Artikel
Yuk Tahu Lebih Jauh tentang Gangguan Makan (Eating Disorder)
Oleh: Syura
Pernahkah Anda merasa bahwa Anda sudah kelebihan berat badan namun tetap tidak bisa menahan diri untuk tidak memakan banyak hal yang menjadi kesukaan Anda? Atau pernahkan Anda mengalami penurunan berat badan drastis dikarenakan diet ketat yang Anda lakukan, yang kemudian berdampak pada kesehatan Anda? Jika ya, mungkin ada baiknya Anda mencari tahu lebih lanjut mengenai istilah gangguan makan.
Pernahkah Anda merasa bahwa Anda sudah kelebihan berat badan namun tetap tidak bisa menahan diri untuk tidak memakan banyak hal yang menjadi kesukaan Anda? Atau pernahkan Anda mengalami penurunan berat badan drastis dikarenakan diet ketat yang Anda lakukan, yang kemudian berdampak pada kesehatan Anda? Jika ya, mungkin ada baiknya Anda mencari tahu lebih lanjut mengenai istilah gangguan makan.
Kita semua menyukai makanan.
Makanan juga merupakan kebutuhan fisiologis dasar yang harus segera dipenuhi.
Dengan makanan, kita bisa memiliki tenaga untuk beraktivitas, kita bisa
bertumbuh, dan kita juga bisa mencegah penyakit. Meskipun demikian, dengan
semua manfaatnya itu, makanan juga dapat menjadi masalah di satu sisi, masalah
yang dapat berdampak pada perkembangan seseorang.
Gangguan makan pada awalnya
menjadi fenomena yang sering dijumpai di negara-negara di Amerika Utara dan
Eropa Barat. Gangguan makan umumnya juga ditemui pada remaja perempuan, namun
tidak menutup kemungkinan wanita dewasa pun bisa memiliki gangguan ini. Konsep
tentang wanita cantik layaknya ‘barbie’ di negara-negara tersebut serta
persepsi yang dibangun oleh artis-artis Hollywood dengan penampilannya
dipertimbangkan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
berkembangnya gangguan makan ini.
Gangguan makan yang dimaksud
disini bukanlah gangguan yang berkaitan dengan jasmani saja, seperti kelaparan
dan obesitas. Akan tetapi gangguan yang melibatkan aspek psikologis seseorang.
Dalam Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorder V (DSM V), sebuah panduan untuk menegakkan diagnosis
terhadap gangguan-gangguan mental, terdapat tiga jenis gangguan makan, yaitu
Anorexia Nervosa, Bulimia Nervosa, dan Binge Eating Disorder.
Anorexia Nervosa ditandai dengan berat badan sekitar 85% kurang
dari berat badan normal yang seharusnya dimiliki berdasarkan usia dan tinggi
badan seseorang. Orang yang menderita Anorexia Nervosa sangat membatasi
perilaku yang menurutnya bisa menaikkan berat badannya, terutama perilaku
makannya. Selain itu, dirinya memiliki ketakutan yang berlebihan dan tidak realistis bahwa berat badannya akan
bertambah meskipun sebenarnya berat badannya sudah di bawah batas normal.
Selanjutnya, persepsi atau gambarannya terhadap tubuhnya juga mengalami
gangguan. Dia selalu menolak bahwa dirinya saat ini sudah terlalu kurus
sehingga perlu untuk menaikkan berat badannya. Tidak peduli seberapa kurus
mereka, orang-orang dengan anoreksia masih berpikir mereka gemuk dan dapat
terus menurunkan berat badan, yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian.
Ketiga kriteria tersebut setidaknya telah muncul dan menetap selama tiga bulan
terakhir untuk bisa menegakkan diagnosis Anorexia Nervosa.
