Oleh Afga Yudistikhar
Kekerasan dalam pacaran ibaratnya gunung es, marak terjadi namun hanya sedikit yang diketahui. Ada banyak hal yang menyebabkan fenomena ini jarang terekspos. Misalnya, korban yang sungkan melaporkan karena masih mencintai pelaku atau mirisnya ketika pelaku sampai mengancam korban. Pada suatu kasus, korban enggan membebaskan diri dari lingkaran kekerasan karena diancam oleh pelaku, foto-foto hubungan intim yang telah dilakukan keduanya akan disebarkan ke orang tua korban. Pada kasus yang lain, korban diancam foto-foto mesranya dengan pelaku akan diekspos ke media sosial. Selain dua kasus tersebut, mungkin masih banyak kasus lainnya yang tidak diketahui sampai saat ini. Fenomena ini akan tetap bergerak di bawah tanah, selama keinginan untuk membebaskan diri dari kekerasan masih terpendam, baik dari pelaku, korban, hingga orang-orang di sekitar keduanya.
Tulisan ini akan menguak fenomena kekerasan dalam pacaran dari sudut pandang pelaku. Kalau selama ini banyak tulisan mengenai bagaimana dampak psikologis yang dialami korban kekerasan atau bagaimana cara melepaskan diri dari kekerasan tersebut, dalam tulisan ini penulis ingin berbagi mengenai dinamika psikologis yang terjadi dalam diri pelaku, agar selain kita berempati kepada korban, kita juga bisa lebih memahami fenomena ini dari perspektif pelaku. Karena pada dasarnya, melihat fenomena ini, perlu dari cakupan yang luas, dengan tidak hanya mempertimbangkan korban, namun juga pelaku, hingga orang-orang di sekitar, termasuk keluarga, sekolah, masyarakat, hingga pemerintah. Dengan demikian, kita bisa memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai fenomena ini dengan melihatnya secara sistemik.
Sebenarnya apa yang menyebabkan orang tega melakukan kekerasan kepada orang yang mencintainya? Terkait pertanyaan ini, Adler memiliki jawabannya sendiri. Adler merupakan salah satu pencetus teori psikogi individual yang termasuk dalam mazhab psikodinamika. Adler menggambarkan pelaku kekerasan ibaratnya tiang yang rapuh. Mereka layaknya tiang kayu yang tampak kokoh, namun nyatanya digerogoti rayap dari dalam. Sedikit tekanan saja akan membuat tiang itu runtuh. Begitulah jiwa para pelaku kekerasan. Mereka hanya berani mengasari orang-orang yang setia mencintainya, namun senyatanya nyali mereka ciut pada orang lain. Adler menjelaskan fenomena ini sebagai dorongan striving for superiority. Adler menjelaskan setiap orang memiliki inferioritas dalam diri mereka yang dibawa sedari kecil (Feist & Feist, 2009). Karena inferioritas ini, setiap orang berusaha untuk mencapai superiority dengan caranya masing-masing. Inferioritas ini akan mengecil seiring semakin besarnya usaha individu untuk meraih superiority (Pervin, Cervone, & John, 2004).
Namun, tampaknya hal yang berbeda ditunjukkan oleh para pelaku kekerasan. Pada dasarnya, apabila kita jeli dalam melihat, jauh dalam diri mereka terdapat jiwa yang kosong, inferioritas yang besar, layaknya tiang kayu yang tampak kokoh, namun rapuh dari dalam. Mereka hanya berani melakukan kekerasan kepada orang yang mencintainya. Mereka memiliki anggapan, orang yang mereka cintai akan selalu hadir meskipun disakiti, beda halnya dengan orang lain. Sejatinya, mereka melakukan kekerasan untuk menyembunyikan jiwa mereka yang rapuh. Mereka ibaratnya menutupi inferioritas dengan selimut superiority yang semu. Mereka terlihat kuat, mendominasi, percaya diri, dengan melakukan kekerasan untuk menutupi rasa rendah diri yang menguasai jiwa mereka.
Sejumlah studi mampu menjelaskan akar dari inferioritas yang dimiliki oleh para pelaku kekerasan. Mereka digambarkan memiliki insecured attachment (anxiety or avoidant) dengan orang-orang di sekitar termasuk pasangan. Insecured attachment (kelekatan tidak aman) yang mereka miliki membuat mereka berperilaku agresif untuk menyembunyikan ketidakpercayaan diri, rasa rendah diri, perasaan curiga, dan perasaan cemas ketika bersama orang lain. Insecured attachment ini diperoleh dari kelekatan yang tidak aman yang dikembangkan dari kecil ketika bersama orang tua atau keluarga. Mereka kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan kepedulian dari orang tua dan keluarga, yang membuat mereka merasakan kesepian, kurang percaya diri, dan rendah diri (Moretti & Peled, 2004). Studi lain menemukan remaja yang cenderung melakukan perilaku agresif termasuk kekerasan, berasal dari keluarga yang broken home. Mereka kurang diperhatikan oleh keluarga dan kekurangan kasih sayang (Astuti, 2011). Pada kesempatannya, ketika anak beranjak dewasa kemudian menjalin hubungan romantis, konflik-konflik psikologis yang mereka tekan selama ini, bisa terlampiaskan dengan melakukan kekerasan kepada orang yang dicintainya. Mereka berusaha menunjukkan superioritas diri mereka yang semu hanya kepada orang yang setia mencintai mereka karena mereka beranggapan orang yang mencintainya tidak akan pergi meskipun telah disakiti.
