
“No matter what the people say about me, everytime you touch and kiss me, I become a hero, when you tell me that you love me”.
Thanks to Francesco Petrarca.
Thanks to Francesco Petrarca.
Terjatuh ke dalam jurang gelap dengan kedalaman maksimum 10.911 meter (35.798 kaki) di bawah permukaan laut, mengundang kehampaan bersama bisikan-bisikan sinis yang saling sahut-sahutan. Melegalkan ketidakberdayaan untuk sekali lagi berupaya bermain-main dengan kesunyian, ledekan-ledekan cerdas dari hasil rasionalisasi, sungguh miris untuk dinarasikan dalam petak ruang ide berukuran 3x4 m2. Fantasi sebagai bunga candu berusaha menghanyutkan, tapi pada akhirnya tetap saja tergiring ke dalam wilayah kekuasaan semu, terhalang oleh lebar dinding yang bahkan ujungnya tak terjangkau oleh pelupuk mata. Seakan telah terjalin kesepakatan kolektif, sang waktu juga tidak ingin ketinggalan, menanggalkan atributnya sebagai obat penawar, dengan gagah berani, penuh sikap angkuh dan arogan, memproklamirkan diri sebagai racun penyiksa terbaik. Begitulah sedikit gambaran yang tengah dirasakan lelaki brengsek itu.
Persepsi bahwa “semuanya akan baik-baik saja”, “semua akan indah pada waktunya” telah cukup sebagai bukti dari existence optimism, namun apakah otimisme itu telah memiliki kesiapan berhadapan dengan problematic yang tidak peka dengan kata permisi?? maka pengalaman otentik perlu untuk ditelisik lebih dalam. Kenyataan bahwa optimisme akan berhadapan dengan realitas, mungkin akan berbeda dengan ekspektasi yang begitu diwiridkan selama ini. Pilihannya tereduksi menjadi dua, memenjarakan jerit-jerit kekecewaan atau membebaskannya dalam bentuk lakon kompulsif, hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bagi para penganut theologie, tentu saja ketidakpastian itu sekejap sirna, jika saja Tuhan seketika berkenan mengutus Pandora, berkunjung mengeluarkan satu titik keajaiban, keajaiban yang tertinggal di dalam kotak pusakanya. Setitik itu bernama Hope, tanggal lahirnya kapan, orang tua kandungnya siapa, masa kecilnya seperti apa, percayalah saya pun masih mempertanyakannya. Pastinya dia punya nama lain, nama yang begitu menghangatkan, dialah “Harapan”. Optimisme dan hope, dua istilah ini begitu mudah ditemukan cukup dengan jentikan bapak jari kapitalis revolusi industri. Tetapi apa yang menjadi garis tipis pengikat Optimisme dan Hope?? Flash fictie abstraksi di bawah ini akan coba menggiringnya kedalam dunia penafsiran imajiner.
Lelaki dengan tingkat optimisme agak sedikit overdosis, atau bahkan sangat overdosis, dalam pahitnya renjana cinta dia merangkak perlahan, layaknya balita mungil berusia 7 bulan, menyeret tubuhnya untuk mencari sandaran di tengah kesendiriannya. Secara autonom saat ini otaknya tidak mampu mengatasi guncangan psikis yang sedang berproses, dengan terpaksa harus mengirimkan hormon stres ke tubuhnya, mempertegas bahwa rasa sakit itu telah menjadi kenyataan. Beban berat sekitar 100 Kg seolah bergerak dengan etos kerja luar biasa, terus menekan dada dan jantungnya, frekuensi nafas mengalami peningkatan, samar-samar rintihan kecil terdengar begitu lirih terucap dari mulutnya. Dia memeluk erat tubuhnya sendiri, di atas kedua lututnya dia menundukkan kepala sembari memohon ampun atas rasa sakit yang tak mengenal kasih, terus menekannya. Ekspektasi tinggi berhasil menenggelamkannya dalam aliran keputusasaan, menyadarkan bahwa optimisme yang selama ini begitu dibanggakan telah membawanya dalam ketiadaan.
