Kegiatan Halojiwa
Terlibat Bersama, Dari dan Untuk Masyarakat
Sedikit
Catatan Gado-Gado:
Terlibat
Bersama, Dari dan Untuk Masyarakat
Bandung, Indonesia
menjadi tuan rumah dalam pelaksanaan regional
workshop YSEALI (Young Southeast Asian Leaders) pada tanggal 29 April hingga 3 Mei
2019. YSEALI merupakan program pemerintah Amerika Serikat yang bertujuan untuk
memperkuat pengembangan kepemimpinan dan jejaring di Asia Tenggara. Ini adalah
kali pertama YSEALI mengadakan workshop
dengan topik kesehatan. Workshop ini
dinamai YSEALI Engage dengan tema Empowering the Next Generation for Advocacy
and Grassroots Engagement on Noncommunicable Diseases (NCDs). YSEALI
menggandeng RTI International dalam pelaksanaannya.
Workshop ini diikuti oleh 43
peserta dari negara-negara ASEAN, ditambah Timor Leste. Sembilan diantara
pesertanya berasal dari Indonesia. Dr. Ishu Kataria dari RTI International
menjadi program director sekaligus
fasilitator bersama Carrie Ngongo, Senior
Program Manager RTI International. Workshop
ini juga dihadiri oleh mentor-mentor yang berasal dari kalangan praktisi
kesehatan masyarakat di bidang pencegahan, intervensi dan advokasi. Mentor yang
hadir yaitu Dr. An, Dr. Tara, Charlotte, Ramya, dan Ralph. Terdapat juga satu
mentor yang berhalangan hadir namun memberikan presentasi lewat sambungan
telepon, yaitu Nina Rasprasith.
Peserta workshop ini mengikuti beberapa
rangkaian sesi selama lima hari di Hotel Ibis Trans Studio Bandung. Sesi
presentasi panel, refleksi, diskusi, kunjungan ke Puskesmas Kopo, mentoring
penyusunan mini-project, presentasi mini-project, dan malam perpisahan berupa
pertunjukan kebudayaan. Para peserta ini terdiri dari dokter, perawat,
psikolog, magister psikologi, praktisi kesehatan masyarakat, anggota NGO,
pegawai pemerintahan, bahkan mahasiswa S1 dan S2. Semuanya bergelut dalam upaya
pencegahan dan intervensi penyakit tidak menular (NCDs), termasuk gangguan
mental. Pasca workshop, peserta
diharapkan dapat mengimplementasikan mini
project yang dipresentasikannya serta dapat mengaplikasikan pengetahuan
yang diperolehnya dari workshop.
Dari workshop YSEALI ENGAGE ini, terdapat
beberapa poin yang penting untuk digarisbawahi, yang dapat menjadi pelajaran
untuk kita terkait dengan kesehatan. Kita semua berharap bahwa kita senantiasa
sehat. Tidak ada orang yang ingin sakit. Selain karena sakit membuat kita tidak
dapat berfungsi dengan baik, sakit juga membuat kita perlu dirawat dan hal ini
tentu saja memerlukan biaya. Meskipun semua orang berharap untuk bisa sehat,
tidak semua orang berupaya menjadi sehat, atau dengan kata lain menerapkan
perilaku hidup sehat.
Dari tema workshop ini, para peserta yang tentunya
telah diseleksi melalui beberapa kriteria diharapkan dapat menjadi inisiator
dan penggerak dalam upaya advokasi dan pelibatan masyarakat dalam mengurangi
dampak dari penyakit tidak menular atau Noncommunicable
Diseases (NCDs) terhadap keberfungsian individu. Mengapa penting untuk
memperjuangkan kesehatan? Pertimbangan pertama berkaitan dengan dimensi etik.
