Perceraian…
Mungkin bukan lagi kata awam bagi kita. Mulai dari orang biasa sampai public figure nampak melakukan
perceraian. Mungkin bagi mereka yang melakukan perceraian, hal itu adalah jalan
terbaik bagi mereka, namun terkadang para orangtua mengesampingkan dampak yang
terjadi kepada anak. Anak sering menjadi korban dari perceraian orangtuanya. Hal
itu dapat dilihat melalui data yang dilansir dari KPAI bahwa anak yang menjadi
korban perceraian semakin tahun menunjukkan angka yang semakin meningkat.
Tercatat sepanjang tahun 2011-2016 sebanyak 4.294 pengaduan anak menjadi korban
pengasuhan keluarga dan pengasuhan alternative. Angka tersebut berada di
peringkat kedua setelah pelaporan kasus anak yang bermasalah dengan hukum.
Dampak-dampak negatif yang terjadi akibat perceraian bermacam-macam. Esmaeili,
Yaacob, Juhari, dan Mansor (2011) mengemukakan bahwa anak-anak yang orangtuanya
berkonflik akan memiliki masalah akademik dibandingkan anak-anak yang orangtuanya
tidak berkonflik. Anak-anak yang orangtuanya berkonflik cenderung dua sampai
tiga kali lebih besar dikeluarkan dari sekolah. Rich (2003) juga mengemukakan bahwa
anak dari orangtua yang bercerai nenunjukkan masalah akademik, seperti memiliki
nilai yang rendah dan penyesuaian diri remaja yang buruk, masalah depresi dan
kecemasan, kurang memiliki tanggung jawab sosial, kurang kompeten dalam relasi,
masalah kenakalan remaja seperti seks di usia dini, mengonsumsi obat-obatan
terlarang dan tawuran, hingga memiliki harga diri rendah dan bergabung dengan
kelompok antisosial.
Anak dari keluarga yang bercerai sering menyalahkan kedua orangtuanya
karena telah memutuskan untuk melakukan perceraian. Hal itu dikarenakan rasa
sakit yang timbul akibat perceraian. Selain itu, anak juga terkadang menyalahkan
dirinya dan menganggap dirinya sebagai penyebab perceraian orangtuanya.
Salah satu cara memperbaiki hubungan anak dan orangtua yang bercerai
adalah dengan berdamai dan saling memaafkan antara orangtua dan anak atas
peristiwa perceraian yang terjadi. Darby dan Schlenker (1982) menemukan bahwa
meminta maaf sangat
efektif dalam mengatasi
konflik interpersonal, karena
permintaan maaf merupakan
sebuah pernyataan tanggung jawab tidak
bersyarat atas kesalahan
dan sebuah komitmen
untuk memperbaikinya. Enright
(2001) mengemukakan bahwa pemaafan adalah bentuk kesiapan melepaskan hak yang
dimiliki seseorang untuk meremehkan, menyalahkan, dan membalas dendam terhadap
individu yang telah berbuat tidak benar, dan di waktu yang bersamaan
mengembangkan kasih sayang dan kemurahan hati kepada individu lain. McCullough,
Worhington dan Rachal (1997) juga mengemukakan bahwa pemaafan adalah perubahan
serangkaian perilaku dengan menurunkan motivasi untuk membalas dendam,
menjauhkan diri dari perilaku kekerasan dan meningkatkan motivasi untuk
berdamai dengan individu yang bermasalah.
Oleh karena itu, untuk melakukan pemaafan, Enright (2001) mengemukakan
empat fase menuju pemaafan. Pertama, uncovering
phase (fase pengungkapan) yaitu ketika individu merasa sakit hati dan
dendam. Pada tahapan ini orangtua dan anak diminta untuk mengungkapkan rasa sakit
dan dendam diantara mereka. Kedua, decision
phase (fase keputusan) yaitu individu mulai berpikir rasional dan
memikirkan kemungkinan untuk forgiveness.