Berbagai literatur mewariskan, bahwa Manusia dengan tingkat optimisme tinggi, cenderung merasa begitu yakin untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya, semacam self confident, but maybe not yet, to embrace self effication, beberapa expert mengaitkannya dengan kekuatan ego serta pengendalian internal (locus of control). Optimisme itu sendiri akan sangat berbeda jika mem-pretext keinginan, dalam hal ini menggapai atau meraih sesuatu (goals). Jika keinginan terpenuhi, euforia akan berdansa, bahkan di atas penderitaan orang lain pun bisa saja hal itu dilegalkan, tetapi jika optimisme berakhir sebaliknya, maka bias optimistik mengambil alih arena panggung. Kalimat sandiwara dunia begitu familiar di telinga ketika seorang manusia linglung membisikkan kalimat:
“Jangan terlalu berharap tinggi, nanti jatuhnya sakit loh”. Diksi paradoks dalam kalimat itu dapat berlaku kontradiktif, satu sisi memicu timbulnya rasa pesimistik, namun di sisi lain justru akan membangkitkan optimistik, menggaet antusiasme, melapangkan jalan harapan, merangkul optimisme menuju garis finish. Kedua sisi itu memang merasuki pikirannya, dari pesimistik beralih pelan menuju antusiasme.
Cukup beralasan itu terjadi, recall memory yang ditopang oleh kekuatan entitas tertinggi menjadi reinforce utama, kekuatan unlimited power tak tertandingi bahkan oleh makhluk ciptaan berkekuatan metafisik tertinggi sekalipun. Jawaban itu diberikan Tuhan melalui pemikiran Charles R. Synder mengenai Hope, memberi kelancaran pada alur kognitifnya. Synder telah mengaitkan Hope (harapan) dengan adanya suatu tujuan, perencanaan matang dimana persepsi realistis adalah modal untuk mencapai tujuan tersebut. Bagi Synder, pemikiran penuh harapan dibentuk oleh tiga hal utama, pertama ialah adanya tujuan (goals), sesuatu yang penting untuk dicapai, kedua strategi (pathways), tentang menemukan berbagai cara dalam menggapai tujuan tersebut, dan yang ketiga adalah kehendak (agency), berfungsi sebagai kekuatan pendorong, memberikan keyakinan bahwa tujuan itu dapat dicapai. Rekonstruksi sederhana mulai memenuhi isi kepala si lelaki brengsek, baginya optimisme hanyalah bagian dari pembentuk Hope, berfungsi memberikan dorongan penuh pada keyakinan mencapai tujuan (afektif), kalkulasi perencanaan yang matang sangat diperlukan (kognitif), agar dapat bergerak mencapai goals sebagai langkah selanjutnya (behavior).
“Aku menjemput cintamu!!”. Owhh shitt!! begitu lantang jargon itu merasukinya, mengawal langkah kaki menuju workplace sang Dewi. Segelintir cara memamerkan hasil, exactly that I mean guys, diawali dengan self stigma sebagai simbol kebodohan membiarkan roda kendaraan Pandora bergulir pelan menjauh meninggalkannya. Cukup adil pikirnya, di bangku kayu bertinggi sedang, tepat di samping sebuah pohon berjarak beberapa langkah dari kendaraan Pandora, dia duduk bersembunyi mencengkeram kedua tempurung lututnya. Perencanaan matang telah buyar dengan begitu mudah, tak ingin kesempatan semakin menjauh, dia berlari sekuat tenaga mengejar Pandora, tatapan penuh curiga seorang security diam-diam mulai mengikutinya. Begitu sangat disadarinya, bahwa mengejar hanyalah bentuk tindakan yang sia-sia, bahwa sangat tidak mungkin roda-roda itu berbalik arah hanya untuk sekedar bertutur sapa. Satu hal begitu mendorongnya, sebuah frasa dinding, “lebih baik bertindak dalam kesalahan, ketimbang harus berdiam didalam kesangsian”. Situasi drama tidak mungkin lagi terhindarkan, belasan rangkaian kata diketiknya dengan membabi buta, percakapan tak logis diperbincangkan menandakan kepanikannya, begitu puitis untuk contact yang ternyata sejak lama telah memblokirnya. Kesimpulan terbesar, security membatalkan plan A, memaksanya beralih mencoba plan B.
Pendekatan friendship itulah plan B, menurunkan standar self esteem untuk mendapatkan saran realistis dari orang-orang terdekat Pandora, mereka yang belum pernah ditemuinya dalam dunia nyata, memberanikan diri demi secarik solusi, hingga pertanyaan skeptis mengenai cinta dan obsesi mulai dipertanyakan.
