Artikel
Lebih Sadar dan Peka terhadap Isu Skizofrenia
Lebih Sadar dan Peka terhadap Isu
Skizofrenia
Skizofrenia merupakan isu psikologis yang masih asing bagi masyarakat,
khususnya di Indonesia. Masyarakat sering kali menyebut orang yang mengalami
skizofrenia sebagai orang gila. Tentu saja kedua hal tersebut memiliki makna
yang berbeda. Istilah gila tepatnya ditujukan kepada orang yang kehilangan
kesadarannya, sehingga perilakunya cenderung tidak terkontrol. Istilah
sarkastis tersebut tidak sepantasnya dilabelkan kepada orang yang mengalami
skizofrenia. Karena pada dasarnya, orang skizofrenia masih memiliki
kesadarannya, hanya saja mereka sering kali mengalami kesulitan dalam
membedakan realitas dengan halusinasinya. Selain itu, kondisi yang mereka
alami, bukanlah bagian dari kehendak mereka, melainkan dorongan liar dari alam
tidak sadar yang sulit mereka atasi. Oleh karena itu, mereka butuh bantuan
orang lain, teman yang suportif, dan lingkungan yang kondusif, bukannya direndahkan
dan dihindari.
Skizofrenia ditandai oleh tiga simtom utama, yaitu halusinasi, delusi,
dan perilaku yang tidak terorganisasi (Maslim, 2013). Orang yang mengalami
skizofrenia mengalami kesulitan dalam membedakan kenyataan dengan objek yang sebenarnya
tidak ada, yang disebut dengan halusinasi. Biasanya hal ini juga disertai
dengan delusi, di mana mereka begitu memegang teguh keyakinan irasional yang
dimilikinya. Pikiran tersebut kerap disebarkan ke orang lain, sehingga orang
lain pun menjadi tahu. Hal inilah membuat orang
yang tidak paham menjadi bingung, sehingga mereka menganggapnya aneh. Bagi
orang yang mengalami skizofrenia, keyakinan bahwa orang lain sedang
mengawasinya dan akan membunuhnya merupakan ketakutan yang membuat mereka panik
dan mencari pertolongan. Sementara orang lain yang tidak paham, akan menganggap
mereka gila. Pikiran-pikiran irasional yang sulit mereka tangani tersebut,
mendorong munculnya perilaku yang tidak terorganisasi. Seperti, kesulitan dalam
berbicara, tindakan tidak terkontrol (misalnya, melakukan sesuatu dengan pola
yang sama secara berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama), dan juga
menurunnya rawat diri (jarang mandi dan tidak menjaga kebersihan tubuhnya).
Penyebab skizofrenia cukup kompleks dan beragam. Secara genetis, anak
yang lahir dari orang tua yang memiliki
riwayat skizofrenia, lebih rentan terhadap skizofrenia. Selain itu, faktor
prakehamilan, seperti kekurangan nutrisi atau infeksi virus juga menyebabkan
bayi yang lahir rentan mengalami skizofrenia. Secara biologis, skizofrenia
dapat disebabkan karena adanya ketidakseimbangan hormon serotonin dan dopamin
(Davidson, Neale, & Kring, 2006). Karena beberapa faktor tersebut,
skizofrenia menjadi gangguan psikologis yang tidak dapat disembuhkan.
Lalu bagaimanakah caranya untuk mengatasi skizofrenia? Pertama, tentunya
kita perlu memastikan kondisi yang dialami kepada psikolog ataupun psikiater.
Jika diagnosis skizofrenia ditegakkan, selanjutnya kita seyogianya mengikuti
saran dari psikolog untuk mengikuti terapi secara rutin ataupun mengonsumsi
obat yang dianjurkan. Biasanya obat ini berfungsi untuk mengurangi kemunculan
simtom-simtom skizofrenia. Selain dua langkah tersebut, yang terpenting adalah
mengomunikasikan kondisi yang dialami kepada keluarga atau orang terdekat
(Feldman, 2012). Hal ini berguna untuk membuat mereka paham dan bisa turut
membantu. Jika sulit dilakukan, kita bisa meminta bantuan kepada psikolog untuk
mendiskusikannya dengan keluarga. Karena dukungan keluarga atau orang terdekat
juga memiliki peranan yang sama pentingnya dengan obat-obatan. Selain itu, hal
ini juga dimaksudkan agar terhindar dari cara penanganan yang tidak diharapkan,
seperti pemasungan yang masih banyak terjadi di kalangan masyarakat awam.
Orang yang mengalami skizofrenia akan terhambat dalam menjalankan
fungsinya sebagaimana manusia yang semestinya. Mereka cenderung mengabaikan
kondisi tubuhnya, terasingkan secara sosial, dan berhenti dari pekerjaannya.
Pada dasarnya, mereka bisa kembali menjalankan fungsi dirinya secara optimal
dengan perawatan dan pendampingan yang baik. Meskipun skizofrenia tidak dapat
disembuhkan, namun simtom-simtomnya dapat dikurangi. Orang dengan skizofrenia
yang berhasil menunjukkan kemajuan, bahkan dapat kembali beraktivitas layaknya
orang pada umumnya. Contohnya, ahli matematika John Nash tetap bisa mengajar
sebagai profesor, meskipun mengalami skizofrenia. Karena pada dasarnya, mereka
yang mengalami skizofrenia membutuhkan dukungan emosional dari orang-orang
sekitar untuk mendorong mereka pulih secara perlahan. Sebagaimana, John Nash
yang mendapatkan dukungan tersebut dari istrinya.
Jadi mari kita lebih sadar dan peka dengan orang-orang di sekitar kita.
Sebaiknya kita hindari melabeli orang skizofrenia sebagai orang gila. Selain
itu, kita juga perlu bijak dengan tidak tergesa-gesa dalam memberikan diagnosis
skizofrenia, karena bagaimanapun juga hanya psikolog dan psikiaterlah yang
dapat menetapkan seseorang mengalami skizofrenia. Selanjutnya, ketika ada
orang-orang di sekitar kita yang sedang berjuang untuk pulih dari
skizofrenianya, jadilah teman yang suportif dengan membantu mereka untuk
bangkit. Oleh karena, mereka tidak pernah mengingini kondisi yang mereka alami.
Percayalah skizofrenia yang mereka alami, merupakan ujian dari Tuhan untuk
menguatkan mereka, bukannya hukuman atas dosa yang telah mereka lakukan.
Referensi:
Davidson, G. C., Neale, J. M., & Kring, A.
M. (2006). Psikologi Abnormal (Edisi 9).
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Feldman, R. S. (2012). Pengantar Psikologi (Edisi 10, Buku 2). Jakarta: Penerbit Salemba
Humanika.
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK,
Unika Atmajaya.
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.