
Apa kabar dengan jiwamu hari ini? Apakah
jiwamu sudah menemukan kebahagiaannya hari ini? Kebahagiaan. Kata sebagian orang, kebahagiaan mudah dicapai tapi tidak semudah menyebutkannya. Ada juga yang mengatakannya sangat rumit namun
tak serumit kelihatannya. Tapi, terlepas dari semua itu, apakah kebahagiaan itu
selalu menjadi tujuan?
Kebahagiaan adalah sesuatu yang dicari
oleh setiap orang. Ketertarikan manusia pada istilah itu membuat ilmu
pengetahuan belakangan ini banyak mengkaji mengenai kebahagiaan. Dimulai dari
pertanyaan seperti, apakah definisi kebahagiaan yang sebenarnya? Beberapa teori
dimunculkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Ada teori yang berpendapat bahwa
kebahagiaan boleh jadi merupakan sifat mendasar (trait) seseorang yang stabil atau suatu karakteristik yang
didasarkan pada faktor genetik/keturunan1. Jika demikian, mungkin
ada yang bertanya lebih lanjut. Lantas jika itu adalah sifat mendasar, mengapa
ada manusia yang sampai bunuh diri karena kesedihan dan keputusasaan menemukan
kebahagiaan itu? Jika itu adalah faktor keturunan, mengapa ada orang tua yang
bahagia sementara anak dan cucunya merasa sebagai orang yang paling tidak
bahagia? Mungkin terdengar konyol, namun kita pernah mendengar pernyataan “mengapa
kakakku lebih bahagia daripada aku?”.
Ada juga teori yang berpendapat bahwa
kebahagiaan terletak pada
pengurangan tegangan-tegangan melalui pemuasan tujuan dan kebutuhan1.
Teori ini yang cenderung banyak disepakati orang di berbagai kalangan. “Kebahagiaan
dapat saya capai ketika saya merasa puas dan kebutuhan saya terpenuhi.” Namun,
tidak sedikit kita melihat kasus seseorang yang merasa tidak pernah terpuaskan
dan akhirnya merasa tidak pernah bahagia. Ketika dia memperoleh mobil baru dia
merasa bahagia. Lalu dia melihat orang lain merasa bahagia memiliki vila mewah.
Dia lalu membeli vila mewah. Tapi kemudian dia melihat orang lain lebih bahagia
dengan liburan ke luar negeri, dia pun melakukannya. Tapi, apakah yang dia
peroleh? Dia sama sekali tidak bahagia.
Teori selanjutnya berasumsi bahwa
kebahagiaan dihasilkan oleh ketertarikan dan keterikatan pada aktivitas
tertentu atau pekerjaan yang menuju pada tujuan1. Melakukan
aktivitas yang diminati dan merasa terikat (engaged)
dengan aktivitas itu dapat membuat kita bahagia. Banyak orang belakangan ini akhirnya
sepakat dengan teori ini. Tetapi pada kenyataannya, aktivitas yang diminati
orang berbeda-beda, tingkat keterikatannya pun berbeda. Olehnya itu,
kebahagiaan sebagai suatu proses atau aktivitas memiliki definisi yang relatif.
Pada akhirnya, kita pun bisa menjumpai
orang yang merasa bahwa aktivitas yang dijalaninya itu tidak membuatnya
merasakan kebahagiaan, meskipun itu memang menarik.
Ketiga teori di atas tak ada yang salah,
tapi tak sepenuhnya juga benar. Dari teori pertama, kita dapat menemukan hikmah
bahwa kebahagiaan itu pada dasarnya kita miliki dalam gen kita. Potensi
kebahagiaan itu ada dan menunggu untuk diaktifkan. Kita bisa mengaktifkan
potensi kebahagiaan kita dengan memenuhi kebutuhan kita (asumsi teori kedua)
dan melakukan aktivitas yang kita senangi terkait dengan tujuan hidup kita
(asumsi teori ketiga). Kebutuhan dan aktivitas yang diminati seseorang tentulah
berbeda-beda, dengan demikian kita juga bisa menarik satu insight bahwa tak ada
definisi kebahagiaan yang mutlak, definisi kebahagiaan berbeda untuk semua
orang.
Kebahagiaan bisa diperoleh dari
pemenuhan kebutuhan dan keterlibatan dalam aktivitas yang disenangi. Namun,
sampai dimana kebutuhan itu bisa dipenuhi? Manusia tidak pernah merasa puas.
Dia akan terus mencari kebahagiaannya sebanyak dia memenuhi kebutuhannya yang
tak pernah terpuaskan. Setelah semua yang dilakukan untuk memuaskan dirinya,
dia tidak juga bahagia. Setelah dia mencapai kesuksesan di dunia ini, dia tidak
juga merasa bahagia. Kita bisa menemukan orang yang kaya raya, memiliki banyak
materi, tapi miskin akan kebahagiaan. Padahal dia sudah beranggapan bahwa
ketika dia meraih sukses, dia akan bahagia. Akhirnya banyak yang ingin mencapai
kesuksesan, ketenaran. Namun, setelah mencapainya, apa yang dia peroleh? Di
mana kebahagiaan itu?.
