Hopelessness pemicu keinginan bunuh diri ?


Saat ini dunia sedang dihebohkan dengan banyaknya isu terkait bunuh diri. Bermula dari kasus penyanyi boyband asal korea yang tewas karena bunuh diri pada usia yang masih sangat muda yaitu 27 tahun  hingga vokalis grup band legendaris linking park yang juga mengalami hal yang sama beberapa waktu lalu. WHO menyatakan bahwa terdapat 800.000 orang lebih yang meninggal akibat bunuh diri di seluruh dunia untuk tiap tahunnya. Selain itu, WHO menambahkan bahwa hampir 75% kasus bunuh diri yang terjadi di seluruh penjuru negara dipicu oleh pendapatan ekonomi yang rendah. Namun, tidak menutup kemungkinan juga bahwa pada negara yang berpenghasilan tinggi atau maju pun marak dijumpai kasus bunuh diri. 
Pemberitaan mengenai kasus bunuh diri di Indonesia pun semakin marak diberitakan baik di media sosial maupun berita di stasiun TV. Pada tahun 2016 , BPS mencatat terdapat 812 kasus bunuh diri yang tersebar di wilayah Indonesia. Jawa Tengah merupakan provinsi dengan kasus bunuh diri terbanyak yaitu 331 kasus dan kemudian disusul  Jawa Timur dengan 119 kasus. Seperti  yang di lansir pada salah satu berita online, bunuh diri menjadi faktor penyebab kedua kematian pada usia produktif yakni 15 hingga 29 tahun. Bukan hanya kelompok usia muda saja bahkan bunuh diri dapat terjadi pada semua kelompok usia. Baru-baru ini seorang mahasiswa (23) di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang lompat dari hotel penginapannya karena depresi. Kemudian, seorang laki-laki berusia 22 tahun di Bojonegoro, Jawa Timur, ditemukan gantung diri karena dijodohkan oleh orang tuanya. Bahkan, siswa kelas 3 SMP di Blitar,  Jawa Timur lompat dari jembatan kereta api karena mengalami bullying.
Banyaknya kasus yang telah dipaparkan di atas membuat hati bertanya-tanya. Mengapa hal demikian bisa terjadi. Mengapa seseorang rela mengakhiri hidupnya karena hanya masalah sepele. Mungkin saja kita menganggap masalah yang dialaminya itu sepele namun tidak dengan dirinya karena secara kognitif mereka telah mempersepsikan bahwa dengan melakukan tindakan bunuh diri akan dapat menghilangkan masalah dan kesakitan yang dirasakannya. Ketua bidang psikiatri dan perilaku kesehatan di Ohio State University, Dr.John Campo mengatakan bahwa beberapa orang mencapai keputusasaan, rasa sakit yang tak tertahankan sehingga membuat mereka percaya bahwa lebih baik mengakhiri hidup saja. Selain itu, faktor penyebab terjadinya bunuh diri antara lain kecemasan, kegalauan yang berlarut-larut dan depresi. Depresi inilah yang merupakan penyebab paling utama adanya keinginan bunuh diri pada diri seseorang karena secara psikologis terjadi kondisi ketidakberdayaan seseorang dalam mengontrol mood sedih atau ketidakbahagiaan dalam dirinya. Menurut Abramson, Metalsky dan Alloy (1989), simptom-simptom ketidakberdayaan dari depresi yang muncul disebabkan oleh sesuatu yang benar-benar diharapkan ternyata tidak terwujud dan hal yang tidak menyenangkan muncul secara bersamaan dengan tidak adanya respon dari siapapun yang akan mengubah situasi tersebut. Lebih lanjut dijelaskan oleh Wenzel dan Beck (2008)  bahwa munculnya ide bunuh diri bersumber dari kombinasi ketidakberdayaan saat ini dengan bias dalam pemrosesan tanda-tanda yang mengacu pada bunuh diri dan adapun tindakan bunuh diri itu muncul ketika seseorang tidak mampu lagi mentoleransi ketidakberdayaan yang muncul dari kondisi kognitif emosional.
Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dari lingkungan sekitar untuk membantu mendeteksi seseorang yang mulai menunjukkan gejala untuk bunuh diri. Gejala-gejala seperti menunjukkan kehilangan akan motivasi, menarik diri dari lingkungan sekitar, menolak makan, konsep dirinya yang menurun sehingga makin menambah perasaan tidak berharga dan tidak ada nilai-nilai kebahagiaan di dalam hidupnya. Menilik kembali pada kasus di atas dengan berbagai macam penyebab bunuh diri antara lain depresi, korban bullying dan bunuh diri karena dijodohkan dapat dianalisis secara singkat bahwa ketidakberdayaan (hopelessness) menjadi salah satu faktor yang menguatkan keputusan bunuh diri. Mereka mungkin memiliki masalah namun tidak ada yang dapat mendengarkan keluhannya, ingin menjadi dirinya sendiri namun lingkungannya menganggap dirinya berbeda dengan yang lainnya, harapan yang tidak terwujud sehingga mengalami keputusasaan dan keterpaksaan dalam menjalani keputusan yang bukan keinginannya serta membuatnya kehilangan motivasi. Semuanya itu mengantarkannya pada satu gagasan bahwa untuk menghilangkan segala problematika hidupnya, mengakhiri hidup adalah cara tercepat. Tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan selain itu.
Apabila tanda-tanda tersebut di atas terlihat dan terdeteksi oleh kita, segeralah menumbuhkan kepekaan untuk merangkul dan menguatkan sesama karena mereka membutuhkan dukungan, pengakuan dan perhatian. Hal yang paling utama adalah keterlibatan dan peran keluarga di rumah karena keluargalah yang dapat menjadi benteng untuk mengidentifikasi tanda-tanda adanya keinginan bunuh diri sedini mungkin dan hanya keluargalah yang takkan pernah meninggalkan kita dalam kondisi apapun .
  
Source :
Helmi, T.C., Helmi, A.F. (2016). Ketidakberdayaan dan perilaku bunuh diri : meta-analisis. Buletin Psikologi, 24(2), 123-135.

penulis: Azzah As-Sahih
editor: Syurawasti Muhiddin

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.