Penulis : Afga
Editor : Syura
Editor : Syura
Salah satu sifat manusia adalah
kebutuhan akan pengakuan. Setiap orang ingin diakui, diketahui, dan dipahami.
Hampir setiap orang ingin dikatakan cantik, pintar, kaya, menarik, langsing,
tampan, baik, dermawan, rendah hati, dan seterusnya. Semua kebutuhan akan
pengakuan tersebut merupakan hal yang wajar dan manusiawi. Hampir tidak ada
orang yang tidak ingin dicintai dan diakui kehadirannya. Maslow (dalam
Derobertis & Bland, 2017) sebagai salah satu pencetus teori hirarki kebutuhan,
mengemukakan bahwa kebutuhan akan pengakuan dan penghargaan, merupakan salah
satu bentuk kebutuhan yang seyogianya dipenuhi agar seseorang dapat mencapai
aktualisasi diri. Seseorang yang mencapai aktualisasi diri mampu mengembangkan
segala potensi dan kualitas dirinya untuk menjadi diri yang sesuai fitrah.
Setiap orang menunjukkan kebutuhan akan
pengakuan dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang yang gemar memamerkan
prestasi dan segala pencapaian hidupnya di media sosial. Ada orang yang sering
kali mengekspos gaya hidup hedonisnya. Ada orang yang selalu ingin dikatakan baik,
pintar, dan tahu segalanya. Ada juga orang yang tidak segan memamerkan
kemesraan hubungannya di dunia maya. Setiap orang cenderung berlomba-lomba
untuk pamer, ingin dibilang, dan ingin diakui, seolah-olah kehidupan tidak akan
bermakna ketika kelebihan yang dimiliki tidak disampaikan ke banyak orang.
Kebutuhan akan pengakuan memang
merupakan hal yang manusiawi, namun pada intensitas tertentu kebutuhan tersebut
menjadi tidak rasional. Kebutuhan akan penghargaan memang membantu seseorang untuk
mencapai aktualisasi diri, namun pandangan tersebut perlu untuk lebih dipahami
dengan arif. Seseorang dapat memenuhi kebutuhan akan self-esteem (kebutuhan akan penghargaan, berprestasi, respek dari
orang lain) tanpa harus pamer, berimpresi, dan terkesan merendahkan orang lain.
Orang-orang yang mencapai aktualisasi diri, pada dasarnya tidak membutuhkan
pengakuan dan penilaian orang lain. Mereka mengembangkan potensi dan kualitas
diri berdasarkan atas keyakinan akan kebenaran yang dianut.
Kehidupan modern yang sarat akan
kebutuhan untuk populer, menjadikan orientasi kompetisi berkembang pesat. Orang-orang
berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik berdasarkan standar penilaian orang
lain. Kehidupan pun menjadi tidak lagi nyaman, karena sesak dan dipenuhi oleh
orang-orang yang selalu ingin unggul, ingin dibilang, dan menganggap diri
mereka lebih baik dibandingkan orang lain. Orang-orang yang berorientasi
kompetisi sejatinya mereka lelah dan lama kelamaan akan kekurangan energi untuk
menjalani kehidupan. Mereka kehilangan diri mereka yang otentik karena sibuk
berkompetisi. Mereka selalu tergesa-gesa karena sejatinya mereka kurang bahagia
dan memaknai hidup.
Kehidupan yang penuh dengan kompetisi
tersebut, menjadi neraka bagi orang-orang tertentu. Sebagian orang yang merasa
kalah bersaing dan tersisihkan akan merasa rendah diri, bahkan pada kasus-kasus
tertentu, mereka rentan terkena depresi hingga melakukan bunuh diri. Badan
Kesehatan Dunia WHO menyatakan bahwa bunuh diri menjadi penyebab kematian
tertinggi kedua di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Prevalensi kasus bunuh
diri di tanah air mencapai lima ribu kasus pada tahun 2010 dan terus meningkat
dua kali lipat di tahun-tahun selanjutnya (Komunitas Into The Light Indonesia,
2018). Salah satu hal yang menjadi penyebab utama dari maraknya kasus bunuh
diri tersebut, yaitu semakin meningkatnya persaingan sosial, selain karena
masalah pribadi seperti kematian orang yang dicintai, krisis ekonomi, masalah relationship, dan sebagainya.
Setiap orang tampaknya perlu untuk lebih
rendah hati dan lebih arif agar terhindar dari kesan butuh pengakuan yang
berlebihan. Hampir setiap orang tampaknya kehilangan karakter Humility di dalam diri mereka. Setiap
orang membutuhkan karakter Humility
agar terhindar dari rasa haus akan pamer dan menganggap diri lebih tinggi
dibandingkan orang lain. Peterson dan Seligman (2004) menggambarkan orang yang Humility sebagai sosok yang tidak butuh
pengakuan dan popularitas. Orang yang Humility
memiliki banyak pencapaian dan prestasi, namun mereka memilih untuk tidak mengumumkannya
kepada orang lain. Orang yang Humility
memiliki prinsip hidup, “Saya tidak perlu populer di hadapan manusia, selama
saya populer di hadapan Tuhan”.
