement’,
diawali dengan kata ‘Saya’ (Sementara itu, ‘Aku’ mewakili ego yang berbicara,
kurang rendah hati). Kemudian, ekspresikan dengan penuh sikap penghargaan
(respek), perhatikan pilihan kata dan juga intonasi, volume suara, gestur, dan
sebagainya. Alangkah baiknya kita memiliki banyak perbendaharaan kata, sehingga
kita bisa lebih luas dalam mengekspresikan sikap penghargaan tersebut.
Berikutnya sebagai tahap ketiga, ekspresikan dengan jelas, bedakan pikiran dan
perasaan.
Tahap keempat, berhenti sejenak untuk menunggu respons pendengar.
Pastikan bahwa pesan yang hendak disampaikan, telah dipahami secara baik oleh
pendengar. Kemudian terakhir, ucapkan terima kasih kepada orang lain karena
telah mendengarkan Anda. Demikian pemaparan materi dari Bu Umniyah Saleh, S.Psi.,
M.Psi., Psikolog. Sebagai pesan terakhir, pada intinya, ayo kita mulai
melatihkan keterampilan mendengarkan secara aktif dan empati. Bagi yang belum
mampu menjadi pendengar yang aktif, ayo mulai bergeser. Dimulai dari diri
sendiri, kuncinya adalah kenali diri, pahami, kemudian kita akan lebih mudah
mendengarkan orang lain.
·
Sesi Tanya Jawab
- Pertanyaan 1
Bagaimana cara
menghadapi orang yang sedang marah dan cenderung judging?
Jawaban Pemateri
Penting untuk mengenali emosi yang kita rasakan, ketika
menghadapi orang lain yang sedang marah. Jangan sampai kita larut dalam emosi
orang lain. Kemudian, jangan biarkan emosi yang diekspresikan oleh seseorang
memengaruhi emosi diri sendiri. Kita yang memegang kendali sepenuhnya terhadap
apa yang kita rasakan. Maka, ketika mulai terbawa kemarahan orang lain, sadari
emosi yang dirasakan, kemudian
kendalikan.
- Pertanyaan 2
Bagaimana
cara berterima dengan respons orang tua yang tidak sesuai dengan yang saya
harapkan, ketika saya sedang curhat?
Jawaban Pemateri
Sadari bahwa mungkin saat ini belum bisa diterima atau kita
belum sepenuhnya siap untuk memahami pesan yang disampaikan orang lain. Atau
kita bisa coba menyampaikan dengan cara yang berbeda. Silakan menerapkan empathic speaking skill, awali dengan ‘I Statement’ misalnya, saya sedang
merasa begini dan seterusnya. Karena terkadang orang lain menunjukkan respons
yang kurang sesuai, karena tidak memahami pesan yang kita sampaikan. Jadi,
silakan crosscheck cara kita dalam
menyampaikan pesan.
- Pertanyaan 3
Bagaimana
mengatasi kecemasan ketika mendengarkan orang lain? Khawatir akan memberikan
respons yang kurang tepat.
Jawaban Pemateri
Nah dengarkan saja terlebih dahulu apa yang diceritakan
secara tuntas. Fokus pada orang lain dan mindsetting
bahwa kita sedang mendengarkan, maka hanya akan fokus ke cerita orang lain
saja. Sebenarnya wajar saja jika merasa khawatir, tegang, kemudian banyak
memikirkan hal lain, itu semua manusiawi. Akan tetapi, ketika kita sudah
mendengarkan orang lain, sebaiknya tidak sibuk dengan diri sendiri. Sehingga
penting juga untuk mengenali diri, emosi dan pikiran yang muncul saat itu.
Ketika sudah tidak fokus, kembali arahkan untuk hadir mendengarkan orang lain.
Karena ketika kita sibuk dengan perasaan dan pikiran sendiri, maka benar bisa
jadi respons yang kita tunjukkan akan keliru. Jadi, dengarkan saja dulu,
arahkan pikiran dan perasaan sepenuhnya untuk mendengarkan orang lain, sehingga
kita paham situasi yang diceritakan, kita paham bagaimana berada di posisi
orang lain. Sehingga tentunya respons yang kita berikan akan lebih tepat.
