![]() |
Pernah Direhabilitasi Bukan Berarti Berhenti Bermimpi |
relawan halo jiwa-
Kata rehabilitasi bagi sebagian orang terdengar tabu, menakutkan, menyeramkan, bahkan mungkin menjijikkan. Pandangan masyarakat umum yang demikian itulah yang membuat para mantan klien rehabilitasi baik rehabilitasi narkoba maupun rehabilitasi fisik dan mental merasa rendah, merasa sendiri, merasa kotor, merasa berbeda, dan merasa tak berguna. Tak jarang keluarga pun menganggap mereka sebagai aib yang harus ditutup rapat rapat.
Pikiran dan perasaan seperti itu tak hanya menghampiri mereka, aku sendiri pun pernah merasakannya. Sebagai mantan pasien di suatu panti rehabilitasi fisik dan mental secara Islami di daerah Cilacap aku paham betul bagaimana perasaan para pasien. Satu bulan aku direhabilitasi akibat pemikiran dan perilaku dalam masyarakat yang telampau radikal, dari perspektif Agama. Aku mengalami gangguan mental karena mempelajari ilmu agama tanpa guru, salah satu kitab mengatakan bahwa “barangsiapa mempelajari ilmu agama tanpa guru maka ia akan digurui oleh syaitan”, dan benar saja, saat itu aku seperti sering merasa mendapatkan bisikan untuk melakukan sesuatu, terutama bisikan untuk berjihad. Lalu, berjihadlah aku dengan caraku sendiri, yaitu dengan menggiatkan jamaah di mushola, menjadikan mushola sebagai pusat peradaban, sebagai tempat pembelajaran ilmu umum dan ilmu agama, dalam waktu 3 hari perubahan di kampungku sangat pesat. Sholat semakin banyak jamaahnya, dan sangat banyak anak anak yang belajar dan membaca di perpustakaan mini yang aku buat dan aku tempatkan di mushola. Namun, kesalahan terbesarku adalah aku memarahi orang-orang yang tak mau berjamaah menggunakan pengeras suara mushola, fatal sekali sangat fatal... Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri saat itu. Itulah awal mula aku dibawa ke panti rehabilitasi.
Ditempat rahabilitasi itulah, aku mendapat perawatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Saat pertama kali datang, aku di keroyok sekitar 5-7 orang laki-laki akibat memarahi orang-orang yang masih duduk saat iqomah sholat isya sudah berkumandang. Saat dikeroyok tak ada rasa takut sedikitpun muncul dalam benaku. Aku tak ingin berkelahi namun apa daya, sekali lagi aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri, aku terus melawan dan mulutku terus berkata, “kalau aku mati aku berjihad, kalau aku mati aku berjihad, kalau aku mati aku berjihad”. Sampai akhirnya aku lemas tak berdaya dan pelipis, bibir, dada, tangan, serta kakiku berdarah-darah dan memar memar, disaat itulah mereka baru berhenti menghajar tubuh mungilku. Tak berhenti sampai disitu, dalam kondisi luka-luka aku ingin sholat namun tak diizinkan karena aku dianggap kerasukan setan, aku tidak boleh masuk masjid, akhirnya terpaksa aku sholat di teras masjid. Setelah sholat aku tergeletak kesakitan, sakit seluruh anggota badan, aku menangis, dan hati kecilku bertanya, dimana Islam yang rahmatan lil’alamin itu. Rasul mengajarkan untuk memuliakan tamu, mengapa aku sebagai tamu disini diperlakukan seperti ini? Aku terus menangis dalam kesendirian, semua yang ada disitu melihatku seperti melihat setan.
Dalam kondisi luka-luka, tak seorangpun yang membantu, tak seorangpun berbelas kasihan, dan bahkan semua justru berujar “iblis kau !”. Bisa kamu bayangkan betapa sakit lahir batinnya aku saat itu. Setelah itu, dalam kondisi lemah mataku diolesi minyak angin sampai aku tak bisa melihat, perih sekali, dan saat itulah aku diseret, dijambak rambutku, dirantai kakiku di sebuah ruangan yang gelap, kotor, bau pesing dan bau kotoran, di sanalah aku mendekam bersama 5 orang (“pasien”) lain. Selama 3 hari, aku makan, minum, buang air besar, buang air kecil, mandi dan tidur di ruangan itu dalam kondisi kaki dirantai, ruangan itu terasa seperti kandang bagiku.
