Lebih dari Sekedar Masa Lalu




Lebih dari Sekedar Masa Lalu
Oleh: Fairy Teal

“Fix gue musti ngajak Nathan liburan ke puncak ini mah, ngebul otak gue dikasih ujian macam gini” Gerutu Tari tepat ketika kami semua baru saja keluar dari ruang ujian.
“Tangan gue sampe ga berasa” Timpal Aura.
 “Udah ngapa ga usah bahas ujian lagi, pusing. Kantin yuk, beli minuman dingin, dinginin otak”. Usul Azkya yang langsung diterima oleh kami.
Kami pun bergegas turun ke kantin, dan membeli minuman favorit kami masing-masing. Kami memilih bangku di pojok kanan kantin.
“Eh, by the way, lo jadi ke puncak bareng Nathan, Tar?” Tanya Nesya.
Tari mengangguk seraya menyeruput es bubble di hadapannya.
“Ikut dong...”
“Sorry, but kali ini bener-bener spesial buat gue sama Nathan doang, Sya.”
“Tiati lu, Tar.”
“Tiati kenapa, Sya?”
“Ya... Jaga diri...”
“Iya... Inget aja, cewek kalau udah gak perawan gak ada harganya.”
Deg... Perkataan Azkya seperti pedang menghujam nadi... Apa percakapan mereka setelah itu, aku tak tahu. Aku tak dapat lagi mendengarkan. Aku hanya memainkan sedotan minuman di hadapan seraya otakku memainkan memori masa lalu. Aku berusaha mempraktekkan mindfullness, agar tak larut dalam memori dan berakhir mengalami serangan panik.
“Temukan 5 hal yang bisa dilihat, 4 hal yang bisa disentuh, 3 hal yang bisa didengar, 2 hal yang bisa dihirup, 1 hal yang bisa dirasa...” Ucapku dalam hati.
“ALLENA!!”
Aku terhentak ketika mereka memanggil namaku dengan keras.
“Lo kenapa? Kok kayak panik?”
“Hah? Engga... Gue lupa hari ini musti nganter adek les.” Jawabku seraya merapikan tas dan bangkit berdiri. “Gue duluan ya. Dah..”
Aku tidak memerdulikan panggilan mereka yang menuntut penjelasan lebih padaku, aku hanya terus berjalan dengan langkah cepat. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana aku bisa sampai secepat mungkin ke mobil, agar aku dapat menumpahkan segala penuh sesakku dalam air mata. Sesampainya aku di mobil, yang kuharapkan ternyata tidak datang. Aku tidak dapat menangis. Aku benci hal ini. Aku langsung menyalakan mobil dan memacunya keluar universitas. Aku menyetir dengan arah yang entah ke mana. Aku hanya ingin lari. Lari dari rasa sakit ini, lari dari kenyataan, atau mungkin...lari dari hidup? Entahlah Aku juga bingung,…
Lama larut dalam lamunanku, aku tersentak ketika menyadari aku hampir saja menabrak dua anak kecil. Kuinjak rem secepat yang ku bisa. Jantungku seakan ikut menghembuskan napas lega mengetahui bahwa anak-anak itu tidak mengalami luka apapun. Disana aku menyadari betapa sesaknya pikiranku. Aku langsung meminggirkan mobil sejenak di bawah sebuah pohon rindang dengan harapan rindangnya dapat menenangkan gejolak bara di dadaku, biarpun sedikit saja.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, namun otakku memunculkan seseorang: kekasihku. Aku langsung menyambar ponsel dari tasku dan meneleponnya. Setelah satu-dua nada dering, ia pun mengangkatnya.
“Halo, kenapa, Lena?”
“Hey.. kamu dimana sekarang?”
“Di rumah, kenapa, Len?”
“I need to talk to you, aku jemput ya?”
“Eh, ngomongin apa? Aku aja yang jemput kamu. Kamu di kampus, kan?”
“Aku bawa mobil kok, aku ke rumahmu sekarang ya. I’ll be there in about 20 mins.”
“Eh, Lena... Ada apa ini...?”