Bulimia Nervosa memiliki kemiripan dengan Anorexia Nervosa dalam
hal evaluasi diri, yaitu bahwa bentuk tubuh dan berat badan adalah penilaian
yang sangatlah penting. Kriteria utama yang menandai Bulimia adalah episode binge eating (makan banyak dan cepat)
yang berulang-ulang. Selanjutnya, episode
binge eating diikuti oleh perilaku-perilaku kompensasi (diistilahkan ‘purging’/pembersihan) yang juga
berulang-ulang seperti muntah, puasa, atau olahraga yang berlebihan, untuk
mencegah penambahan berat badan. Penderita Bulimia bahkan menggunakan obat
pencahar untuk membersihkan isi perutnya dari makanan-makanan yang baru saja
dia makan. Setelah pembersihan itu, penderita Bulimia biasanya merasa bersalah,
mengkritik diri sendiri, dan merasa depresi. Pembersihan tersebut juga dapat
menyebabkan sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar, kehilangan enamel gigi
(lapisan luar gigi), defisiensi nutrisi, dehidrasi, dan kerusakan usus.
Kriteria yang disebutkan di atas menetap selama setidaknya tiga bulan terakhir
untuk bisa didiagnosa menderita Bulimia Nervosa, dengan Jumlah episode binge eating dan purging sekurang-kurangnya seminggu sekali.
Binge Eating Disorder menjadi kategori baru dalam DSM 5 setelah
dibuktikan oleh penelitian-penelitian. Sebelumnya, gangguan ini disebutkan
dalam Lampiran DSM IV TR (DSM IV yang sudah direvisi) sebagai kategori yang
membutuhkan studi lebih lanjut. Seseorang dikatakan menderita gangguan makan
ini apabila dirinya mengalami episode Binge
Eating yang meliputi sekurang-kurangnya tiga karakteristik: makan dengan
cepat lebih dari kecepatan makan pada umumnya hingga dirinya merasa kenyang;
makan dalam jumlah banyak meskipun dirinya tidak lapar; serta makan sendirian
dikarenakan malu dengan jumlah makanan yang banyak, juga perasaan buruk
(seperti jijik, merasa bersalah, dan depresi) setelah episode binge eating. Berbeda dengan Bulimia
Nervosa, Binge Eating Disorder tidak ditandai dengan perilaku-perilaku
kompensasi setelah makan banyak.
Apa yang menyebabkan gangguan
makan tersebut terjadi? Penyebab pertama dikaitkan dengan faktor genetik.
Seseorang yang dilahirkan dari orang tua ataupun keluarga yang mana anggotanya
ada yang mengidap gangguan makan akan cenderung menderita gangguan makan
dibandingkan keluarga yang tidak memiliki riwayat gangguan makan. Faktor
neurologis juga dapat menjadi penyebab gangguan makan. Hipotalamus sebagai
pusat regulasi makan dan rasa lapar yang ada di otak memiliki peran penting
dalam pengaturan hormon. Sebagai contoh, level beberapa hormon yang diatur oleh
hipotalamus, seperti hormon kortisol, memang tidak normal pada penderita
Anorexia Nervosa. Faktor penyebab selanjutnya berkaitan dengan faktor-faktor
kognitif dan perilaku. Teori kognitif-perilaku tentang gangguan makan berfokus
pada pemahaman pikiran, perasaan dan perilaku seseorang yang berkontribusi pada
distorsi atau gangguan citra diri, ketakutan akan menjadi gemuk, serta
kehilangan kontrol terhadap makanan. Seseorang dengan gangguan makan bisa jadi
memiliki skemata maladaptif (kerangka berpikir yang tidak rasional atau keliru)
yang kemudian mempersempit atau membatasi atensi-atensi mereka terhadap
pikiran-pikiran dan gambaran-gambaran terkait dengan berat badan, bentuk tubuh,
dan makanan.
Faktor sosio-kultural juga
memiliki kontribusi terhadap peningkatan gangguan makan. Sepanjang sejarah
manusia, masyarakat memberikan standar tentang tubuh yang ideal, khususnya tubuh
ideal pada wanita. Masyarakat cenderung sepakat bahwa wanita cantik adalah
wanita yang kurus. Oleh sebab itu, wanita berlomba-lomba untuk melakukan diet
dan diet tersebutlah yang memulai perkembangan gangguan makan pada kebanyakan
orang. Kecenderungan pada bentuk tubuh yang kurus, di tambah penggambaran media
tentang model-model yang kurus, memprediksi peningkatan ketidakpuasan terhadap
tubuh, yang mana hal ini juga menjadi salah satu akar berkembangnya gangguan
makan. Stigma yang diberikan kepada orang yang kelebihan berat badan juga
berkontribusi terhadap peningkatan ini. Seperti yang telah disebutkan, wanita
cenderung memiliki gangguan makan daripada pria, salah satunya dikarenakan
seringnya tubuh wanita menjadi objek yang dipamerkan (misalnya dalam berbagai
iklan), yang kemudian menyebabkan sejumlah wanita membandingkan tubuhnya dengan
orang lain, yang pada gilirannya dapat meningkatkan ketidakpuasan terhadap
tubuh.
