![]() |
Penulis: Syurawasti Muhiddin (Alumni Psikologi UNHAS 2012) |
Bulan
Oktober adalah bulan dimana masyarakat dunia memperingati hari kesehatan jiwa
internasional. Banyak hal yang dilakukan untuk memperingatinya, diantaranya
dengan mengajak masyarakat untuk lebih menyadari pentingnya memelihara
kesehatan mental dan menangani persoalan-persoalan terkait hal tersebut
sebagaimana mereka memelihara dan menangani perihal terkait kesehatan fisiknya.
Isu
kesehatan mental seringkali tidak menjadi prioritas perhatian, baik oleh
pemerintah sebagai pembuat kebijakan maupun oleh masyarakat. Padahal, kesehatan
mental menjadi salah satu indikator kualitas hidup masyarakat. Terkadang kita
melihat seseorang yang tampak sehat-sehat saja secara fisik namun orang
tersebut sebetulnya mengalami gangguan sosioemosional. Orang yang tampak sehat dan bugar secara
fisik, tidak menutup kemungkinan menyimpan penyakit psikologis yang memprihatinkan.
Kebanyakan
dari kita sering mengartikan kesehatan mental sebagai kondisi yang terbebas
dari segala jenis gangguan jiwa. Masyarakat pada umumnya seringkali menghubungkan
istilah kesehatan mental hanya dengan ganggguan jiwa berat seperti skizofrenia.
Padahal, kesehatan mental perlu dipahami secara lebih komprehensif dan positif.
Lebih jauh, kesehatan mental juga merujuk pada kondisi dimana individu dapat
berfungsi secara normal dalam menjalani kehidupannya, termasuk dalam menghadapi
berbagai persoalan dalam kehidupannya, Kesehatan mental adalah kondisi well being (sejahtera) dimana individu
menyadari kemampuannya, dapat mengatasi stres yang normal dalam hidup, dapat
bekerja secara produktif, serta dapat berkontribusi dalam masyarakat (WHO,
2001). Pengertian yang positif ini dapat
merefleksikan bahwa kesehatan mental adalah dasar dari kesejahteraan dan
keberfungsian bagi individu dan masyarakat.
Berdasarkan
pengertian yang telah disebutkan, dapat kita pahami bahwa kesehatan mental
tidak terlepas dari aspek-aspek sosial kehidupan. Kehidupan sosial akan menjadi
faktor yang berpengaruh sekaligus dipengaruhi oleh kondisi kesehatan mental.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Universitas Harvard selama 75 tahun untuk
menelaah faktor yang memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan (well-being) seseorang sepanjang beberapa
dekade, menunjukkan bahwa faktor hubungan sosial memiliki peran yang signifikan
terhadap kesehatan mental individu. Waldinger yang merupakan kepala dalam
kelompok penelitian mengemukakan bahwa hubungan yang baik membuat seseorang
lebih bahagia dan lebih sehat. Dalam proses tersebut, cinta (love) menjadi
prediktor terbesar terhadap kebahagiaan. Hasil penelitian ini mendorong kita
untuk memprioritaskan hubungan yang berkualitas dengan orang lain sebagai upaya
untuk mencapai well-being, yang akan memengaruhi kesehatan mental kita.
Keluarga
merupakan salah satu pihak yang senantiasa memiliki hubungan dengan individu. Seseorang
membangun hubungan intim dengan orang lain, melegalkan hubungannya dengan
status pernikahan hingga membentuk suatu keluarga. Individu lahir dan besar
dalam suatu keluarga. Keluarga menjadi media sosialisasi mendasar bagi individu
sebelum individu masuk dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Oleh karena
itu, hubungan dengan keluarga menjadi salah satu aspek yang dapat memengaruhi
kualitas kehidupannya, termasuk kesehatan mentalnya.