“Kamu yakin kalau kamu itu cinta? bukannya obsesi?”. Pertanyaan itu cukup canggih untuk memoles mikro ekspresi berubah tak berparas. Dalam keraguan dia mengambil sikap, memilih kata obsesi disematkan padanya, ibarat judul karya Susan Forward, Obbsessive Love “when it hurts too much to let go''. Zona bertahan cukup lama, bahkan satu zona belum memuaskannya, membuatnya nekad memasuki beberapa zona termasuk zona yang asing bagi Pandora, lelucon murahan tidak luput dari usahanya, begitu keras diumbar sedemikian rupa. Hingga akhirnya dia di-block dengan sepihak dan beramai-ramai dari dunia social media, mengikuti apa yang telah lebih dulu dilakukan Pandora.
“Wajar mereka melakukannya”, pikirnya. Secangkir teh hangat menjadi saksi ahli di sore itu, tepat di waktu sore sedang mengulum lembut lidah senja, bertiga mereka menyambut hadirnya satu surat kabar dengan tagline,
“Kamu itu MANIPULATIF!! Pemutar balik fakta!!”. Sebuah Siluet datang menghidangkan sesuatu yang khusus, spesial untuk hari ini. Ditelannya surat kabar itu mentah-mentah, ini belum cukup, belum sepadan dengan kekacauan yang selama ini telah ditimbulkan. Cemohan demi cemohoan tak terdengar dan nyinyiran sebagai perebut membuatnya semakin terbiasa. Tak lebih dari 24 jam lambungnya mencerna, siluet lainnya mengantarkan hidangan kelas mewah sebagai pencuci mulut. Zona itu membawa tumpeng dari Pandora yang telah mengikrarkan diri, selangkah menjadi calon wadah dari benih lelaki lain.
Siklus metafisik kembali berputar layaknya pola action R, pertemuan setelah sekian lama, cukup mengharukan, pesimisme menyapa dengan riang gembira, merangkul pundaknya sambil berkata “hello brother”. Membuatnya kembali menekan dada, sesak yang terus dan terus menerus terulang.
“Apa yang harus aku lakukan?? aku capek berbicara panjang lebar pada mereka, aku letih harus tetap terlihat baik-baik saja, I just can’t live a lie anymore”. Pikirannya mengawang, dia mencoba membasuh wajahnya, berujung pada kosletnya Lobus frontal, terpeleset dalam himpitan kamar mandi, dimana potongan-potongan memory jatuh berserakan. Rangkaian hari harus dilalui dengan kebingungan dan penuh tanda tanya, berupaya menyatukan potongan-potangan gambar. Begitu lambat namun pasti, ibarat falsafah “alon-alon asal kelakon”, satu potret memory dari sepasang wajah yang tengah tersenyum kompak memanggil seluruh potongan gambar itu pulang ke rumah. Pikiran dari Synder yang telah lebih dulu mencekoki pikirannya pulang dengan menggandeng pemikiran Shane J Lopez . Satu frase begitu spektakuler “jika satu rute tertutup maka jalan lain dapat dilapangkan”, itulah konsepsi Hope (harapan) dari Lopez, bahwa mereka yang penuh dengan harapan memiliki dua hal keyakinan pokok, sebagai pembeda dari orang-orang lainnya, kedua keyakinan itu adalah pandangan akan masa depan yang lebih baik dari saat ini, serta keyakinan bahwa daya untuk menciptakannya telah dimiliki. Mereka yang memiliki keyakinan kedua adalah orang-orang yang penuh dengan sumber daya, mengenali berbagai strategi agar dapat terus bergerak maju menuju tujuan (goals), berpikir realistis sebagai fungsi dalam antisipasi serta pembuatan rencana menghadapi kesulitan, pukulan, ataupun kekecewaan. Begitu lentur karena paham, bahwa jika satu rute tertutup maka rute lainnya dapat dilapangkan.
Api Hope kian menghangat, sebuah planning kembali tersusun dalam range begitu terbatas. Di setiap kesempatan, dia terus mengunjungi tempat Pandora kemungkinan besar menampakkan wujudnya. Kali ini dia tidak perlu khawatir akan gonggongan security karna target adalah tempat yang berbeda. Sekitar pukul 13.00 siang, di tengah gemuruh langit dia berjalan di sepanjang jalan berubin, mempercepat langkah menghindari awan-awan hitam yang terlihat mulai berkonspirasi. Dengan terpaksa melewati gedung X demi menuntaskan tumpukan pikiran digedung Y. Di antara lintasan X dan Y langkah kakinya melambat, indera pendengarannya meningkat tajam mencoba menangkap suara yang samar-samar memanggil namanya. Spontanitas memalingkan wajahnya, tampak dari kejauhan sesosok objek tak bernyawa sedang menatapnya, objek itu begitu familiar. Pandangan mereka saling beradu, diiringi suara hentakan langit yang membuatnya memutuskan untuk meneruskan langkah kaki.