Kebahagiaan bisa diperoleh dengan
mengikuti aktivitas yang disenangi yang mengarah pada tujuan hidup kita. Poin
penting dari teori ketiga adalah kita bisa mengetahui tujuan hidup kita yang
sebenarnya. Jika tidak memiliki tujuan hidup yang jelas maka seseorang akan
mudah terombang-ambing dalam arus kehidupan ini. Kemana ada minat, disitulah
dia pergi. Ketika minat berubah, dia meninggalkan aktivitas itu dan mencari
minat lain. Tujuannya satu, menemukan kebahagiaan yang tak kunjung pula dia
temukan karena tak jelas menemukan tujuan hidup yang sesungguhnya.
Rumit. Banyak yang tidak mengetahui
secara pasti di mana kebahagiaan itu berada hingga pencarian panjang tanpa
ujung pun terjadi bahkan selama hidup seseorang itu di dunia. Di akhir
kehidupannya, ada yang masih bertanya, dimanakah kebahagiaan itu? Hingga
akhirnya ada yang menyimpulkan bahwa kebahagiaan itu semu. Memang, ada
kebahagiaan yang semu dan ada pula kebahagiaan yang sejati. Bagaimana
membedakannya?.
John Grey seorang konselor pernikahan
menuliskan suatu konsep mencapai kebahagiaan. Dia mengatakan bahwa kesuksesan
materi hanya bisa membuat bahagia ketika sebelumnya kita memang sudah bahagia.
Dengan demikian lingkungan atau kondisi di luar diri kita bukan menjadi penentu
kebahagiaan kita, melainkan kondisi dari dalam diri kita sendiri (inner happiness/ inner joy). Kebahagiaan
yang kita peroleh karena kondisi di luar diri kita seperti kekayaan, ketenaran,
dan sebagainya, itulah yang merupakan kebahagiaan semu. Ketika itu hilang,
apakah kita masih bahagia? Apabila kita kaitkan dengan konsep iman, ketika
kebahagaiaan masih disangkutpautkan dengan urusan duniawi seperti harta, anak
keturunan, jabatan dan lain-lain, itulah kebahagiaan yang semu.
Jika kita menganggap penyebab dari
ketidakbahagiaan kita adalah karena kita ingin mendapatkan sesuatu tetapi kita tidak mendapatkannya maka
anggapan kita perlu diluruskan. Keinginan ataupun nafsu yang kuat untuk
mendapatkan lebih adalah manusiawi. Normal jika kita menginginkan sesuatu yang lebih.
Namun, menginginkan sesuatu lebih dan kemudian bisa mewujudkannya bukanlah
penyebab kebahagiaan. Jika demikian, kita tak pernah bisa secara jelas
menemukan letak kebahagiaan itu.
Ketidakbahagiaan terjadi ketika kita
kehilangan atau tidak menghadirkan inner
joy. Ketidakbahagiaan itu bisa
dianalogikan dengan kegelapan. Kegelapan sama dengan kondisi tidak adanya
cahaya yang dianalogikan sebagai inner
joy. Agar kegelapan hilang maka sisa menyalakan cahaya agar menjadi terang.
Sama halnya dengan ketidakbahagiaan, untuk menghilangkannya, hanya perlu untuk
menyalakan cahaya kebahagiaan dalam hati kita.
Bagaimana cara menyalakan cahaya
kebahagiaan itu? Bagi kita yang beriman, Pada dasarnya hal ini mudah karena di
dalam hati kita sudah ada iman kepada
Ilahi. Iman akan melahirkan kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa
atas diri kita, Tuhan. Iman akan melahirkan kepercayaan akan usaha dan takdir. Iman
akan melahirkan keberanian dan kesabaran, serta harapan-harapan dalam setiap
langkah kehidupan kita. Iman pula yang akan melahirkan rasa syukur untuk
memadamkan api ketidakpuasan.
Cahaya kebahagiaan bisa senantiasa
dijaga dengan selalu melakukan introspeksi ataupun refleksi diri, atau
diistilahkan oleh John Grey sebagai inner
journey. Dalam proses itu, kita perlu untuk menemukan autentisitas diri
kita, termasuk pula tujuan-tujuan hidup kita yang sesungguhnya. Jika seseorang
merumuskan tujuan yang abadi karena imannya maka kebahagiaan yang diperoleh pun
akan abadi.
Kita bisa menyalakan cahaya kebahagiaan
kapan saja, disaat kebutuhan terpenuhi ataupun tidak. Di saat kita berada pada
aktivitas yang disenangi ataupun tidak disenangi. Disaat kita berinteraksi
dengan orang lain, disaat kita belajar, disaat kita membantu orang lain, disaat
sendiri, disaat kita dalam keadaan bermasalah, disaat lapang dan disaat sempit.
Kapan saja.
Kebahagiaan itu bisa kita temukan di
dalam hati. Kebahagiaan itu kita miliki di dalam hati. Kebahagiaan selalu bisa
kita ciptakan sendiri. Sekali lagi, bukan kesuksesan yang membuat kita bahagia.
Kebahagiaan itulah yang membuat kita bisa mencapai kesuksesan. Kita tidak bisa
mencapai kesuksesan itu jika kita tidak merasa bahagia. Oleh karena itu,
bahagia tidak harus selalu menjadi tujuan hidup kita, tetapi bahagia itu
menyertai kita, menjadi cara kita untuk mencapai tujuan kita. Bahagia itu
mudah. Cukup nyalakan cahayanya dalam hati.
Referensi
Gray, J. How to Get What You Want and
Want What You Have. New York: Perennial.
Snyder,C.R. & Lopez., S.J. 2007. Positive Psychology, the Scientific and
Practical Explorations of Human Strengths. Thousand Oaks: Sage
Publications, Inc.
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.