Fenomena kekerasan dalam pacaran memang begitu kompleks. Rantai kekerasan ini hanya bisa diputus apabila semua pihak mau berkolaborasi. Tentunya, gerakan untuk menghentikan kekerasan seyogianya dimulai dari keluarga mengingat remaja dan orang dewasa merupakan produk keluaran dari keluarga. Keluarga seyogianya menanamkan nilai-nilai pada anak, sehingga di masa datang anak bisa berbaur dengan masyarakat secara adaptif. Selain itu, keluarga seyogianya mendampingi anak dalam mengembangkan kelekatan yang aman, dengan pemberian kasih sayang, perhatian, dan kepedulian. Namun tidak cukup hanya keluarga untuk memutus lingkaran kekerasan ini. Berbagai pihak lain, seperti sekolah, masyarakat, hingga pemerintah seyogianya berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan pribadi anak.
Referensi:
Astuti, M. (2011). Anak Berhadapan dengan Hukum Ditinjau dari Pola Asuh dalam Keluarga. Informasi, 16(1): 1-16.
Feist, J & Feist, G. J. (2009). Teori Kepribadian (Buku 1). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Moretti, M. M. & Peled, M. (2004). Adolescent-parent Attachment: Bonds that Support Healthy Development. Paediatr Child Helath, 9(8): 551-555.
Pervin, L. A., Cervone, D., & John, O. P. (2004). Psikologi Kepribadian: Teori dan Penelitian. Jakarta: Penerbit Kencana.
“Pelaku kekerasan ibaratnya tiang yang rapuh. Mereka layaknya tiang kayu yang tampak kokoh, namun nyatanya digerogoti rayap dari dalam. Sedikit tekanan saja akan membuat tiang itu runtuh”.
Kekerasan dalam pacaran ibaratnya gunung es, marak terjadi namun hanya sedikit yang diketahui. Ada banyak hal yang menyebabkan fenomena ini jarang terekspos. Misalnya, korban yang sungkan melaporkan karena masih mencintai pelaku atau mirisnya ketika pelaku sampai mengancam korban. Pada suatu kasus, korban enggan membebaskan diri dari lingkaran kekerasan karena diancam oleh pelaku, foto-foto hubungan intim yang telah dilakukan keduanya akan disebarkan ke orang tua korban. Pada kasus yang lain, korban diancam foto-foto mesranya dengan pelaku akan diekspos ke media sosial. Selain dua kasus tersebut, mungkin masih banyak kasus lainnya yang tidak diketahui sampai saat ini. Fenomena ini akan tetap bergerak di bawah tanah, selama keinginan untuk membebaskan diri dari kekerasan masih terpendam, baik dari pelaku, korban, hingga orang-orang di sekitar keduanya.
Tulisan ini akan menguak fenomena kekerasan dalam pacaran dari sudut pandang pelaku. Kalau selama ini banyak tulisan mengenai bagaimana dampak psikologis yang dialami korban kekerasan atau bagaimana cara melepaskan diri dari kekerasan tersebut, dalam tulisan ini penulis ingin berbagi mengenai dinamika psikologis yang terjadi dalam diri pelaku, agar selain kita berempati kepada korban, kita juga bisa lebih memahami fenomena ini dari perspektif pelaku. Karena pada dasarnya, melihat fenomena ini, perlu dari cakupan yang luas, dengan tidak hanya mempertimbangkan korban, namun juga pelaku, hingga orang-orang di sekitar, termasuk keluarga, sekolah, masyarakat, hingga pemerintah. Dengan demikian, kita bisa memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai fenomena ini dengan melihatnya secara sistemik.