“Apa itu memang dia?”. Beberapa pertanyaan menggelitik dikepala, memeras kebimbangan dalam arogansi tendensius. Pikirannya kian gencar menagih jawaban, demi kewibawaan kuriositas diputuskan untuk kembali, memastikan ruh dari objek tersebut.
“Jadi suara itu berasal darimu, akhirnya kau muncul juga, good job boy”. Objek itu tidak lain adalah kendaraan milik Pandora.
“Dia pasti didalam di gedung itu”, ucap si lelaki dengan penuh keyakinan. Bergegas dia menuju gedung X untuk membuktikan asumsinya. Hasilnya valid, di dalam gedung terlihat beberapa ruangan berpetak yang saling hadap hadapan, di salah satu ruangan, terletak paling sudut Pandora tengah duduk menyilangkan kaki, menatap tumpukan kertas didepannya.
“Jangan terlalu serius, jawab saja sesuai firasatmu, lemaskan otakmu", suara kecil dari hati si lelaki untuk Pandora yang tengah menikmati punggung Pandora, tangannya menempel lemah pada kaca kecil berukuran kotak panjang ke bawah yang menyatu di daun pintu, kotak kaca itu sekaligus menjadi pembatas pandangannya.
Sedikit senyum menghiasi wajahnya, perlahan melangkah menuju pintu keluar, memilih untuk duduk menanti Pandora digazebo yang terletak tepat disamping pintu keluar. Sebatang rokok tersulut, membuat pandangannya mulai kehilangan fokus tanda bahwa imajinasinya mulai bekerja.
Berapa lama kita tidak bertemu?? Aku harus mulai dari mana?? Kali ini aku yakin! Aku pasti akan berhasil”. Optimisme menyalak, thought experiment bekerja otomatis, menghitung segala kemungkinan beserta simulasi berulang ulang dalam tempo waktu dua jam, hingga pada akhirnya Pandora keluar dari gedung itu. Langkah kaki Pandora berbelok ke kanan, menuju kendaraannya, berlawanan arah dari letak gazebo berada. Si Lelaki bergegas menghampirinya, menepuk pundak kanan Pandora memakai gulungan kertas yang sejak awal digenggamnya. Pandora menengok ke arah tepukan, sedang wajah lelaki itu tepat berada diarah yang sebaliknya. Saat Pandora menengok kearah yang berlawanan, pandangan mereka pun bertemu.
“Heyy”, kata Lelaki itu. Pandora terkejut, seakan lelaki yang tepat berdiri didepannya adalah jelmaan dari makhlus halus, muncul untuk berniat mempengaruhi isi kepalanya. Sisi kelembutan Pandora memperlihatkan kedewasaannya, membalas senyuman si lelaki, membuat si lelaki kembali bernostalgia. Pandora mengikutinya, berjalan dibelakang lelaki itu menuju tempat peristirahatan kendaraannya. Didepan kendaraan Pandora, situasi tak nyaman tersirat begitu tajam, terlihat jelas dari raut wajah Pandora, terlebih dengan perkataan-perkataan bermutu rendah yang diucapkan lelaki itu. Si Lelaki menyadari situasi yang tengah dihadapinya.
“Sepertinya dia benar-benar yakin dengan keputusannya, apa aku berhasil??” pikir lelaki itu dengan tetap menatap wajah Pandora.
“Aku harus segera pulang”. Kalimat mengejutkan tiba-tiba keluar dari mulut Pandora.