Faktor-faktor lain yang dikaitkan
dengan berkembangnya gangguan makan adalah faktor kepribadian, keluarga, serta
kekerasan fisik dan seksual. Penelitian tentang karakteristik kepribadian
menemukan bahwa perfeksionisme memainkan sebuah peran dalam berkembangnya
gangguan makan. Karakteristik kepribadian lain yang dapat meningkatkan potensi
terjadinya gangguan makan selama tiga tahun termasuk ketidakpuasan terhadap
tubuh, yaitu sejauh mana seseorang dapat membedakan berbagai kondisi biologis
tubuh mereka dan kecenderungan untuk mengalami emosi negatif. Hubungan keluarga
yang bermasalah cukup sering ditemui di antara orang-orang dengan kelainan
makan, tetapi kondisi ini bisa merupakan akibat dari gangguan makan, belum
tentu menjadi penyebabnya. Tingginya
tingkat pelecehan seksual dan fisik juga ditemukan di antara orang-orang dengan
gangguan makan, tetapi ini bukan faktor risiko yang spesifik terhadap
perkembangan gangguan ini.
Bagaimana cara menangani gangguan
makan? Pemberian obat antidepresan telah menunjukkan beberapa manfaat dalam
pengobatan bulimia, tetapi tidak untuk anoreksia. Namun, orang dengan bulimia
lebih mungkin untuk menghentikan pengobatan daripada menghentikan terapi.
Perawatan psikologis untuk anoreksia harus terlebih dahulu fokus pada
penambahan berat badan. Penderita Anorexia seringkali membutuhkan perawatan di
rumah sakit untuk mengatasi komplikasi yang terjadi akibat berat badan yang
kurang. Terapi keluarga paling sering diberikan untuk penderita anoreksia,
tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menunjukkan apakah terapi ini
efektif. Perawatan psikologis yang paling efektif untuk bulimia adalah terapi
perilaku kognitif atau Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) yang melibatkan perubahan keyakinan pasien dan
pemikiran tentang kurus, kelebihan berat badan, diet, dan pembatasan makanan,
dengan tujuan keseluruhannya adalah membangun kembali pola makan yang normal.
CBT lebih efektif daripada pengobatan, meskipun obat antidepresan dapat
membantu mengurangi depresi. CBT juga efektif untuk gangguan pesta makan (Binge
Eating Disorder).
Setelah memahami beberapa hal
terkait gangguan makan, kita diharapkan bisa lebih sadar dengan pola makan
kita. Jangan sampai cara diet, jumlah makanan yang dimakan, durasi makan, dan
pikiran-pikiran kita, termasuk dalam kategori gangguan makan. Makanan itu
adalah anugerah, namun menjadi malapetaka jika dikonsumsi berlebihan, bukan?
Menjadi cantik itu adalah keinginan sejuta umat, namun cantik itu bersifat
relatif. Kurus bukanlah ukuran kecantikan seseorang dan gemuk tidak serta merta
menjadikan kita jelek. Buat apa menjadi cantik jika itu membinasakan diri
sendiri. Mari kita bersyukur dengan segala kondisi tubuh kita, bersyukur dengan
makanan-makanan yang membuat kita bisa hidup. Berhentilah untuk mengkritik
ketidaksempurnaan karena tidak ada manusia yang sempurna.
Bennett, Paul. (2006). Abnormal and Clinical Psychology, An
Introduction Textbook, Second Edition. Polandia, EU: OZGraf S.A
Kring, Ann M., Johnson, Sheri L.,
Davison, Gerald C., & Neale, John M. (2012). Abnormal Psychology, Twelfth Edition. USA: John Wiley & Sons,
Inc.
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.