Sebenarnya apa yang menyebabkan orang tega melakukan kekerasan kepada orang yang mencintainya? Terkait pertanyaan ini, Adler memiliki jawabannya sendiri. Adler merupakan salah satu pencetus teori psikogi individual yang termasuk dalam mazhab psikodinamika. Adler menggambarkan pelaku kekerasan ibaratnya tiang yang rapuh. Mereka layaknya tiang kayu yang tampak kokoh, namun nyatanya digerogoti rayap dari dalam. Sedikit tekanan saja akan membuat tiang itu runtuh. Begitulah jiwa para pelaku kekerasan. Mereka hanya berani mengasari orang-orang yang setia mencintainya, namun senyatanya nyali mereka ciut pada orang lain. Adler menjelaskan fenomena ini sebagai dorongan striving for superiority. Adler menjelaskan setiap orang memiliki inferioritas dalam diri mereka yang dibawa sedari kecil (Feist & Feist, 2009). Karena inferioritas ini, setiap orang berusaha untuk mencapai superiority dengan caranya masing-masing. Inferioritas ini akan mengecil seiring semakin besarnya usaha individu untuk meraih superiority (Pervin, Cervone, & John, 2004).
Namun, tampaknya hal yang berbeda ditunjukkan oleh para pelaku kekerasan. Pada dasarnya, apabila kita jeli dalam melihat, jauh dalam diri mereka terdapat jiwa yang kosong, inferioritas yang besar, layaknya tiang kayu yang tampak kokoh, namun rapuh dari dalam. Mereka hanya berani melakukan kekerasan kepada orang yang mencintainya. Mereka memiliki anggapan, orang yang mereka cintai akan selalu hadir meskipun disakiti, beda halnya dengan orang lain. Sejatinya, mereka melakukan kekerasan untuk menyembunyikan jiwa mereka yang rapuh. Mereka ibaratnya menutupi inferioritas dengan selimut superiority yang semu. Mereka terlihat kuat, mendominasi, percaya diri, dengan melakukan kekerasan untuk menutupi rasa rendah diri yang menguasai jiwa mereka.
Sejumlah studi mampu menjelaskan akar dari inferioritas yang dimiliki oleh para pelaku kekerasan. Mereka digambarkan memiliki insecured attachment (anxiety or avoidant) dengan orang-orang di sekitar termasuk pasangan. Insecured attachment (kelekatan tidak aman) yang mereka miliki membuat mereka berperilaku agresif untuk menyembunyikan ketidakpercayaan diri, rasa rendah diri, perasaan curiga, dan perasaan cemas ketika bersama orang lain. Insecured attachment ini diperoleh dari kelekatan yang tidak aman yang dikembangkan dari kecil ketika bersama orang tua atau keluarga. Mereka kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan kepedulian dari orang tua dan keluarga, yang membuat mereka merasakan kesepian, kurang percaya diri, dan rendah diri (Moretti & Peled, 2004). Studi lain menemukan remaja yang cenderung melakukan perilaku agresif termasuk kekerasan, berasal dari keluarga yang broken home. Mereka kurang diperhatikan oleh keluarga dan kekurangan kasih sayang (Astuti, 2011). Pada kesempatannya, ketika anak beranjak dewasa kemudian menjalin hubungan romantis, konflik-konflik psikologis yang mereka tekan selama ini, bisa terlampiaskan dengan melakukan kekerasan kepada orang yang dicintainya. Mereka berusaha menunjukkan superioritas diri mereka yang semu hanya kepada orang yang setia mencintai mereka karena mereka beranggapan orang yang mencintainya tidak akan pergi meskipun telah disakiti.
Fenomena kekerasan dalam pacaran memang begitu kompleks. Rantai kekerasan ini hanya bisa diputus apabila semua pihak mau berkolaborasi. Tentunya, gerakan untuk menghentikan kekerasan seyogianya dimulai dari keluarga mengingat remaja dan orang dewasa merupakan produk keluaran dari keluarga. Keluarga seyogianya menanamkan nilai-nilai pada anak, sehingga di masa datang anak bisa berbaur dengan masyarakat secara adaptif. Selain itu, keluarga seyogianya mendampingi anak dalam mengembangkan kelekatan yang aman, dengan pemberian kasih sayang, perhatian, dan kepedulian. Namun tidak cukup hanya keluarga untuk memutus lingkaran kekerasan ini. Berbagai pihak lain, seperti sekolah, masyarakat, hingga pemerintah seyogianya berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan pribadi anak.
Referensi:
Astuti, M. (2011). Anak Berhadapan dengan Hukum Ditinjau dari Pola Asuh dalam Keluarga. Informasi, 16(1): 1-16.
Feist, J & Feist, G. J. (2009). Teori Kepribadian (Buku 1). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Moretti, M. M. & Peled, M. (2004). Adolescent-parent Attachment: Bonds that Support Healthy Development. Paediatr Child Helath, 9(8): 551-555.
Pervin, L. A., Cervone, D., & John, O. P. (2004). Psikologi Kepribadian: Teori dan Penelitian. Jakarta: Penerbit Kencana.
Editor: Syura
Gambar: Azmul
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.