Karakter Humility merupakan salah satu dari keempat karakter dalam kebajikan
Temperance dalam teori Core Virtue yang digagas oleh Peterson
& Seligman (2004). Humility
menjadi karakter yang paling sulit untuk dicapai oleh manusia, dibandingkan dua
puluh empat karakter lainnya. Humility
merupakan karakter rendah hati yang memiliki makna yang lebih dalam
dibandingkan sekedar “Humble”. Orang Humility tidak membutuhkan pengakuan dan
kepopuleran dari orang banyak. Karakter ini sulit untuk dicapai karena
keinginan untuk diakui merupakan dorongan dasar manusia (Peterson &
Seligman, 2004). Ketika banyak orang yang memamerkan prestasi-prestasinya,
orang Humility yang juga memiliki
berbagai prestasi dan kualitas diri, memilih untuk tidak menyiarkannya ke orang
lain. Mereka meyakini bahwa segala pencapaian dalam hidup, bukanlah untuk
diketahui orang lain, tapi untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang
sebagaimana fitrahnya.
Orang Humility memiliki berbagai prestasi dan kualitas diri yang
memungkinkan mereka untuk dikenal dan dikagumi banyak orang. Orang yang
memiliki karakter Humility, tidak
berarti mereka tidak memiliki pencapaian dalam hidup (Peterson & Seligman,
2004). Hanya saja mereka jarang terekspos dan diketahui, karena mereka tidak
pernah memamerkan kebaikan ataupun prestasi yang dimiliki. Orang yang seperti
ini, jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di kehidupan modern
ini, di mana orang-orang dengan mudahnya membagikan prestasi, pengalaman,
kebahagiaan, kebanggaan, melalui media sosial.
Karakter Humility dapat dikembangkan dengan pembiasaan sejumlah karakter
yang mengarah kepada Temperance. Temperance merupakan kebajikan yang
melindungi manusia dari sifat yang berlebihan. Sejumlah karakter yang dapat
membantu pengembangan Humility,
misalnya self-regulation (regulasi
diri), prudence (mawas diri), forgiveness (pemaafan), dan karakter
lainnya yang sejenis (Peterson & Seligman, 2004). Seseorang tidak akan
memiliki karakter Humility, apabila regulasi
dirinya rendah. Begitupun seseorang akan sulit mencapai Humility, apabila tidak senantiasa mawas diri (prudence).
Keluarga memiliki tanggung jawab untuk
melatihkan karakter Humility kepada
anak. Anak mengembangkan karakter Humility
melalui modelling perilaku orang tua
mereka. Oleh karena itu, orang tua seyogianya memberikan teladan terkait
karakter Humility kepada anak. Selain
itu, orang tua juga dapat melatihkan karakter tersebut melalui pemberian umpan
balik dan apresiasi. Orang tua memberikan umpan balik kepada perilaku anak yang
mengarah kepada arogansi, pamer, dan merendahkan orang lain. Selain pemberian
umpan balik, orang tua juga perlu mengapresiasi keberhasilan yang dicapai oleh
anak sekaligus mengajarkan anak untuk rendah hati mengapresiasi karya orang
lain (Peterson & Seligman, 2004).
Seseorang pada dasarnya dapat
mengembangkan karakter Humility
melalui inner journey dan penghayatan
mendalam terhadap pengalaman hidup. Bagaimanapun juga, karakter tersebut
merupakan proses yang sangat sulit dicapai dalam hidup. Seseorang perlu
mengenali dirinya yang otentik sebagaimana yang Tuhan ciptakan, untuk dapat
menyadari hakikat hidup dan memaknainya. Seseorang yang telah mengenali dirinya
dan memaknai hidupnya, sejatinya tidak membutuhkan pengakuan dari orang lain. Bukanlah
tanpa alasan, orang-orang Humility
sangat sulit ditemui dalam kehidupan sehari-hari karena pada dasarnya mereka
tidak menonjol dan jarang terekspos.
Kehidupan akan menjadi lebih indah
ketika setiap orang mampu mengembangkan karakter Humility. Ketika kebanyakan orang menganggap hidup bertujuan untuk
mencapai sebanyak-banyaknya prestasi dan pengalaman, orang-orang arif justru
meyakini Humility sebagai pencapian terbesar
dalam hidup, yang seyogianya menjadi tujuan akhir kehidupan setiap orang. Bagaimanapun
juga, kehidupan bertujuan untuk mencapai kebenaran dan ketulusan hati, bukannya
banyak pencapaian dan prestasi.
Orang-orang yang memiliki karakter Humility ibarat mawar yang tidak perlu
menjelaskan keindahannya, karena semua orangpun tahu bahwa mawar itu indah tanpa
perlu dijelaskan. Mereka memang tidak populer di hadapan manusia, namun mereka
menjadi yang terpopuler di hadapan Tuhan.
Referensi:
Derobertis,
E. M. & Bland, A. M. (2017). The Humanistic Perspective in Psychology.
USA: Springer International Publishing.
Komunitas
Into The Light Indonesia. (2018). Angka
Bunuh Diri di Indonesia Meningkat. [online] https://www.intothelightid.org. Diakses pada 4
Desember 2018.
Peterson,
C. & Seligman, M. E. P. (2004). Character
Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Washington DC.:
American Psychological Association.
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.