Berapa banyak manusia yang harus meninggal karena suatu wabah penyakit?,
misalnya. Berapa banyak orang yang tidak bisa menjalankan kehidupannya dengan
baik karena suatu penyakit? Akankah kita sebagai manusia yang bertugas untuk mengelola dan memelihara
bumi beserta isinya membiarkan begitu saja masyarakat dan kebudayaannya hilang
dikarenakan tidak adanya upaya untuk menjaga kesehatan ini? Padahal, kita mampu
dan diberikan kesempatan bahkan keterampilan untuk melakukannya. Pertimbangan
selanjutnya berkaitan dengan bagaimana hubungan kesehatan dan produktivitas
manusia. Tentu saja manusia yang sehat akan lebih mampu melakukan sesuatu yang
berguna untuk lingkungannya. Selanjutnya, kondisi masyarakat yang sehat
memberikan implikasi pada keamanan global dan kemerdekaan manusia. Kemudian,
tentu dengan kondisi masyarakat yang sehat, biaya-biaya untuk mengatasi masalah
kesehatan bisa diminimalkan dan dialihkan pada sektor lain.
Kembali kepada
NCDs, NCDs adalah jenis penyakit yang tidak ditularkan dari satu orang ke orang
lainnya, seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung, termasuk juga
penyakit-penyakit mental. Di negara-negara miskin dan berkembang atau
negara-negara dengan penghasilan rendah hingga menengah, NCD menjadi salah satu
faktor yang berkontribusi besar pada kematian dan menjadi variabel utama dalam
meningkatnya disabilitas. Di Indonesia sendiri, NDCs seperti penyakit jantung,
hipertensi, dan gangguan pernapasan, menjadi penyebab kematian utama.
Berbicara mengenai
NDC tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor risiko (Risk Factors). Faktor risiko dapat dipahami sebagai karakteristik
atau paparan terhadap suatu individu yang meningkatkan kecenderungan
berkembangnya penyakit ataupun cedera, dengan kata lain faktor-faktor penyebab
suatu penyakit. Dibandingkan dengan penyakit menular, NCD menjadi lebih rumit
dikarenakan banyaknya faktor risiko yang dapat berkontribusi terhadap
pertumbuhannya. Oleh sebab itu, cukup banyak faktor yang perlu diatur atau
dikontrol. Menangani malaria bisa dilakukan dengan fokus pada pemberantasan
nyamuk anopheles dan tempat
berkembangnya. Namun, menangani penyakit jantung tidak cukup dengan menghindari
makanan berlemak dan alkohol, tetapi juga berkaitan dengan manajemen stres dan
dukungan keluarga serta pelayanan kesehatan. Begitu juga dengan depresi yang
merupakan salah satu gangguan mental. Faktor kepribadian, lingkungan
pertemanan, keluarga, dan lingkungan masyarakat ditambah layanan kesehatan
mental yang kurang memadai, menjadi faktor risiko yang perlu untuk
dipertimbangkan. Data menunjukkan bahwa kebanyakan faktor risiko NCD berkaitan
dengan gaya hidup, yang berarti ini dikaitkan dengan perilaku kesehatan.
Faktor-faktor
risiko NCDs ini dapat digambarkan dalam bentuk lapisan atau area-area yang
kemudian memberikan insight bahwa isu
NCD dan kesehatan pada umumnya merupakan suatu isu yang sistemik. Olehnya itu,
penangannya juga perlu lebih komprehensif, melibatkan berbagai pihak.
Lapisan-lapisan ini juga menunjukan tingkatan pengaruh dari faktor-faktor
risiko tersebut. Lapisan pertama adalah karakteristik individu, yang mana kita
tahu bahwa individu sendirilah yang seyogyanya bertanggung jawab atas
kesehatannya. Lapisan kedua antara lain
perilaku kesehatan dan keterampilan coping,
perkembangan kesehatan sejak kanak-kanak, kondisi lingkungan kerja, lingkungan
sosial, lingkungan budaya, lingkungan fisik, serta akses layanan kesehatan. Di
luar lapisan kedua, adalah pemerintah, kebijakan, dan intervensi, yang bisa
berpengaruh tidak langsung.
Perilaku kesehatan
dikaitkan dengan budaya suatu masyarakat. Hal ini berkaitan dengan bagaimana
masyarakat setempat mempersepsikan sehat dan sakit, bagaimana kondisi sakit
ditangani, dan bagaimana menjaga tubuh agar terhindar dari penyakit. Mungkin
saja, kita bisa menemukan suatu daerah yang masyarakatnya sangat menjaga
kondisi tubuhnya dengan larangan mengkonsumsi minuman dan makanan tertentu.
