Artikel
Pengalaman
Tulisan
Perjalanan Berdamai dengan Diri Sendiri Melalui Profesi Psikologi
Menjadi seorang Psikolog, sebuah cita-cita? hasrat untuk membantu sesama? atau bentuk dari usaha pencarian jati diri dan pemahaman akan dunia?.
Panggil saja aku Nita. Seorang perempuan yang saat ini berusia 24 tahun dan masih mencari jati diri hingga saat ini. Cita-cita menjadi seorang Psikolog secara tiba-tiba tercetus ketika aku sedang melamun saat usiaku masih 16 tahun. Saat itu aku tidak tahu cita-citaku apa, impian, pekerjaan yang ingin aku capai setelah tamat dari bangku SMA. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa aku akan memasuki sebuah profesi yang banyak dipersepsikan orang-orang serupa dengan “dukun”. Aku mulai merasakan itu setelah masuk kuliah S1 pada tahun 2012. Setiap kali aku bertemu dengan orang baru dan menyatakan bahwa aku berkuliah di jurusan Psikologi, maka respon mereka “eh tolong baca pikiran saya dong”, “wah kamu pasti bisa baca karakter orang-orang kayak gimana ya” dan yang lebih parahnya beberapa orang yang ku temui dapat mengatakan seperti ini “eh keliatan enggak aku lagi stress”, “eh coba liat dia lagi stress gak tuh”, atau orang tersebut memaksa untuk minta di berikan tes Psikologi untuk mengetahui kepribadiannya tanpa adanya keluhan apapun terlebih dahulu. Respon tersebut muncul bahkan disaat aku berkenalan dengan orang baru. Pada awalnya aku merasa itu sebuah lelucon, namun semakin lama aku merasa kesal mendengar respon tersebut. Dibalik hal tersebut, aku selalu berusaha berpikir bahwa masih banyak orang yang belum memahami betul pekerjaan dari Profesi Psikologi dan mulai menjelaskan bahwa seorang Psikolog mempelajari perilaku manusia berdasarkan pada hal yang tampak dan terukur, sehingga tidak seperti dukun yang menebak berdasarkan pada hal-hal yang menjadi kepercayaannya.
Sampai sejauh ini, aku merasa bersyukur bisa menjalani kuliah Psikologi, meskipun ini bukan perjalanan yang mudah. Selama berkuliah, aku mulai banyak menyadari hal-hal yang bersifat menyimpang dalam diriku sekaligus potensi yang aku miliki. Mempelajari ilmu Psikologi pastinya akan banyak mereview kehidupan di masa lalu dan aku meyakini apapun yang ku alami di masa lalu memiliki pengaruh yang besar terhadap karakterku saat ini. Memasuki dunia Psikologi berarti belajar untuk berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu sebelum membantu mendamaikan kondisi orang lain. Aku mulai merasakan perjalanan berdamai dengan diri sendiri setelah berkecimpung dalam profesi ini. Bukan perjalanan yang mudah, terutama untuk pribadiku yang cenderung mengutamakan aspek emosi dibandingkan logika. Konflik dalam keluarga, relasi sosial, dan krisis kepercayaan diri menjadi permasalahan yang perlu aku selesaikan. Label “sakit” kadang aku sematkan pada diriku sendiri setelah menyadari banyak pengalaman kurang menyenangkan yang aku alami dan berdampak pada keseluruhan aspek kehidupanku saat ini. Aku kerap menyalahkan diriku sendiri maupun orang lain atas kejadian apapun yang terjadi. Aku tidak berusaha melihat sisi positif dari setiap kejadian yang terjadi. Perasaan tidak berharga, pemikiran untuk bunuh diri, merasa kesal dengan anggota keluarga sendiri maupun teman-teman terdekat menjadi hal-hal yang sering membuatku dilema dan tidak mengerti tujuan hidupku sendiri.