“See you”
Klik. Aku mematikan sambungan. Aku tak mampu memberitahunya apa yang akan kukatakan. Bahkan, aku belum tahu bagaimana aku akan mengatakannya. Aku segera melaju menuju rumahnya, dengan berbagai skenario kemungkinan yang berkeliaran di benakku. Seperti dugaanku, perjalananku hanya menghabiskan waktu 20 menit dan aku langsung mengirim pesan singkat kepadanya, memberitahu bahwa aku telah di depan rumahnya. Tak sampai 5 menit, ia telah masuk ke dalam mobilku.
“Len, you okay? Ada apa?” Ia menaruh satu tangannya di atas tangan kiriku, namun hal itu membuatku kembali teringat memori masa lalu, sehingga aku berusaha sehalus mungkin menepisnya.
“I’m okay, ga keberatan kan kalau kita ke restaurant biasa?”
“Sama sekali engga. Tapi bilang dulu sama aku, kamu kenapa?” Ia mengelus pipiku, yang lagi-lagi kutepis dengan sehalus mungkin, berusaha untuk tidak menyakiti hatinya.
“Aku bakalan bilang nanti, disana.”
Aku langsung melaju menuju restaurant yang kumaksud, memecah keheningan senja dengan raungan mobilku. Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam lewat dua puluh menit ketika kami sampai di restaurant tersebut. Kami memilih tempat di pojok rooftop, menatap hiruk pikuk gemerlap malam dari ketinggian. Bulan telah memaku langit dan bintang telah menari-nari di sekelilingnya. Kami memesan dua gelas minuman, dan setelah minuman kami datang, aku memastikan bahwa suasana sekitar kami sepi, dan aku mulai bicara.
“Sebelumnya, makasih udah memenuhi permintaan aku untuk datang ke sini.”
Dia menganggukkan kepalanya, lalu menatapku seolah ia siap menerima kata-kata selanjutnya yang mengantri keluar dari mulutku. Aku menarik napas panjang, sebelum melanjutkan kata-kataku.
“First of all... kamu harus tau bahwa... bahwa untuk mengungkapkan ini....ga mudah sama sekali...”
Aku melepas kacamata dan menaruhnya di meja, menyadari air mata yang mulai merebak. Tanpa sadar, aku telah mengepalkan tangan dan menggigit bawah bibir, yang merupakan tanda bahwa aku tengah menahan gejolak yang begitu besar.
“Allena... It’s okay...” Dia perlahan menarikku dalam rengkuhannya. Kukira aku akan menepisnya, tapi tanpa sadar aku membiarkannya merengkuhku, membiarkannya mengusap lembut pundakku seraya aku menumpahkan sesak yang sejak tadi tertahan dalam air mata. Kami berdiam dalam posisi itu entah berapa lama, dan ketika aku merasa sudah cukup tegar, aku melepaskan diri dari pelukannya dan menghapus air mataku.
“Waktu aku umur sepuluh tahun... aku pernah mendapat kekerasan... Itu dilakukan oleh guruku... di sekolah...”
Benakku melayang ke hari itu. Hari dimana aku masih berusia sepuluh tahun, dengan seragam sekolah putih-merah sebagai murid Sekolah Dasar, rambutku masih dikuncir dua saat itu, seperti anak-anak polos lainnya yang masih belum memahami kejamnya dunia. Aku datang ke sekolah, dengan tujuan yang sama seperti anak-anak lainnya, menuntut ilmu kepada seorang guru. Guru yang dulu sangat ku hormati. Melewati masa kecil tanpa seorang ayah karena perceraian orang tua, membuatku menganggapnya seperti bapakku sendiri, mengingat bagaimana ia dulu selalu membelaku dari perundungan murid-murid lain, selalu mengusap lembut kepalaku ketika aku mengerjakan tugas dengan baik, dan sebagainya. Betapa semangatnya hari itu aku hendak menuntut ilmu. Namun, jalanku berbeda saat itu. Seperti reka adegan ulang, aku seolah merasakan kembali bagaimana beringasnya ketika guru itu mulai menjarahi bagian-bagian intim dari tubuhku, cengkramannya yang kuat di pergelangan tanganku, tatapan matanya yang liar, hingga....ia merenggut kehormatanku. Jika aku dapat mengulang waktu, aku ingin meronta, berteriak, memohon pertolongan dari orang-orang sekitar. Namun apa yang terjadi padaku, aku hanya dapat berdiam diri mematung seperti aku tak kuasa menggerakkan satu ototpun pada diriku. Tidak, aku tidak mau hal itu terjadi. Tapi aku tak bisa meronta, tidak bisa. Rasa takut itu begitu besar sehingga aku membeku dalam ketakutan.