Dari
penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa keluarga seyogianya menjadi suatu media yang mendukung
pengembangan kesehatan mental. Namun, kenyataan yang terlihat saat ini justru
jauh dari apa yang kita harapkan. Kita seringkali menjumpai bahwa keluarga
justru menjadi penyebab lahirnya berbagai permasalahan psikologis dalam
masyarakat. Gangguan-gangguan kejiwaan berat dan gangguan emosional, termasuk
juga stres dan depresi seringkali berawal dari kondisi keluarga yang tidak
harmonis. Berbagai perilaku berisiko negatif yang berujung pada bunuh diri
didorong oleh ketidakmampuan suatu keluarga memenuhi fungsinya-fungsinya.
Ketidakmampuan
suatu keluarga dalam menjalankan fungsi-fungsinya dapat menunjukkan kurang efektifnya
keberfungsian keluarga tersebut. Keluarga yang seyogyanya dapat memenuhi
kebutuhan biologis, psikologis dan sosial anggota-anggota di dalamnya serta
menyediakan kondisi yang memungkinkan perkembangan masing-masing anggotanya[6],
tidak dapat menjalankan fungsinya tersebut secara optimal.
Pada
dasarnya, keberfungsian keluarga berfokus pada segala hal yang secara langsung
maupun tidak langsung memenuhi fungsi-fungsi keluarga[6]. Keberfungsian
keluarga ini merefleksikan aktivitas dan interaksi keluarga dalam menjalankan
tugas-tugas penting, yaitu menjaga pertumbuhan dan kesejahteraan (well-being) dari masing-masing
anggotanya dan dalam mempertahankan integrasinya[1]. Dengan
demikian, keberfungsian keluarga yang efektif secara langsung maupun tidak
langsung dapat memengaruhi kondisi kehidupan anggota-anggotanya, termasuk
kesehatan mentalnya.
Model
Keberfungsian Keluarga McMaster
merupakan model yang dikembangkan berdasarkan teori sistem keluarga. Model ini
telah diuji melalui berbagai penelitian dan telah diterapkan dalam dunia
klinis. Model ini tidak melingkupi semua aspek-aspek dalam keberfungsian
keluarga, namun model ini mengidentifikasi dimensi-dimensi penting yang
ditemukan berhubungan dengan keluarga yang tidak sehat. Suatu keluarga dapat
diukur efektivitas keberfungsian keluarganya dengan menelaah enam dimensi,
yaitu pemecahan masalah, komunikasi, peran, keterlibatan afektif, responsivitas
afektif dan kontrol perilaku.
Dimensi
pemecahan masalah merujuk pada kemampuan suatu keluarga dalam menyelesaikan
berbagai masalah yang dihadapi oleh keluarga[3,5]. Masalah tersebut terbagi
menjadi dua, yaitu masalah instrumental dan masalah afektif. Masalah
instrumental berhubungan dengan hal teknis sehari-hari, yaitu mengenai tempat
tinggal, sandang, pangan, dan pengaturan uang. Sedangkan, masalah afektif
berhubungan dengan pengalaman emosional[5]. Keluarga dikatakan
efektif jika dapat menyelesaikan kedua jenis masalah tersebut[4,5].
Pemecahan masalah dalam keluarga terdiri atas tujuh tahapan, yaitu
mengidentifikasi persoalan, mengomunikasikan persoalan, mengembangkan
alternatif tindakan, memutuskan satu alternatif, melakukan tindakan, pengawasan
dan evaluasi hasil tindakan[5]. Semakin banyak tahapan proses
pemecahan masalah yang dapat dinegosiasikan dan disepakati oleh anggota-anggota
keluarga, semakin efektif keberfungsian keluarga[4,5].
