Artikel
Friends with Benefits : Dilema antara Persahabatan, Cinta dan Intimasi Seksual
Friends with benefits (FWB), cukup familiarkah di telinga Anda istilah
tersebut? Atau bahkan Anda sendiri pernah mengalami konteks FWB tersebut?.
Menurut beberapa studi literatur, FWB atau friends
with benefits merupakan sebuah hubungan seksual yang terjadi dalam konteks
pertemanan antara laki-laki dan perempuan, tanpa adanya komitmen yang akan mengarah
pada hubungan romantis, seperti berpacaran ataupun menikah. Hubungan FWB
semakin banyak dipilih oleh orang dewasa muda saat ini karena keinginan untuk
menunda pernikahan, menghabiskan waktu untuk mengembangkan pendidikan dan
karir, serta kekhawatiran tentang komitmen dalam hubungan. Dibalik hal
tersebut, individu yang terlibat dalam hubungan FWB memiliki kebutuhan seksual
yang ingin dipenuhi, namun hanya terbatas pada pertemanan tanpa perlu mengambil
risiko untuk merasakan kekecewaan dalam hal emosi maupun terlibat pada perasaan
cinta (Lamanna & Riedmann, 2009; Bisson & Levine, 2009). Beberapa orang
dewasa, mungkin melihat hubungan FWB merupakan sebuah cara yang menarik untuk
mengekplorasi atau melihat komitmen dari pasangan sebelum menuju pada hubungan
yang lebih serius (Owen & Fincham, 2012).
Konteks
hubungan FWB menjadi fenomena umum yang terjadi di Negara-negara Barat jika
dibandingkan dengan Negara-negara Timur. Hal ini dapat disebabkan oleh kuatnya
nilai-nilai norma yang dipegang oleh masyarakat Timur, khususnya Negara
Indonesia yang menganggap hubungan seksual pranikah merupakan hal yang tabu dan
menjadi aib bagi diri sendiri maupun keluarga. Pada kenyataannya, tidak dapat
dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini, khususnya remaja
maupun orang dewasa pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Hubungan seksual
tersebut umumnya terjadi pada pasangan yang menjalin hubungan berpacaran, namun
tidak menutup kemungkinan bahwa aktivitas seksual pun dapat terjadi dalam
hubungan pertemananan. Aktivitas seksual yang dilakukan oleh pasangan FWB pun dapat
berupa berpelukan, berciuman, menyentuh alat kelamin, oral sex, hingga sexual
intercourse. Situasi lain yang mendukung terjadinya hubungan seksual dalam
hubungan pertemanan adalah pengaruh alkohol ataupun obat-obatan terlarang yang
digunakan secara bersama-sama.
Sesuai
dengan peran gender secara tradisional, pria cenderung mampu melakukan hubungan
seksual tanpa adanya komitmen dibandingkan wanita. Wanita cenderung merasa
kurang bahagia dengan hubungan FWB karena pada umumnya wanita akan mengharapkan
komitmen dalam sebuah hubungan, sedangkan komitmen merupakan suatu hal yang
dihindari dalam hubungan FWB. Hasil penelitian Lehmiller, Vanderdrift dan Kelly
(2011) menemukan bahwa pria lebih banyak terlibat dalam hubungan FWB di masa lalu
dibandingkan dengan wanita. Selain itu, pria cenderung lebih mengharapkan agar
hubungan FWB tersebut tidak mengalami perubahan, berbeda dengan wanita yang
mengharapkan hubungan FWB dapat berubah menjadi hubungan romantis. Menurut
Bisson dan Levine (2009) hanya sekitar 10% kemungkinan individu yang menjalani
hubungan FWB dapat berkembang menjadi hubungan romantis.
Dorongan
seksual maupun ketertarikan fisik menjadi motivasi utama dari sebagian besar
pria dalam memulai sebuah hubungan, sedangkan wanita cenderung mengutamakan
kedekatan emosional dalam menjalin hubungan. Di dalam hubungan pertemanan
antara laki-laki dan perempuan, seringkali memunculkan isu dimana salah satu
pihak sangat memungkinkan menyimpan perasaan suka terhadap pasangannya,
terlebih jika pertemanan tersebut telah terjalin bertahun-tahun. Ketika
perasaan jatuh cinta telah muncul, ditambah dengan kesediaan kedua belah pihak
untuk melakukan hubungan seksual dalam hubungan pertemanan, maka sedikit
tidaknya akan memunculkan keuntungan maupun kerugian. Bisson dan Levine (2009) menyebutkan
bahwa keuntungan yang didapatkan melalui hubungan FWB, yaitu rekreasi, seks
non-eksklusif dengan seseorang yang dikenal dan dipercaya. Kerugian yang akan
ditimbulkan, seperti masalah seks akan merusak persahabatan, kehilangan teman,
munculnya emosi negatif seperti kecemburuan atau perasaan terluka, menciptakan
hasrat yang tidak terbalas karena tidak dapat melanjutkan hubungan tersebut ke
arah yang lebih serius. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Buczek, Puchala
dan Kocur (2016), ketika individu mulai merasakan perasaan jatuh cinta kepada
pasangannya, maka ia akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan kondisi
perasaan terhadap pasangannya seperti semula.
