LOVE??


LOVE ??
“mendefinisikan love sama halnya membatasi ruang gerak
dari cinta itu sendiri, meski merupakan suatu kewajaran” by Filosofialrescha

Hello darkness my old friend, I’ve come to talk with you again, because a vision softly creeping, left its seeds while I was sleeping (Dana Winner).    
Kali ini berdiri tepat di samping kanan Erich Fromm dengan agak sedikit serong ke kiri akan cukup menyenangkan, ada satu keinginan untuk mengatakan “Aku mencintaimu bukan karena aku membutuhkanmu, tetapi aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu”, meski terbaca parodoks sebagai satu rangkaian kalimat inversion, yang terias oleh unsur symbolic tetapi sekaligus memberi titik fokus pada pembahasan love ini. Sejak kepindahan Fromm ke New York ditahun 1934, sepasang kolega senantiasa dilekatkan begitu erat dengan dirinya. Seorang male scientist keturunan Irlandia, yang menganggap loneliness sebagai pengalaman paling menyakitkan bagi manusia dan sesosok perempuan asal German, Ibu sekaligus feminist yang berani meletakkan kritik tajam terhadap pandangan tradisional Freud. Karen Horney dan Stack Sullivan, dua rekan sejawat Fromm yang sempat terlilit balutan kain asmara, tapi anggaplah itu misteri di antara mereka. Keunikan pemikiran Fromm pada waktu itu terletak pada usahanya menggabungkan pikiran Marx dan Freud, beragam karya lahir dari tinta pena miliknya, peninggalan multifungsi, tak terkecuali bagi para psikoanalisis sosial. Satu dari sekian karya Erich dituangkan dalam risalah cinta berjudul The Art Of Love (1956).
Eksposisi pikiran Fromm terbaca begitu jelas, love is art, cinta merupakan bagian dari seni, berlaku pada setiap individu dalam mengarungi khazanah kehidupan. Ibarat memelajari alat musik ataupun pekerjaan seni lainnya, termasuk konstruk alat ukur maupun interpretasi, individu akan sulit memahami esensi dari cinta tanpa terlebih dahulu mempelajari teori dan praktiknya. Bagi Fromm, seni dari mencintai (art of loving) dapat dibangun dan dikuasai dengan mulai memahami teori (fundament) sebelum beralih pada praktik. Dalam love theory, Fromm telah berkeyakinan bahwa segala jenis konsep teori cinta dimulai berdasarkan pemahaman tentang kesadaran diri (awareness) sebagai makhluk berakal budi, menyadari bahwa setiap individu terlahir dan berlalu meninggalkan dunia ini bukan atas kehendaknya sendiri, bisa saja satu waktu pecinta akan lebih dulu menanggalkan kehidupannya (makhluk bernyawa) mendahului sosok individu yang dicintainya, begitupun berlaku hal sebaliknya. Menyadari hal itu membuat individu mau atau tidak mau, terpaksa ataupun tidak, menerima ketidakberdayaan sebagai satu entitas di dalam ego. Ketidakberdayaan terhadap kehidupan itulah yang diyakini Erich mengharuskan individu sebisa mungkin, bahkan terkesan wajib membebaskan diri dari perangkap ketidakberdayaan, keluar dari balik jeruji, menyatu dengan berbagai hal, dengan argumen bahwa manusia merupakan makhluk sosial, membutuhkan objek lain di luar keberadaannya, karena cinta merupakan sesuatu yang dapat dipelajari, juga sebagai pemersatu, dan individu tidak akan dapat benar-benar mencintai seseorang tanpa memiliki rasa cinta antar sesama umat manusia, dalam hal ini termasuk mencintai dirinya sendiri. Cinta menjadi ibarat bumbu penyedap paling khas dan pas dalam mengarungi bahtera kehidupan, love is an activity not a passive affect.