Dimensi
komunikasi didefinisikan sebagai pertukaran informasi di antara anggota-anggota
keluarga[2]. Komunikasi dapat dibagi menjadi dua area yang berbeda,
yakni instrumental dan afektif. Komunikasi instrumental merupakan pertukaran
informasi faktual yang memungkinkan individu untuk memenuhi fungsi umum
keluarga. Sementara itu, komunikasi afektif merupakan cara setiap anggota
keluarga saling berbagi emosi. Keluarga yang sehat adalah keluarga yang mampu
untuk berkomunikasi secara instrumental maupun afektif[3,5]. Terdapat
dua aspek komunikasi yang juga perlu diperhatikan terkait cara berkomunikasi,
yaitu apakah komunikasi tersebut jelas atau terselubung atau apakah komunikasi
tersebut langsung atau tidak langsung[5]. Semakin jelas dan langsung
komunikasi dilakukan, semakin efektif pula keberfungsian keluarga. Begitupun sebaliknya,
semakin sering komunikasi dilakukan secara terselubung dan tidak langsung,
semakin tidak efektif keberfungsian keluarga tersebut[4,5].
Dimensi
peran merujuk pada kemampuan suatu keluarga untuk menunjukkan pola-pola
perilaku dalam menangani pemenuhan fungsi-fungsi keluarga seperti penyediaan
sumber daya, pengasuhan dan pemeliharaan, dukungan terhadap perkembangan
pribadi, mempertahankan dan mengelola sistem keluarga, serta pemenuhan fungsi
reproduktif dan seksualitas. Peran ini diberikan dan dijalankan secara jelas
dan adil kepada dan oleh anggota-anggota keluarga sesuai kapasitasnya
masing-masing[2]. Keberfungsian keluarga yang efektif adalah
keluarga yang memiliki pembagian tugas yang jelas kepada orang yang sesuai
serta memiliki sistem yang baik dalam memonitor berjalannya fungsi dan
tugas-tugas keluarga[4,5].
Dimensi
responsivitas afektif didefinisikan sebagai kemampuan keluarga untuk memberikan
respon terhadap berbagai macam stimulus, dengan perasaan yang tepat atau
sesuai, baik kuantitas maupun kualitasnya[4,5]. Ada dua jenis ekspresi
perasaan dalam keluarga, yakni perasaan sejahtera (welfare feelings) dan perasaan darurat (emergency feelings)[3,5]. Perasaan sejahtera berdasar dari
perasaan cinta seperti perasaan lembut, welas asih, bahagia, sukacita, hiburan,
dan lain-lain yang bersifat positif dan mendukung. Sedangkan, perasaan darurat
merupakan perasaan yang mencakup ekspresi takut, panik, marah, cemas, kecewa,
depresi dan sebagainya yang bersifat negatif dan membuat seseorang tidak
nyaman. Dalam hal ini, semakin luas variasi respon emosi yang diekspresikan (welfare feeling maupun emergency feeling) dan tepat dalam hal
kuantitasnya (intensitas dan durasi) maupun kualitasnya (kesesuaian dengan
konteks atau situasi), semakin efektif keberfungsian keluarga[4,5].
Dimensi
keterlibatan afektif merujuk pada sejauh mana keluarga dapat menunjukkan rasa
ketertarikan dan penghargaan terhadap kegiatan atau minat anggota-anggota dalam
keluarga[4,5].Dimensi ini berfokus pada seberapa banyak dan dengan
cara seperti apa seorang anggota keluarga menunjukkan rasa ketertarikan pada
anggota keluarga lainnya[4]. Dari beberapa tipe keterlibatan afektif
dalam keluarga, keterlibatan empatik merupakan tipe yang paling efektif dan
paling sehat, di mana memiliki level menengah dalam hal keterlibatannya, tidak
terlalu banyak terlibat tetapi juga tidak terlalu sedikit[4,5].
Dimensi
kontrol perilaku didefinisikan sebagai pola yang digunakan oleh keluarga untuk
menangani perilaku dalam tiga situasi, yaitu situasi fisik yang berbahaya,
situasi yang berhubungan dengan ekspresi kebutuhan dan dorongan psikobiologis,
dan situasi yang berhubungan dengan sosialisasi interpersonal, baik di antara
anggota keluarga maupun dengan orang di luar keluarga[4,5]. Dari
beberapa macam pola kontrol perilaku yang diterapkan, keluarga yang dapat
berfungsi secara efektif adalah keluarga yang menerapkan kontrol perilaku yang
fleksibel, sedangkan keluarga yang tidak dapat berfungsi secara efektif adalah
keluarga dengan tipe kontrol perilaku yang tidak beraturan[4,5]. Kontrol
perilaku yang fleksibel menetapkan standar yang logis serta terdapat kesempatan
untuk berubah dan melakukan negosiasi sesuai dengan kondisi yang ada.
