Bersahabat dengan Ketakutan

“Mereka hanya tidak tahu perjalanan panjang yang telah kulalui untuk menaklukkan monster dalam diriku dan menjadikannya awan hitam yang meneduhkan”
Setiap orang memiliki ketakutan terbesar dalam dirinya. Bagi sebagian besar orang di dunia ini, ketakutan selalu menjadi begitu suram dan mengancam. Ketakutan sering kali digambarkan sebagai penghambat seekor anak burung untuk mengepakkan sayapnya dan terbang setinggi-tingginya. Namun berbeda halnya dengan diriku, yang justru memilih bersahabat dengan ketakutan terbesar dalam hidupku. Aku ingin berbagi kepada kalian mengenai perjalananku mengendalikan ketakutanku dan menjadikannya sahabat terdekatku. Cerita ini bukanlah dongeng Cinderella yang menceritakan seorang wanita miskin yang bertemu sosok pangeran, dan kemudian hidup bahagia. Cerita ini nyata kualami, yang mengisahkan pertemuanku dengan sahabat sejatiku yang tidak lain adalah ketakutan terbesarku. Dia adalah Kiki, awan hitam yang selalu berada di belakangku, mengikuti derap langkah kakiku, sejak dulu hingga sekarang dan tentu saja aku berharap persahabatan ini bisa berlangsung untuk sisa hidupku.

     Semuanya tampaknya dimulai ketika aku duduk di bangku sekolah dasar. Aku ingat dengan jelas saat itu aku adalah anak yang pendiam, pemalu, dan tidak banyak bergaul. Namun aku bukanlah anak yang aneh. Aku tergolong siswi yang pintar di kelasku. Nilai-nilaiku cukup tinggi dan aku juga mudah memahami pelajaran. Aku puas dengan diriku yang sekarang, hanya saja aku sering kali berpikir ingin seperti anak lainnya yang punya banyak teman, ramah kepada semua orang, dan aktif di kelas. Aku kagum dengan sekelompok teman perempuanku yang begitu populer di kelas. Mereka menamakan perkumpulan mereka, Geng Cantik. Aku akui mereka memang cantik ditambah lagi mereka juga merupakan sekelompok siswi yang aktif dan pintar di kelas kami. Aku terkadang berpikir ingin rasanya bergabung ke dalam geng cantik. Namun sepertinya, mereka tidak akan tertarik dengan anak pemalu sepertiku.

     Suatu hari yang sepertinya merupakan hari keberuntunganku, aku terkejut ketika ketua geng cantik menghampiriku. Sebut saja namanya Dinda. Siapa sangka Dinda ketua geng cantik mengajakku untuk bergabung ke dalam perkumpulan mereka. Aku diam terpaku. Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku alami. Beberapa kali aku mencubit tanganku, hanya untuk memastikan apakah aku sedang bermimpi indah. “Hey, kamu baik-baik saja?”. Suara Dinda membuyarkan keheninganku. Aku langsung sadarkan diri, bahwa ini benar-benar nyata. Aku secara spontan menganggukkan kepala tanpa berpikir panjang. Lagipula apa yang mesti dipikirkan, aku telah menunggu sejak lama untuk kesempatan ini. Dinda yang melihat kegugupanku, seketika tersenyum dan meraih tanganku. Dia menyalamiku yang sepertinya sebagai tanda bahwa aku telah diterima sebagai anggota baru geng cantik.

     Aku duduk di bangku barisan depan tepat di samping Dinda, setelah aku resmi menjadi anggota geng cantik. Aku menghabiskan banyak waktu di sekolah bersama sahabat baruku di geng cantik, mulai dari belajar di kelas, mengerjakan tugas, hingga berbagi bekal makan siang. Aku sangat senang dan begitu menikmati hari-hariku di sekolah bersama sahabat baruku. Aku selalu menyempatkan diri berterima kasih kepada Tuhan ketika aku ke gereja setiap minggunya.

     Aku tidak pernah menyangka kebahagiaanku akan terenggut begitu cepatnya. Setelah beberapa bulan bersama sahabat baruku, aku mulai merasa tidak nyaman. Aku merasa tidak senang ketika sahabatku mencontek tugasku yang telah susah payah aku kerjakan. Aku tidak senang ketika sahabatku dipuji oleh guru karena berhasil menjawab pertanyaan. Padahal dia hanya mencontek hasil pekerjaanku. Aku merasa tidak dihargai. Aku merasa diremehkan. Parahnya, aku bahkan merasa selama ini aku sedang dimanfaatkan. Aku begitu kacau. Aku seketika menjadi takut pada sahabatku sendiri yang begitu kupercaya selama ini. Aku berusaha untuk menenangkan diri. Aku berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa ini tidak akan berlangsung selamanya. Pada akhirnya, aku memilih untuk tetap mempercayai mereka.