Usapan lembut punggung tanganku menarikku kembali dari memori itu. Itu hanyalah usapan lembut, namun cukup membuatku tersentak karena begitu sensitifnya diriku terhadap sentuhan saat ini. Aku menatapnya, kekasihku yang tengah menatap ke dalam mataku, menantiku untuk melanjutkan apa yang ingin aku sampaikan.
“Dia... dia merenggut sesuatu dariku...” aku merasakan jemari tanganku mulai gemetar, lututku melemas, dan jantungku berdetak dalam irama yang entah, “sesuatu yang tak akan pernah bisa aku dapatkan kembali...”
“Allena....aku ga yakin kalau aku benar-benar paham apa maksudmu...”
Aku berusaha memecahkan cekat dalam tenggorokan. Aku ingin mengatakannya secara jelas, namun sulit.
“I...I’m....you’ve been....raped?”
Seribu ton seolah bersarang di kepala, membuatku sulit untuk sekedar mengangguk.
BAM!
Ia menghantam meja dengan kepalan tangannya. Aku menunduk, melihatnya dari sudut mataku. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan geram, wajahnya merah padam. Aku meringkuk melindungi tubuhku, namun jika memang ia ingin menamparku, memukulku, atau menghajarku dengan cara apapun, aku tidak peduli. Mungkin memang salahku yang mengatakan ini padanya di tengah-tengah hubungan kita yang telah berjalan dua tahun. Namun, bukan maksudku untuk menyembunyikannya selama ini. Hanya dalam diriku yang terus dan terus menyangkal fakta menyakitkan ini.
“Maafkan aku...”
“No... No, Allena.. Kamu ga perlu minta maaf. Maaf kalau aku nakutin kamu.. Aku hanya....marah sama guru yang melakukan ini ke kamu... Aku...” kudengar suaranya tercekat. Aku menaikkan pandanganku tepat ke matanya. Ia tengah menyeka air mata yang mengalir di sudut mata. “Maaf... Aku ga bisa maafin siapapun yang udah nyakitin kamu kayak gini...”
“Allena...”
“Ya?”
“Boleh aku peluk kamu?”
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku mendekatkan tubuhku padanya, membiarkan ia merengkuhku dalam genggamnya. Kubiarkan air mata mengalir, melepaskan segala beban yang kutahan seorang diri sedari aku kecil. Setelah sekian menit, aku melepaskan diri dari pelukannya.
“Sekarang, kamu gimana melihatku?”
“Aku...Aku melihat Allena, kekasihku yang aku sayangi.”
“Kamu ga benci aku or something?”
“Apa alasan aku membenci kamu atas hal yang ga pernah kamu inginkan?”
Aku membiarkan air mata lagi-lagi menetes, menemani air mata lain yang telah tumpah ke tanah.
“Allena, kamu ga bersalah. Masa lalu kamu ga mendefinisikan siapa kamu yang sekarang. Keberhargaan diri kamu ga didefinisikan dari masa lalu kamu, dari apa yang udah terjadi sama kamu. Allena tetaplah Allena, dan semua masa lalu kamu, akan menjadikan kamu lebih kuat lagi, lebih tegar lagi..”
Seulas senyum terukir di bibirku, “Thank you, dear...”
“Mulai sekarang, kamu harus sadari bahwa kamu lebih dari sekedar masa lalumu, ya, sayang. Kalau aku menerima kamu, kamu juga harus menerima diri sendiri.”
Di dalam hatiku, aku merasakan ketenangan dan kelegaan yang belum pernah kurasakan sejak hal itu terjadi. Lega, karena aku tak lagi memendamnya sendirian. Tenang, karena telah menyadari bahwa, ya, benar, masa lalu tidak mendefinisikan diriku. Allena tetaplah Allena. Bagaimana sikapku sekaranglah yang mendefinisikan aku, dan aku tidak akan membiarkan masa laluku merenggut kebahagiaanku di masa mendatang.
Aku, lebih dari sekedar masa laluku.


Editor : Dina Ariani

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.