·
Kesimpulan dari Moderator
Untuk melatihkan keterampilan mendengarkan secara aktif dan
empati, kembali ke diri sendiri. Bagaimana kita mengenali diri, termasuk emosi
yang kita rasakan saat itu. Kemudian bagaimana pikiran kita yang muncul. Hanya
dengan memahami dan mengenali diri, maka tentunya kita akan lebih mampu
memahami orang lain. Selain itu, mendengarkan dilakukan dengan penuh kesadaran,
sehingga kita sadar dengan apa yang terjadi di diri kita, tidak larut dengan
cerita orang lain, penuh kendali, sehingga respons yang ditunjukkan bisa lebih
tepat. Kesadaran dimulai dari hadir sepenuhnya, fungsikan pengindraan, dan mindfulness. Selain itu, pemateri
menambahkan sebagai simpulan, bahwa penting untuk rendah hati. Rendah hati
mengakui ketika kita sedang tidak siap untuk mendengarkan. Kenali batasan
kemampuan kita, kemudian akui. Tidak perlu selalu hadir untuk mendengarkan
orang lain. Jika sedang tidak siap, sampaikan bahwa saya sedang tidak siap,
karena emosi saya saat ini juga kurang stabil, misalnya. Kemudian, kita bisa
menawarkan waktu lain atau mengarahkannya untuk bercerita ke orang lain, yang
mungkin lebih tepat. Ketika kita selalui mengiyakan meski kondisi diri sedang
tidak siap, maka risikonya cukup besar, baik ke diri terlebih ke orang lain.
Dalam hal ini orang lain mungkin akan merasa tidak dipahami, sehingga membuat
dirinya semakin terpuruk. Begitu pula terhadap
diri sendiri, di mana tentunya
kita akan merasa kelelahan, karena sulit untuk mengendalikan diri. Demikianlah
kesimpulan untuk sesi materi, selanjutnya, moderator menyerahkan sesi kepada
MC.
·
Sambutan dari Founder Komunitas
Halo Jiwa
Sambutan ini diwakili oleh co-founder sekaligus sekretaris
Komunitas Halo Jiwa, Saudari Syurawasti Muhiddin. Dalam sambutannya, Saudari
Syura menjelaskan bahwa acara mini-workshop
ini merupakan rangkaian peringatan hari lahir Komunitas Halo Jiwa.
Tepatnya, sebagai rangkaian terakhir, sehingga berakhirnya mini-workshop ini, maka berakhir pula seluruh rangkaian peringatan
hari lahir Komunitas Halo Jiwa. Ide mengenai mini-workshop ini awalnya berangkat dari kegiatan di Halo Jiwa
sendiri, yaitu Ruang Refleksi. Selama ini, di Ruang Refleksi, fasilitator concern untuk mendampingi partisipan,
dalam mendengarkan ceritanya. Tentunya dalam proses mendampingi tersebut, kaya
akan dinamikanya sendiri, sehingga perlu dipikirkan cara untuk meningkatkan
keterampilan mendengarkan secara empati. Maka lahirlah ide untuk mengadakan mini- workshop ini. Dalam acara hari
ini, hadir pula partisipan Ruang Refleksi, sehingga harapannya, kita sama-sama
berproses dan belajar, mungkin yang dulunya didengarkan, maka kita bisa belajar
untuk mulai mendengarkan orang lain. Terakhir, tidak lupa Saudari Syura
menyampaikan terima kasih atas partisipasi semua peserta, kemudian juga
terhadap pemateri yang telah bersedia meluangkan waktunya, untuk berbagi di
ruang virtual. Banyak insight yang
bisa dipetik dari sesi hari ini, dan harapannya ini menjadi awal untuk kita
terus belajar dan berproses ke depannya, karena belajar adalah panggilan hidup
dan dilakukan sepanjang hayat.
·
Penutup dari MC
MC mengarahkan audiens untuk foto bersama. Setelah itu, MC
juga menyampaikan bagi peserta yang telah mengikuti acara ini sampai akhir dan
menginginkan sertifikat, maka bisa segera dikabari ke panitia. Terakhir,
segenap tim dan panitia, berharap peserta mengisi form evaluasi untuk acara hari ini. Masukan dari peserta akan
dipertimbangkan untuk antisipasi event-event selanjutnya.
Notulen: Andi Mardyah Mursal
Editor: Retno Pratiwi Sutopo Putri (Tim Editor Halo Jiwa)