     Aku menunggu mereka untuk berubah. Aku berharap mereka akan segera menyadari kesalahan dan meminta maaf. Aku tetap berusaha bersabar ketika mereka tetap mencontek tugasku. Aku beberapa kali berusaha menegur mereka dan menunjukkan kalau aku tidak senang diperlakukan seperti itu. Namun mereka menjadi marah dan menghindariku. Aku menjadi sangat bingung. Aku yang kini tidak lagi bisa menahan sabar, memilih untuk mengungkapkan kekecawaanku selama ini kepada Dinda. Aku cukup terkejut ketika Dinda malah menyerangku dengan kata-kata kasar. Dia menjadi begitu marah. Aku ketakutan dan seketika terbungkam. Aku tidak menyadari air mataku pecah. Aku hanya bisa menunduk, dadaku terasa sesak, dan aku tidak mampu menahan tangisku. Aku merasa sangat malu. Aku bisa melihat sekilas Dinda meninggalkan kelas diikuti beberapa sahabatku yang lainnya. Aku tidak berani bangkit. Aku merasa seolah-olah kakiku telah merekat ke lantai. Aku merasa sangat malu, seluruh teman kelasku seolah-olah menatapku dengan sinis. Tiba-tiba seseorang menghampiriku dan mengulurkan tangannya. Aku menyeka air mataku dan perlahan-lahan mengangkat kepalaku untuk memastikan orang itu. Aku terkejut ketika melihat teman lamaku berdiri tepat di depanku, sebut saja namanya Rifa. Aku dan Rifa sebenarnya telah berteman sejak TK kemudian kami masuk di SD yang sama dan juga di kelas yang sama. Hanya saja kami tidak lagi sedekat ketika TK dulu.

     Aku merasakan ada yang berbeda dengan diriku setelah kejadian hari itu. Aku sering kali merasa cemas dan tidak percaya diri. Satu hal yang cukup menggangguku adalah aku menjadi lebih tertutup dari sebelumnya. Aku merasa takut dekat dengan orang lain, mungkin karena aku tidak ingin kembali dikhianati. Satu-satunya yang bisa aku percaya saat ini adalah Rifa. Aku menjadi dekat dengan dia setelah dia mencoba membantuku hari itu. Aku menyadari satu hal setelah kejadian itu, aku kurang menyadari kehadiran Rifa selama ini. Aku telah dibutakan oleh ambisiku sehingga bergaul dengan orang-orang yang tidak tulus. Aku mungkin menyesal karena tidak lagi dekat dengan Rifa sejak kami berada di kelas yang sama, tapi setidaknya aku bersyukur karena tidak terlambat untuk kembali mengenalnya dan sekali lagi dekat dengannya.

     Aku tidak lagi dekat dengan geng cantik setelah kejadian hari itu. Kami seperti orang asing, seolah-olah kedekatan kami beberapa waktu belakangan menjadi tidak berarti. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka rasakan setelah aku keluar dari geng itu, tapi kelihatannya mereka baik-baik saja. Setelah keluar dari geng itu, aku semakin fokus belajar, meskipun masih seperti biasa bahkan lebih parah lagi setelah kejadian itu, aku merupakan siswi yang kurang aktif di kelas. Sepulang sekolah, aku menghabiskan waktu di tempat kursus, sesekali aku juga sering bermain dengan Rifa di luar waktu sekolah.

     Suatu hari pengalaman tidak menyenangkan terjadi di tempat kursusku. Aku mendapat giliran untuk menuliskan jawaban dari pertanyaan di papan tulis. Sebelumnya seorang temanku, sebut saja namanya Tesa telah berusaha menjawab beberapa pertanyaan dan aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan sisanya. Aku meraih spidol dan mulai menorehkan jawabanku. Aku tiba-tiba merasakan gugup. Aku menjadi bingung dengan jawabanku. Aku tidak yakin dan sepertinya aku menjawabnya dengan salah. Aku terkejut ketika tutor meraih tanganku dan memukulku dengan penggaris. “Apa yang terjadi”, pikirku. Aku bingung, aku tidak tahu apa-apa. “Kenapa aku tiba-tiba dipukul?”. Seingatku tadi Tesa tidak dipukul ketika melewatkan satu pertanyaan, karena dia tidak tahu jawabannya. Sedangkan aku sudah jelas-jelas berusaha untuk menyelesaikan pertanyaan tersebut. Tutor memintaku untuk lanjut mengerjakan pertanyaan selanjutnya dengan nada suara yang tinggi. Aku menjadi takut dan seketika air mataku bercucuran. Aku merasakan sesak di dadaku. Aku terus menangis terisak. Aku telah kehilangan konsentrasi dan aku diminta untuk lanjut menuliskan jawaban. Tentu saja yang bisa kulakukan saat itu hanya menangis. Aku menjadi semakin terpuruk, setelah kusadari seolah-olah tidak ada yang peduli denganku. Tutor itu kembali meraih tanganku dan memukulnya. Aku seketika runtuh. Sepintas aku melihat senyum sinis dari Tesa, seolah-olah dia menertawakanku. Aku terbelalak, Tesa adalah salah satu teman baikku di tempat kursus dan aku baru saja melihatnya menertawakanku. Aku menjadi sangat sedih dan semenjak kejadian hari ini, kepercayaanku kepada orang lain telah sirna. Aku nyaris tidak percaya dengan adanya orang-orang yang benar-benar tulus di dunia ini.