Tiga hari berlalu, aku memelas kepada pengurus tempat itu untuk melepaskanku, aku minta maaf, aku memohon-mohon kepada pengurus, aku mengaku salah telah melakukan perbuatan kasar kemarin, aku mengaku salah dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Akhirnya aku dilepaskan dari belenggu rantai dan ruangan yang menjijikkan, aku terlepas dari kondisi kaki dirantai tak bisa jalan ke mana-mana walau hanya sekedar buang air sekalipun. Setelah aku dilepas, tidak serta merta aku boleh pulang, hari-hari berikutnya diisi dengan membersihkan ruang perawatan dari kotoran-kotoran pasien yang lain, memandikan pasien yang lain, berlatih berkebun, bertukang, menggembalakan domba, mencari rumput, memasak, dan yang terpenting adalah mengaji bersama Kiyai. Dimasa-masa inilah aku semakin menyadari kesalahanku. Ilmu agamaku masih sedikit namun gayaku selangit sampai-sampai mengkafir-kafirkan orang lain. Selama disana aku tidak memegang HP, tidak membaca koran, tidak dibekali uang, makan hanya mengandalkan jatah dari panti. Bila ingin jajan, satu-satunya jalan adalah menjadi tukang cuci, mencucikan baju para pengurus. Mencuci baju 1 bak aku dibayar 5 ribu, cukup untuk membeli roti dan kerupuk. Begitulah proses pemulihan mental dan fisikku.
Setelah genap sebulan aku dirawat dan perkembangan kondisiku terus membaik dan stabil. Berkat dukungan orang-orang tersayang, akhirnya aku boleh pulang ke rumah. Perasaan khawatir pun muncul, khawatir menjadi aib keluarga, jadi bahan olok-olok, khawatir tidak diterima oleh lingkungan, dan ternyata benar, ada tetangga yang menyayangiku ketika aku kembali disambut dengan hangat, tetapi ada juga yang mengolok-olok, meskipun aku mendengarnya dari orang lain. Hal ini menjadi guncangan tersendiri buatku. Namun, aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap menjaga kestabilan mentalku, aku tidak mau kumat dan kembali direhabilitasi lagi, aku tidak mau berpisah dan mempermalukan orang-orang tersayangku.
Sebagai seorang mahasiswa bimbingan konseling, akupun tertarik untuk mengkaji apa yang dialami oleh diriku sendiri. Kebetulan aku punya kenalan seorang yang sedang menempuh S3 Psikologi di UGM, setelah cerita via whatsapp, dia menyimpulkan kemungkinan besar aku mengalami gangguan psikologis yang namanya delusi/waham, akibat dinamika hidup yang ekstrim dan beban psikologis yang terlampau berat. Dari situ aku menyadari, ternyata kebiasaanku yang ingin terlihat sempurna, menjadi yang terbaik disemua bidang, ingin memberi dampak untuk keluarga, lingkungan, bangsa, negara, agama dan dunia, keinginan untuk sukses semudah mungkin membuat kondisi psikologisku benar-benar kelelahan sampai sampai kehilangan kontrolnya. Sejak itulah aku mengurangi intensitas mengikuti diskusi yang bernuansa politis, mengurangi target yang muluk, dan mengurangi intensitas kegiatan maupun tanggungjawab lainnya.
Sebagian orang memintaku untuk menjalani hidup apa adanya saja seperti orang pada umumnya, kuliah ya kuliah saja, tidak usah memikirkan orang lain, kemudian bekerja, punya anak, terus bekerja lagi sampai mati, memikirkan diri sendiri saja, Namun aku tak bisa seperti itu, nuraniku tidak sanggup. Aku mengurangi intensitas aktivitas yang memacu badan dan pikiran, namun tak berarti mimpi mimpiku terhenti. Impianku untuk menebar manfaat bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan, bangsa, negara, dan agama tetap hidup walau dalam praktiknya lebih sederhana dan lebih santai dari yang awalnya aku cita citakan, yang dulunya aku ingin berdikari secara finansial, sekarang tetap menerima uang dari orang tua yang penting tidak untuk hura-hura, yang dulu ingin membangun panti asuhan sekarang yang penting tetap bisa berdonasi untuk panti asuhan walau sedikit dan aktif mendukung kampanye kesehatan mental, yang dulu ingin mempunyai perusahaan properti sekarang tetap didunia properti walau hanya sebagai marketing freelance-nya.
Dari apa yang aku tahu, apa yang pernah aku rasakan, apa yang aku alami, aku ingin berbagi apa yang aku punya. Aku tidak mau semakin banyak keluarga yang berantakan, aku tidak mau semakin banyak orang yang mengalami gangguan mental, aku tidak mau masyarakat tenggelam dalam tidak tahu mengenai hal-hal yang dapat memperparah kondisi orang-orang dengan gangguan mental.
Melalui tulisan ini aku berharap masyarakat menyadari, setiap orang berhak mewujudkan mimpi mimpinya, sekalipun orang itu pernah mengalami gangguan kejiwaan, dan tanggungjawab sosial kita sebagai masyarakat adalah mendukung agar yang sakit bisa sembuh dan yang sehat mentalnyan tetap terjaga kesehatan mentalnya. Meskipun masuk panti rehabilitasi, namun bukan berarti harus berhenti bermimpi dan semangat. Selama masih hidup artinya kita masih punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi mimpi kita. Selamat berjuang mencari kawan dan jalan yang tepat untuk mewujudkan impian.
Editor: Syurawasti Muhiddin
Terimaksih kak..:)
BalasHapus