Atau bisa saja, seseorang yang sakit diberikan makanan atau minuman tertentu
yang diracik dari bahan-bahan alami. Mungkin saja di suatu daerah tertentu,
pantang untuk tidur larut malam, dan sebagainya. Hal ini dapat terbentuk dari konstruksi
kebiasaan masyarakat dan kepercayaan-kepercayaannya. Nilai-nilai tentang
menjaga kesehatan, menghargai tubuh dan jiwa, keseimbangan alam, merupakan
inti-inti nilai yang dapat melatarbelakangi
perilaku yang mendukung kesehatan dalam suatu masyarakat.
Bergeser pada
lingkungan sosial yang lebih temporer, masyarakat yang suportif terhadap upaya
pencegahan dan penanganan NCD menjadi faktor yang mendukung. Namun, stigma yang
berkembang di masyarakat, bisa menjadi faktor penghambat. Gangguan psikologis
masih dipenuhi oleh stigma yang melekat pada masyarakat bahwa gangguan
psikologis diantaranya merupakan gangguan setan dan kutukan sehingga hanya
menyisakan momok bagi individu tersebut dan keluarganya. Mereka tidak pantas
diterima dalam masyarakat. Pelaku bunuh diri dan orang yang depresi adalah
orang yang lemah dan berlumur dosa sehingga mereka tidak pantas untuk ditemani.
Padahal, bisa jadi mereka membutuhkan uluran tangan kita, mereka membutuhkan
untuk didengar. Bukan kita yang berhak memberikan judgement berdosa atau tidak, melainkan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kecenderungan masyarakat mencari bantuan kepada dukun atau ‘orang pintar’ dari
kalangan masyarakat untuk menangani kondisi kesehatannya, dibandingkan menemui
tenaga kesehatan profesional, juga merupakan bagian dari faktor sosial yang
mempengaruhi kesehatan. Kelihatannya
pengobatan tradisional jauh lebih populer dibandingkan pengobatan modern di
kalangan masyarakat tertentu.
Berkaitan dengan
perilaku mencari bantuan (help seeking
behavior), bukan hanya faktor kebiasaan, norma dan stigma yang bisa
berpengaruh. Sumber daya yang ada juga ikut memberikan pengaruh. Sebut saja
beberapa contohnya adalah kondisi keuangan, akses menuju pelayanan kesehatan,
dan fasilitas layanan kesehatan. Selain itu, dukungan dari orang-orang sekitar
seperti keluarga dan teman juga menjadi salah satu penentu dalam pengambilan
keputusan individu. Tidak terlepas juga dinamika dalam diri individu itu
sendiri seperti sejauh mana dia mempercayai dirinya akan dan mampu untuk sehat
kembali (efikasi diri), ketangguhan, dan pengetahuannya tentang penyakitnya
itu. Olehnya itu, bagaimana kita bisa meningkatkan perilaku mencari bantuan di
kalangan penderita gangguan mental (mental
disorder) tertentu ? Hal ini dapat dilakukan dengan menyebarkan
informasi-informasi mengenai gangguan mental itu sendiri dan tempat-tempat yang
dapat didatangi untuk mengakses layanan kesehatan mental, juga meminimalkan stigma di kalangan masyarakat,
serta mengkampanyekan pentingnya mencari bantuan kepada pihak-pihak terdekat
individu (keluarga, teman).
Berbicara mengenai
kesehatan juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah terkait sistem
kesehatan. Sebut saja yang termasuk dalam pembahasan ini adalah standar
operasional pelayanan kesehatan untuk masyarakat, asuransi kesehatan, dan
penjualan obat-obatan tertentu. Salah satu bagian dari sistem pelayanan
kesehatan Indonesia yang menjadi daya tarik peserta dari negara lain adalah
adanya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di setiap wilayah kecamatan yang
dapat diakses oleh masyarakat dengan cepat. Masyarakat yang ingin berobat tidak
perlu datang ke Rumah Sakit di kota. Kita juga memiliki asuransi kesehatan yang
bisa membantu masyarakat kurang mampu yang ingin mengakses pelayanan kesehatan
itu. Kaitannya dengan kesehatan mental, beberapa puskesmas di suatu provinsi di
Indonesia juga sudah menempatkan satu psikolog klinis, meskipun tidak semuanya.