Kesepakatan
dari kedua belah pihak untuk menghindari ikatan emosional serta munculnya
komitmen, menjadi aspek utama ketika menjalani hubungan FWB. Ketika
masing-masing individu mampu memahami batasan dan berkomitmen untuk tidak “menaruh” harapan yang besar dalam
hubungan FWB, maka akan meminimalisir munculnya dampak negatif dalam diri
individu tersebut. Menurut Bisson dan Levine (2009) ketika hubungan FWB
berakhir, maka terdapat dua kemungkinan, yaitu hubungan pertemanan yang
terjalin tetap utuh seperti semula atau sepenuhnya berakhir. Hasil penelitian
Owen, Fincham dan Manthos (2013) menemukan bahwa sebagian besar individu
(81.5%) yang menjalani hubungan FWB tetap menjalin pertemanan dengan pasangan
mereka, meskipun hubungan intimasi seksual yang dilakukan telah berakhir.
Selain itu, sekitar 50% partisipan dalam penelitian tersebut merasa lebih dekat
dengan pasangan FWB mereka. Di dalam hubungan FWB, khususnya individu yang
mengutamakan pertemanan dengan dasar intimasi, tidak menunjukkan adanya dampak
negatif terhadap kualitas pertemanan mereka setelah “keuntungan intimasi seksual” tersebut berakhir. Individu yang
tidak melanjutkan hubungan pertemanan setelah hubungan FWB dengan pasangannya
berakhir, cenderung menunjukkan adanya perasaan kesepian dan simtom depresi
yang lebih besar.
Beberapa hasil penelitian dan opini
penulis yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa hubungan friends with benefits tidak sekedar
menjadi wadah bagi individu untuk memenuhi kebutuhan seksualnya tanpa adanya
sebuah ikatan komitmen, namun terdapat dilema bahkan dampak negatif yang dapat
muncul ketika individu tidak mampu mengendalikan emosi, harapan dan memegang
komitmen atau aturan dalam hubungan tersebut. Melalui fenomena friends with benefits ini, kita dapat
belajar bahwa apapun bentuk hubungan yang dibentuk oleh individu, maka akan
selalu terdapat batasan dan konsekuensi yang akan ditemukan. Setiap individu pun
perlu belajar untuk menyikapi secara bijak keputusan yang telah dibuat dan
menentukan apakah hubungan yang sedang dijalani dapat membuatnya berkembang dan
bertumbuh ke arah yang lebih positif atau justru sebaliknya.
Penulis : Putu Yunita Trisna Dewi,
S.Psi
Mahasiswa Magister Profesi
Psikologi Klinis UNAIR
Editor : Dina Ariani
DAFTAR PUSTAKA
Bisson. M.A., & Levine, T.R.
2009. Negotiating a friends with benefits relationship. Arch Sex Behav. 38. 66-73
Buczek,A., Puchala,A., & Kocur,
D. 2016. The dark personality triad in people involved in “friends with
benefits” relationships. Przegl Seks.
4(48). 37-44
Lamanna, M.A., & Riedmann, A.
2009. Marriages and families: Making
choices in a diverse society. Tenth Edition. USA: Thomson Wadsworth
Lehmiller, J.J., VanderDrift, L.E.,
& Kelly, J.R. 2011. Sex differences in approaching friends with benefits relationships.
Journal of Sex Research. 48(2-3).
275-284
Owen, J., & Fincham, F.D. 2012.
Friends with benefits relationship as a start to exclusive romantic
relationships. Journal of Social and
Personal Relationships. 29(7). 982-996
Owen, J., Fincham, F.D., &
Manthos, M. 2013. Friendship after a friends with benefits: Deception,
Psychological functioning, and Social connectedness. Arch Sex Behav. 42. 1443-1449
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.