“Aku ikut”. Dengan sigap si lelaki menjawabnya, dia mulai melakukan sedikit pemaksaan, berniat mengikuti kemanapun Pandora akan pergi, tetapi Pandora tentu begitu gigih melakukan penolakan. Layaknya sepasang anak kecil bermain petak umpet, mereka mengitari kendaraan Pandora yang hanya bisa terdiam mematung, kodrat yang harus dijalani Shiro sebagai ciptaan tak bernyawa. Kejar kejaran tak kunjung selesai, beragam butiran hujan mulai rajin menetes. Lelaki itu menghentikan kejarannya, tenaganya cukup terkuras, dia mulai menarik nafas,
“Kau benar-benar menghindariku yah, aku hanya ingin bercerita”, katanya kepada Pandora. Perkataan yang sia-sia, Pandora tetap masih bersikeras untuk tidak mendengarnya, berbagai dalil dari si lelaki membuat Pandora semakin ingin bergegas meninggalkannya. Ditengah perdebatan, keberuntungan datang secara sepihak, hujan telah sepakat membantu lelaki itu. Sekokoh apapun pendirian Pandora ternyata belum cukup mampu untuk melawan insting kelembutannya sendiri, dan Pandora pun mulai luluh,
“Ya sudah kita duduk disitu”. Pandora menunjuk bangku kecil dibawah pohon yang hanya berjarak beberapa langkah dari kendaraannya. Keduanya pun berjalan menuju tempat tersebut.
“Yess gitu dong dari tadi, mestinya aku beli borgol biar kuborgol kakimu, terus ku gendong seret kepenghulu”, bisik lelaki brengsek itu dalam benaknya. Diatas bangku itu terdapat dua pohon rimbun yang terlihat telah berumur memayungi bangku itu, pohon itu melindungi mereka dari sengatan hujan yang mulai menderas. Lelaki itu mengambil sebuah bolpoin dari dalam tasnya, mencoba menulis sesuatu diatas secarik kertas yang sedari tadi digenggamnya, membuat catatan kecil untuk Pandora. Sesekali disela-sela menulis dia mencuri pandangan, menatap Pandora yang berdiri tepat didepannya. Berbulan bulan pemandangan seperti itu tidak pernah dirasakannya lagi, walaupun tatapan matanya akhirnya terciduk, alhasil Pandora mengernyitkan dahinya seakan ingin berkata:
“Apa lihat-lihat!! Drama apa lagi yang sekarang coba kau perlihatkan”. Begitulah hasil dari metakognisi yang coba diraba oleh lelaki itu, entah benar atau mungkin hanya sebatas kekeliruan. Hujan mengguyur cukup deras, sebisa mungkin si Lelaki ingin agar Pandora dapat lebih lama lagi bersamanya, meskipun itu hanya satu jam saja.
“Duduk digazebo itu yukk, hujannya makin deras”, bujuk si Lelaki dengan nada setengah merayu kepada Pandora, dia menunjuk kearah salah satu gazebo, tempat dimana mereka pernah duduk berbagi cerita tentang masa lalu.
“Nggak disini aja” jawab Pandora ketus. Mendengar hal itu, semangat si lelaki seketika lunglai, dia kembali melanjutkan tulisannya, sambil sesekali tetap konsisten membujuk Pandora.
“Aku harus pergi sekarang!!”, langkah pendekar tiba-tiba diperlihatkan Pandora, dia berlari menuju kendaraannya, rencananya terbaca dengan baik, si lelaki melepas penanya, menyingkirkan kertas diatas pahanya, dan berlari mengejar Pandora, dan sekali lagi, sayang sekali pemirsa, lelaki itu terpeleset_-. Terlambat sepersekian detik, menjadi penentu pertemuan mereka berdua, Pandora telah berada didalam kendaraannya, tak ketinggalan dengan bunyi klik yang jelas terdengar. Si lelaki hanya bisa diam mematung, memperhatikan Pandora yang kini telah aman darinya,
“Kamu kenapa sihh sebenarnya?”. Lelaki itu tidak berhenti membujuk Pandora yang lebih memilih untuk tidak mempedulikan dirinya. Dengan terenyuh, terpaksa si Lelaki kembali kebawah pohon, memungut pena dan merapikan kertas yang berhamburan ditanah, dia duduk melindungi tasnya dari sengatan hujan, memperhatikan Pandora yang sebentar lagi akan meninggalkannya. Dingin perlahan mulai menusuk, suara disekitarnaya mulai mengecil, kedua bola mata memandang tanpa letih kearah Pandora namun pikirannya terseret ke alam nostalgia.
“Jangan main hujan”. Teriakan itu mengagetkannya, suara Pandora bersama kendaraannya kini melintas tepat disampingnya, berjarak 4 langkah dari bangku tempat dia duduk.