Pada fase ini individu belum sepenuhnya memaafkan. Tahapan ini anak dan
orangtua sudah mulai berpikir atas masalah yang telah diungkapkannya. Namun
pada tahapan ini individu belum sepenuhnya memaafkan. Ketiga, work phase (fase tindakan) yaitu adanya
tindakan secara aktif memberikan pemaafan pada individu yang bermasalah. Pada
tahapan ini anak dan orangtua mulai secara aktif memberikan pemaafaan. Tidak
ada lagi masalah antara kedua orangtua dan remaja tersebut dikarenakan semua
telah diungkapkan. Keempat adalah outcame
and deepening phase (fase pendalaman) yaitu internalisasi kebermaknaan dari
forgiveness. Pada fase ini individu
memahami bahwa pemaafan akan memberikan manfaat bagi dirinya, individu lain dan
lingkungannya. Pada tahapan ini anak dan orangtua mulai merasakan manfaat dari
memberikan pemaafan. Anak-anak tidak langsung menerima dan memaafkan, namun
perlu waktu bagi mereka untuk beradaptasi.
Adapun faktor-faktor yang membuat anak memaafkan menurut McCullogh dan
Worthingtong (1999) yaitu empati anak terhadap orangtuanya, sehingga penting bagi
anak untuk memahami perasaan orangtuanya. Kedua adalah bagaimana penilaian anak
terhadap kesalahan orangtua. Ketiga adalah tingkat kelukaan yang terjadi pada anak.
Seberapa membekas peristiwa perceraian orangtua di hatinya. Keempat adalah
karakteristik kepribadian anak. Tentunya berbeda anak kalian yang introvert dan ekstrovert. Orang-orang introvert
kebanyakan menyimpan rasa sakit yang dialami, sedangkan orang ekstrovert yang dapat menyampaikan rasa
sakitnya. Terakhir adalah kualitas hubungan anak dengan orangtua. Semakin baik
kualitas hubungan dan komunikasi dengan orangtua akan memungkinkan semakin
cepat anak memaafkan orangtua.
Perlu dipahami juga, bahwa tidak semua anak-anak yang berasal dari
keluarga bercerai mengalami keterpurukan. Anak-anak yang berhasil berdamai dan
memaafkan kedua orangtuanya berhasil mengubah dampak negatif yang terjadi
kepada mereka menjadi positif. Mereka yang telah mendapatkan penjelasan dari
orangtua atas perceraiannya pasti akan lebih siap menerima kondisi orangtua
mereka dan tidak akan terpuruk atas peristiwa yang terjadi. Anak-anak yang
mengalami perceraian orangtua dapat berprestasi di sekolah dan memiliki
hubungan sosial yang baik. Hal itu dapat terjadi karena adanya komunikasi yang
baik antara anak dan orangtua, dan orangtua yang tetap memberikan perhatian
kepada anaknya, sehingga anak tidak merasakan kehilangan orangtua mereka.
So, buat kalian yang memiliki
orangtua bercerai, jangan menganggap perceraian orangtua adalah akhir dari
segalanya. Hidup tetap berjalan. Kalian tetap bisa berprestasi kok, meskipun
orangtua kalian berpisah. Lagian orangtua kalian tetap memperhatiakan dan
sayang dengan kalian meskipun mereka sudah pisah…
“To forgive is the highest, most
beautiful form of love. In return, you will receive untold peace and happiness”
“Robert
Muller”
Penulis : Muh Fitrah Ramadhan Umar (Mahasiswa Magister Psikologi Komunitas Fakultas Psikologi Unair)
Editor : Dina Ariani
Referensi
Darby, B.W
and Schlenker, B.
R. 1982. Children
Reactions to Apologies.
Journal of Personality and Social Psychology, 43 (4),
742-753.
Enright (2001). Forgiveness is Choice . Woshington
DC : Amerika Psycological Association.
Esmaeili, N. S., Yaacob, S. N., Juhari, R., &
Mansor, M. (2011). Post-divorve conflict, economic hardship and academic
achievement among adolescents of divorced families. Asian Social Science,
7(12), 119-123.
McCullough, M.E., and Worthington, Jr., E.L. (1999).
Religion and the Forgiving Personality ,Journal of Personality, 67(6)
McCullough, M.E., and Worthington, Jr., E.L. (1999).
Religion and the Forgiving Personality ,Journal of Personality, 67(6)
Rich, J.G. (2003). The positive psychology of youth
and adolescence. Journal of Youth and adolescence, Vol. 32 (1).
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.