Pemilu dan Kesehatan Mental Partisipasi dalam Politik sebagai Wujud Aktualisasi Diri


     Saat mendengar kata Politik, kira-kira apa yang terlintas? Sekedar pemilu? Atau sekedar persaingan ketat antar calon? Perlu dipahami bersama, bahwa politik tidak hanya tentang itu, namun hal tersebut memang menjadi bagian dari politik. Kesadaran untuk berpartisipasi dalam politik seyogianya merupakan bentuk eksistensi sebagai manusia yang merdeka. Mereka yang menyadari kemerdekannya akan memilih berkontribusi dalam politik sebagai sarana penyaluran aspirasi. Mereka akan menyadari bahwa kontribusi sekecil apapun yang diberikan semata untuk kemaslahatan masyarakat, dan salah satu wujud kontribusi nyata adalah keikutsertaan dalam Pemilu.

     Pemilu saat ini telah menjadi trending topic di hampir semua sudut kota Indonesia. Menilik hal tersebut, sebenarnya apa yang menjadikan hal tersebut terasa sengit? Benarkah pemilu merupakan ajang kompetisi? Benarkah politik menjadi ajang untuk menonjolkan siapa yang paling luarbiasa? Sebegitu hebatnya jugakah pemilu mengguncang mental para calon dan pemilih sampai beberapa RSJ sudah menyiapkan kamar-kamar VIP untuk mereka yang stres karena hasil pemilu yang mungkin tidak sesuai dengan harapan? Tapi tidak ada gunanya terus bertanya sendiri tanpa mencoba memahami apa sebenarnya yang terjadi. Jadi izinkan kami berbagi pemahaman.

Sadarkah bahwa politik dan kesehatan mental saling terkait? Apalagi khususnya dalam atmosfer pemilu yang sedang berlangsung. Pertanyaan-pertanyaan di atas pada dasarnya mengajak kita semua untuk memahami bahwa para calon dan juga para pemilih berpeluang untuk mengalami guncangan-guncangan mental, yang jika itu tidak diatasi dengan baik, maka akan menjadi salah satu penghuni ruang VIP di RSJ itu. Kami berdoa semoga tidak demikian. Perlu juga kami sampaikan bahwa pertarungan dalam pemilu bisa jadi sama halnya dengan pertarungan harga diri. Bisa dibayangkan pertarungan harga diri itu seperti apa? Semua usaha pasti akan dikerahkan, tidak terkecuali dengan biaya. Biaya kampanye itu tentu tidak sedikit, dan biaya yang dikeluarkan itulah yang dapat memicu terganggunya kesehatan mental. Semakin besar biaya yang dikeluarkan, akan semakin berpeluang untuk terganggunya kesehatan mental. Lalu, apa yang bisa dilakukan? Tidak lain dan tidak bukan adalah merawatnya. Lalu, bagaimana cara merawatnya? Dengan mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan terbaik dan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Yakinkan pada diri bahwa apapun yang terjadi telah menjadi hasil terbaik dari berbagai usaha yang telah dikerahkan. Banyak yang tidak dapat me-manage kondisinya dikarenakan lupa untuk memersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, padahal itu menjadi salah satu hal penting yang perlu dilakukan.

Kondisi itu tentunya tidak hanya untuk para calon, namun juga kepada para pemilih, apalagi mereka yang dengan sangat fanatik mendukung calonnya. Perlu juga kami sampaikan kepada para pemilih untuk penting memahami bahwa keputusan memilih dalam Pemilu seyogianya menjadi bagian dari aktualisasi diri sebagai manusia yang merdeka dan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepadaNYA. Orang yang memilih atas kesadarannya sendiri berarti telah mengenali nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya, sehingga mereka menyadari bahwa pilihannya merupakan bentuk pertanggungjawabannya sebagai warga Negara yang baik. Mereka memilih untuk kebaikan dirinya, masyarakat, dan Negara Indonesia ini. Mereka mampu melihat jauh ke depan, sehingga mereka memilih pemimpin yang tepat dan bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, bukan tentang siapa yang paling ganas serangan fajarnya.

     Fenomena yang terjadi saat ini sesungguhnya menunjukkan bahwa masih banyak orang-orang yang pilihannya sangat mudah dipengaruhi. Mereka merupakan target dari serangan fajar, kampanye negatif, berita hoax, dan sebagainya. Suara mereka mudah dibeli, karena kebutuhan mereka yang masih sebatas perut dan keuangan semata. Ketika mereka diminta mengubah pilihannya dengan imbalan sejumlah uang, sebagian akan mudah goyah, karena mereka memang membutuhkan uang tersebut. Mereka mengharapkan imbalan demikian untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya. Bukankah itu sangat murah? Padahal suara rakyat harusnya mahal, tidak dapat dibeli dengan apapun.

     Namun hal tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata, sebab proses tersebut akan terus berlanjut dikarenakan jumlah pengangguran dan masyarakat miskin yang masih tinggi di Negara ini. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi dari sejumlah pihak, terutama pemerintah untuk mampu mendampingi masyarakat dalam mengembangkan kesadaran memilih dengan mengajak masyarakat untuk menyadari bahwa standar figur calon yang akan dipilih sudah harus bergeser, yaitu mereka yang memang dianggap mampu menempati posisinya, bukan mereka yang paling tinggi nominal serangannya.

Seorang filsuf pernah mengatakan bahwa buta terburuk adalah buta politik.
Oleh karena itu, jangan menjadi salah satu di antaranya.

Penulis : Afga Yudistikhar dan Dina Ariani
Editor : Dina Ariani
Terinspirasi dari Diskusi Komunitas Halo Jiwa Indonesia Bersama Muhammad Rhesa, S.Psi., M.A (Dosen Psikologi Politik UNM)

Dokumentasi:



📅 Rabu, 20 Maret 2019
⌚ Pukul 19.00 - 22.00 wita
📍Cinnamon Cafe & Dessert, Jl. Sultan Alauddin No. 108

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.