“Kamu jahat”, Spontan kalimat itu keluar dari mulut si Lelaki.
“Iyah jahat!! sekarang aku jahat”, balas Pandora dengan nada yang membingungkan. Lelaki itu memalingkan wajahnya dari Pandora, kalimat itu menjadi kalimat terakhir dari Pandora yang terdengar jelas ditelinganya, selebihnya hanyalah jawaban dan gerakan tak sadar. Detik waktu memang harus tetap berganti, Pandora akhirnya berlalu meninggalkan dirinya, dan si lelaki seperti biasa hanya bisa duduk diam satu bahasa, bersuara sambil menatap kakinya sendiri,
”Setidaknya klakson dulu, baru pergi”, ucapnya untuk terakhir kali. Entah mengapa harus hujan yang selalu hadir, pernah menjadi saksi penyatuan jiwa dan raga dan kini kembali menjadi saksi, tetapi untuk sebuah perpisahan.
Tak ingin beranjak pergi, si lelaki memilih tetap duduk dibawah kedua pohon itu, memeluk erat tasnya, menikmati kawanan hujan yang mulai menjelajahi disetiap celah pakaian, tubuhnya mulai menggigil. Gulungan kertas masih tergenggam ditangan kanannya. Perlahan gulungan kertas itu berputar dijemarinya, secara bergantian kedua kakinya mulai diayun kedepan. Selang beberapa menit kemudian, senyum tipis berseri mulai tampak memancar dari wajahnya, ukiran senyum yang begitu familiar bagi Pandora, senyum penanda bahwa misteri telah bertemu dengan jawabannya. Kedua kakinya merapat, kertas yang terputar kembali diletakkan disampingnya, dia menundukkan kepala menatap kebawah, kembali mengingat sesuatu yang tidak mungkin terlupakan. Si lelaki menarik nafas, tatapannya tertuju kedepan, sedikit menengok keatas dia mulai berdistraksi dengan dirinya sendiri (jouska).
“Perencanaan yang cukup panjang, inilah jawabannya, dan terima kasih Tuhan, harapanku (Hope) telah selesai (finish). Walaupun singkat, akhirnya aku bisa berbincang langsung dengannya. Dengarlah ini Pandora, begitu banyak reasoning akan kau temui kedepannya, visionerku bahkan memetakan beberapa orang dengan persepsi negatif tentangku, otak-otak setengah paham, tapi biarlah, beberapa skema analisa telah kutanam didalam kognisi mu, semoga itu awet. Berbahagialah dan tak perlu khawatir karna kau hanya meremukkan satu hati, entahlah apakah kita masih saling mengenal. Sampai saat ini aku masih merasa sebagai orang yang semestinya bertanggung jawab, bukannya aku tidak mencintaimu tetapi realitas memaksa melakukan sesuatu yang lain, ingatlah ini baik-baik, apapun yang telah kulakukan selama ini, nothing’s gonna change my love for you. Aku terlalu hobby mengumpulkan kekuranganmu, terlalu sering mengomentarimu, bahkan begitu rajin memarahimu, hingga akhirnya aku begitu sulit untuk legowo melepasmu. Tidak semua hal dapat kukatakan, tapi untuk sekali ini aku benar-benar ingin membeberkan sederet permintaan maaf, maafkan aku karna meminta Tuhan melancarkan rencanaku, maafkan aku hingga akhir tetap menyembunyikan sesuatu darimu, maafkan aku membuatmu harus begitu bimbang padaku, maafkan aku harus membuatmu menjauhiku, maafkan aku harus membuatmu waspada terhadapku, maafkan aku sebagai aktor dari keputusanmu menutup segala akses untukku, maafkan aku membuatmu meminta sahabatmu untuk melakukan hal yang sama, maafkan aku menghilangkan kebimbanganmu padanya, maafkan aku menjadikannya bagian dari perencanaanku, maafkan aku membuatmu menganggap dia sebagai yang terbaik, maafkan aku harus menjadikanmu medium untuk mengutak atik kesabarannya, maafkan aku harus membuatmu memilihnya, maafkan aku telah gagal sebagai calon budak cinta terbaik, maafkan aku diam-diam telah mengarahkan pikiranmu, maafkan aku!! maafkan aku!! maafkan aku karna telah melakukan itu semua, tanpa kau sadari” (unconsciousness *********** engineering).
Penulis : M. Arief Sumantri (Pemalas)
Editor : Dina Ariani
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.