Apabila
keenam dimensi keberfungsian keluarga tersebut sudah diwujudkan secara efektif
dalam suatu keluarga, keluarga tersebut sudah dapat dikatakan sebagai keluarga
yang sehat. Sebaliknya, keluarga yang tidak sehat adalah keluarga yang
mewujudkan keenam dimensi keberfungsian keluarga secara tidak efektif. Dalam
mewujudkan keenam dimensi keberfungsian keluarga yang efektif, interaksi
menjadi suatu proses kunci. Interaksi yang dimaksud dalam hal ini adalah
interaksi yang tidak hanya intens/sering tetapi juga berkualitas. Interaksi
tentu saja melibatkan dua orang pihak yang berarti merupakan proses sosial yang
mendukung kesejahteraan keluarga (family
well-being)
Kesejahteraan
keluarga (family well-being) dibangun
dari kondisi sejahtera anggota-anggota di dalamnya. Kesejahteraan ayah dan ibu
sebagai orang tua dan kesejahteraan anak. Juga dibangun dari stabilitas dan
kualitas hubungan antara anggota-anggota keluarga. Kualitas hubungan orang tua
dan anak serta kualitas hubungan suami dan istri. Namun, secara timbal balik,
kesejahteraan keluarga juga akan memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan
masing-masing anggota serta kualitas hubungan mereka. Kesejahteraan keluarga
tersebut ditentukan pula oleh keberfungsian keluarga. Oleh karena itu
keberfungsian keluarga perlu untuk dibangun dalam upaya mendukung kesejahteraan
individu yang pada gilirannya mendukung kesehatan mentalnya.
Keluarga
yang sehat dan sejahtera yang didalamnya terwujud keberfungsian keluarga yang
efektif serta hubungan-hubungan yang berkualitas menjadi suatu awal untuk
membangun kesehatan mental individu dan masyarakat. Ini bisa menjadi suatu bentuk
pencegahan terhadap munculnya gangguan mental. Tidak hanya sebagai awal,
keluarga juga menjadi tempat kembali bagi kita dalam menangani
persoalan-persoalan kesehatan mental. Keluarga menjadi tempat untuk menyediakan
solusi, tempat yang mendukung dan menguatkan. Dalam hal ini keluarga menjadi
pihak yang dapat meminimalkan jumlah pengidap gangguan mental. Berawal dari
keluarga yang sehat, bahagia dan sejahtera menuju mental yang sehat.
Sumber:
1.
Cendra, A. (2012). Hubungan antara
Keberfungsian Keluarga dan Kesepian pada Remaja Indonesia. Skripsi. Universitas Indonesia.
2.
Epstein, N. B., Baldwin, L. M., &
Bishop, D. S. (1983). The McMaster Family Assessment Device. Journal of Marital and Family Therapy, 9 (2), 171-180.
3.
Miller, I. W., Ryan, C. E., Keitner, G.
I., Bishop, D. S., & Eipsein, N. B. (2000). The McMaster Approach to
Families : Theory, Assessment, Treatment, and Research. Journal of Family Therapy, 168-189.
4.
Peterson, R. & Green, S. (2009). Families
First: Keys to Successful Family Functioning. Virgina Cooperative Extension Publication, 350-353.
5.
Ryan, C. E., Epstein, N. B., &
Keitner, G. I. (2005). Evaluating and
treating families: The McMaster approach. Taylor & Francis.
6.
Schwab, J.J., Gray-Ice, H.M., &
Prentice, F.R. (2002). Family
Functioning: The General Living Systems Research Model. New York: Kluwer
Academic Publishers.
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.