Dibalik itu semua, faktanya Erich mengakui bahwa mencintai bukanlah perkara yang mudah, di chapter akhir bukunya sebuah kalimat sempat ditinggalkan “I am afraid that anyone who approaches this last chapter in this spirit will be gravely disappointed”. Semacam kalimat sandi bahwa Erich tetap merasakan keraguan, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa dinamika cinta tidak cukup hanya mengandalkan care, responsibility, respect, dan knowledge, karna value cinta lebih luas dari apa yang tampak oleh dugaan. Seperti halnya Erich, kita tahu tiap individu memiliki keunikan petualangan cintanya masing-masing, termasuk petualangan cinta seorang Erich Fromm. Kenyataan dari unsur manusiawi individu selalu menginginkan hal-hal menarik, tentu dapat dibantah dengan mudah (defends) terutama bagi individu yang terikat erat pada trend tataran sosial, menapik bahwa desain ego tersetting untuk memilah-milah dalam market personality, memboyong pertanyaan-pernyataan idola yang begitu sering terdengar berhamburan, semisal pertanyaan “tipe pasangan idaman kamu seperti apa?” atau pernyataan “tipe pasangan idaman saya seperti ini” dan bla bla bla, hal yang membuat ego semakin kokoh pada tempatnya, bersama realitas yang selalu siap memberi poin. Hal tersulit bagi manusia adalah memberi tanpa feedback (juga sering dibantah), padahal hasrat memang berada di jalur timbal balik (pleasure concistency), menyetir disamping takdir, entah secara manual atau autopilot, dan hasrat selalu menyediakan wadah untuk misterinya, karna misteri itu menjadi pil adiktif bagi hasrat, suatu jawaban atas pertanyaan “Mengapa pdkt lebih nikmat ketimbang setelah mendapatkan status??”. Seperti sebaris bait, “Jangan cintai aku apa adanya, tuntutlah sesuatu”, seperti itulah hasrat selalu menagih satu momen bahkan lebih (surplus) dalam satu ruang waktu. Perkara cinta adalah perkara intra subjektivitas, objek cinta dalam bentuk material (fokusnya bukan pada matrealistik) ataupun non material diproses secara berbeda oleh hasrat, sehingga dari semua titik keraguan, maka setidaknya preventif sebelum banjir cukup bijak sebelum terseret arus. Mengingatkan pada baris lirik “Bertepuk sebelah tangan,, sudah biasa!! ditinggal tanpa alasan,, sudah biasa!!, penuh luka itu pasti, tapi aku tetap bernyanyi!”, begitulah ketegaran berusaha membantu, menutupi luka tak berdarah, hingga luka itu terlatih untuk keram terhadap rasa. Erich sendiri telah menghadirkan sebuah solusi, dengan menitikberatkan pada objek cinta, bukan pada hasrat cinta.
Proses belajar mencintai tidak akan pernah final, baik teori atau praktik, keputusan Erich meleburkan cinta ke dalam seni harus diakui sebagai satu pertimbangan elite matang yang menghangatkan. Beberapa waktu lalu dari kejauhan, pandangan seorang lelaki tertuju pada satu objek, tengah menikmati satu moment bersejarah dalam hidupnya. Senyum, ucapan selamat dan iringan tawa terpancar dari orang-orang yang mencintainya, membuat kedua pipi tak henti memunculkan sinyal kebahagiaan, balutan kain merah menutupinya begitu anggun, benar-benar terlihat seperti proyeksi seorang dewi. Si lelaki tersenyum dan berkata “Aku tidak bisa memenuhi hasrat cintamu, oleh karena itu aku merelakanmu dengan konsekuensi tetap mencintaimu”. Jika banyak individu mempertanyakan “Bagaimana cara mencintai sehingga semuanya menjadi layak untuk dicintai??. Maka semakin menarik bagi saya mengajukan satu statement dalam bentuk permintaan sekaligus penawaran, “Beritahukan padaku bagaimana seharusnya mencintaimu sehingga semuanya dapat menjadi indah, bukan karna cintaku, bukan karna cintamu, tetapi karna cinta kita,” selamat mengisi lembar kehidupan lainnya, titip salam buat buah hati kalian di masa depan ……….SEKIAN.

Oleh: M. Arief Sumantri (Pemalas)
Editor : Dina Ariani       

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.