Menyadari banyak pengalaman negatif yang sering aku rasakan, membuatku belajar untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan berkomunikasi dengan diri ku sendiri. Ketika mulai menghadapi permasalahan dan belum menemukan solusi, secara perlahan aku mulai bertanya kepada Tuhan, hal apa yang ingin Tuhan tunjukkan kepadaku, memohon untuk selalu diberkati untuk segala usaha yang ku lakukan dan mengikhlaskan hal apapun yang terjadi, baik itu yang menyenangkan ataupun tidak. Selain dengan Tuhan, aku juga mulai berkomunikasi dengan diri ku sendiri. Self talk menjadi bentuk intervensi bagi diriku sendiri. Di dalam proses self talk tersebut juga ku sisipkan afirmasi positif dan proses menemukan sisi rasional dari kejadian yang aku hadapi. Apapun yang aku inginkan, perasaan apa yang ingin aku sampaikan dan hal apa yang harus aku lakukan selanjutnya, aku komunikasikan dengan driku sendiri selayaknya berkomunikasi dengan orang lain. Aku menemukan ketenangan dan belajar untuk tidak memaksakan egoku setelah melakukan self talk. Pandangan tentang hidup tidak selalu menjadi negatif. Aku belajar untuk menertawakan hidup ini dan menekankan bahwa perjalanan hidup adalah perjalanan yang seru. Selalu mencari makna dan cara untuk berdamai dengan segala kejadian yang dihadapi.
Berbagai pelajaran yang aku temui selama berproses dengan diri sendiri terkadang ku sisipkan menjadi bagian dari sesi konseling saat bertemu dengan klien-klienku saat ini. Pengalaman untuk belajar menangani klien secara profesional menjadi pengalaman seru yang belum pernah aku dapatkan sebelum memasuki kuliah S2. Beberapa dosen pun menyampaikan bahwa klien yang kita hadapi sedikit tidaknya akan menunjukkan refleksi diri kita sendiri. Ya, hal tersebut benar adanya. Aku mulai merasakan adanya persamaan dan tantangan yang ku hadapi ketika membantu para klien. Apapun permasalahan yang mereka hadapi, pasti memiliki dasar permasalahan yang serupa dengan permasalahan yang aku hadapi selama hidup. Masalah kecemasan, afeksi, emosi, hubungan dengan orangtua ataupun permasalahan dengan relasi sosial sering menjadi dasar permasalahan para klien yang pernah ku tangani.
Setiap mendengarkan cerita hidup mereka, sedikit tidaknya membuatku tersadar bahwa ada bagian dalam hidupku yang serupa dengan mereka. Langkah selanjutnya adalah membantu para klien ini menemukan solusi atau insight untuk menerima dan menyelesaikan masalah mereka. Secara tidak langsung, aku pun ikut belajar untuk mengatasi konflik-konflik yang belum selesai dalam hidupku. Dari mereka aku menyadari bahwa kehidupan ini kompleks, selalu ada variasi bentuk permasalahan dan pembelajaran baru yang kami temukan bersama. Kehidupan tidak akan seimbang apabila hanya kesehatan fisik saja yang dijaga, namun juga mental. Kondisi fisik pun akan ikut terganggu saat mental mulai berada dalam kondisi yang tidak stabil. Ketika para klien yang ku tangani mulai menyebutkan adanya gejala fisik yang muncul, maka terkadang hal tersebut berpengaruh terhadap kesadaranku akan permasalahan fisik yang ku alami saat berada di bawah kondisi stress. Ketika memberikan intervensi kepada klien, maka secara tidak langsung aku juga belajar berdamai dengan kekurangan dan permasalahan yang aku hadapi selama ini. Aku percaya bahwa kehadiran para klien ataupun orang-orang yang bersedia menceritakan permasalahannya menjadi salah satu bentuk perpanjangan tangan Tuhan yang sedang bekerja untuk membantuku menemukan makna hidup.
Menurutku, memahami permasalahan orang lain tidak sesulit dengan memahami pesan Tuhan yang ingin disampaikan melalui berbagai kejadian ataupun kehadiran orang lain dalam hidup kita. Terkadang kita perlu belajar untuk tidak menanyakan maksud orang lain memperlakukan kita dengan baik ataupun buruk, namun bertanyalah kepada Tuhan pesan positif apa yang ingin ia sampaikan dalam hidup kita.
Penulis : Putu Yunita Trisna Dewi, S.Psi
(Mahasiswa Magister Profesi Psikologi UNAIR 2017)
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.