Namun bukankah ini suatu perkembangan yang membuat kita seyogianya tetap
optimis bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mensejahterakan seluruh
masyarakat secara fisik dan mental. Tinggal bagaimana pihak-pihak lain turut
membantu. Sistem kebijakan juga mencakup izin periklanan rokok, pajak terhadap
rokok, harga makanan-makanan sehat, serta standar operasional produksi makanan.
Secara tidak langsung kebijakan ini dapat berpengaruh terhadap kondisi
kesehatan kita.
Salah satu yang
bisa kita lakukan adalah advokasi. Mempertimbangkan pentingnya kebijakan ini,
advokasi dapat membantu dengan mempengaruhi pengambil keputusan untuk membuat
aturan-aturan yang mendukung peningkatan kesehatan. Disahkannya Undang-Undang
Kesehatan Mental tahun 2014 adalah satu bentuk keberhasilan advokasi di
Indonesia. Penempatan psikolog di Puskesmas-Puskesmas juga merupakan suatu
hasil advokasi. Adanya area bebas rokok dan bebas iklan rokok juga merupakan
hasil advokasi. Tidak perlu hasil yang langsung besar dan mencakup seluruh
negara Indonesia. Kita bisa memulainya di wilayah kita masing-masing, di
lingkungan sekolah, kampus, kantor, bahkan kota kita. Akumulasi usaha-usaha
kita yang kecil bisa memberikan dampak yang besar.
Hal yang menarik
selanjutnya adalah bagaimana lingkungan fisik mempengaruhi kesehatan. Kita
mungkin tidak begitu menyadari bahwa berkurangnya taman hijau dan area untuk
melakukan aktivitas fisik dapat meningkatkan risiko gangguan pernapasan dan
kurangnya aktivitas fisik penyebab obesitas. Kita mungkin baru saja menyadari
bahwa polusi udara di dalam dan luar ruangan meningkatkan kemungkinan terkena
kanker paru-paru ataupun penyakit lainnya yang dikaitkan dengan gangguan
pernapasan. Kemacetan yang kita lalui sehari-hari akibat meningkatnya
penggunaan kendaraan menjadi pemicu stres yang kemudian menurunkan derajat
kesehatan mental kita. Perubahan iklim telah berdampak pada cuaca dan musim di
dunia yang mungkin akan menjadi kondisi yang buruk untuk mereka yang memiliki
gangguan mood dan depresi. Bencana yang terjadi akibat perubahan iklim ini
tentu saja berdampak pada kerusakan infrastruktur dan bahkan hilangnya nyawa
manusia. Juga kelaparan dan kekeringan yang melanda. Semua itu pada gilirannya
akan mempengaruhi kesehatan mental dan well-being masyarakat.
Dari catatan
gado-gado ini, hal yang kemudian menjadi muara utama adalah bagaimana
masyarakat bisa dilibatkan dalam mengembangkan kesehatannya sendiri. Masyarakat
memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya kesehatan, bukan hanya
kesehatan fisik, melainkan juga kesehatan mental. lalu masyarakat mengupayakan
hal-hal untuk mewujudkan kondisi sehat itu ataupun mencegah kondisi sakit.
Masyarakat kita memiliki kekuatan kolaborasi serta kesukarelaan yang membuat
orang dari negara lain kagum. Kekuatan inilah yang seyogianya kita optimalkan.
Sebagian sudah kita lakukan dengan adanya kader-kader kesehatan yang bekerja
bersama Puskesmas, dan adanya klinik-klinik swadaya masyarakat. Tugas kita
selanjutnya adalah mempertahankan dan mengembangkannya.
Sebagai generasi
muda, kita bisa terlibat bersama masyarakat dan mengupayakan advokasi yang
menargetkan pengambil keputusan yang memegang peranan penting di berbagai level
institusi. Identifikasi orang-orang maupun organisasi yang bisa membantu usaha
kita. Kita perlu untuk berkolaborasi, kata Charlotte. Dengan kesabaran dan
ketangguhan serta konsistensi, kita bisa mencapai tujuan akhir kita bersama
kata Dr.Tara.
Syurawasti Muhiddin
YSEALI Engage
Participant from Indonesia.
Halo Jiwa Indonesia
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.