***


     “Ketika anda sudah siap, silakan membuka mata dan hadirkan kembali diri anda di ruangan ini”. Kalimat itu seketika membangunkanku. Aku terdiam sejenak untuk memahami apa yang baru saja kualami. Setelah beberapa saat, aku baru sadar saat ini aku sedang kuliah psikologi positif. Ternyata apa yang telah kualami tadi bukanlah mimpi melainkan perjalanan flashback ke masa lalu. Aku melihat beberapa temanku masih larut dengan perjalanan kalbunya dan sisanya telah membuka mata, sama sepertiku. Aku yakin mereka sama bingungnya dengan diriku. Aku masih tidak percaya beberapa saat yang lalu, aku telah melintasi lorong waktu jauh ke masa lalu.

     Aku masih bingung dengan apa yang kualami tadi siang di kelas. Seingatku dosen menyampaikan di awal kuliah, kalau kami akan didampingi untuk perjalanan kalbu, flashback ke masa lalu. Aku tidak menyangka penglihatanku begitu jelas. Aku bahkan tidak terpikirkan, saat ini aku telah tumbuh dewasa dan pengalaman yang telah kulalui tadi telah lama terjadi, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Di penghujung malam ini aku kembali merenungkan, nyatanya aku telah banyak berubah. Aku masih ingat karena kejadian itu aku tumbuh menjadi anak yang tertutup dan tidak memiliki banyak teman. Aku sering merasa gugup dan tidak percaya diri untuk tampil di depan umum. Aku menjadi begitu terhambat untuk mengembangkan diri. Aku selalu dibayang-bayangi rasa sakitnya dikhianati oleh orang yang dipercaya. Aku merasa orang yang kupercaya akan begitu mudah menyakitiku, karena mereka akan langsung menyentuh hatiku.

     Aku tidak menyesali apa pun dari masa lalu. Lagipula aku sudah berdamai dengan diri dan memaafkan apa yang terjadi sebelumnya. Aku sadar aku telah melakukan kesalahan pada diriku dengan membiarkan orang lain menyakitiku. Saat ini aku telah melepaskan semuanya. Aku bersyukur karena Tuhan mengarahkanku kuliah di psikologi. Aku banyak terfasilitasi selama kuliah untuk menemukan diriku yang sesungguhnya. Kini aku sadar, aku begitu istimewa dan berharga. Aku memiliki banyak potensi yang bisa aku kembangkan dari diriku. Aku tidak lagi punya alasan untuk terhambat mengembangkan diri karena ketakutanku. Lagipula saat ini aku telah membuka lembaran baru. Aku telah bertemu banyak orang dan aku menjadi memahami bahwa tidak semua orang seperti sahabatku di geng cantik atau tutor di tempat kursusku saat itu. Kini aku bahagia karena dikelilingi oleh supporting system yang tulus menyayangiku apa adanya.

     Ketakutanku masih ada di tempat yang sama. Dia tidak pernah hilang. Ketakutan yang telah kubesarkan selama ini karena banyak pengalaman tidak menyenangkan dari masa lalu.  Terakhir kali aku berhasil mengetahui namanya. Dia menyebut dirinya Kiki. Kiki berwujud awan hitam yang selalu ada di belakangku ke manapun aku pergi. Dia berjalan mengikuti derap langkah kakiku.  Kini aku dan Kiki merupakan sahabat yang sangat dekat. Ketika sahabat-sahabatku yang lain menghilang satu per satu seiring bertambahnya waktu, Kiki masih setia menemaniku hingga saat ini. Kami adalah sahabat yang tidak lekang oleh waktu. Kami tidak terpisahkan, di manapun aku berada, pasti Kiki juga ada di belakangku. Aku senang karena Kiki ingin mengalah. Dia tidak lagi menguasaiku. Aku kini bisa berkompromi dengannya. Bisa dibilang aku berhasil mengendalikannya. Aku telah berhasil menundukkan ketakutan terbesar dalam hidupku dan menjadi bersahabat dengannya.

     Hampir semua orang berusaha untuk menghilangkan ketakutan terbesar dalam hidup mereka. Namun aku sedikit berbeda. Aku justru menjadikan ketakutanku sebagai sahabatku. Aku terkadang berpikir bisa melepaskan Kiki suatu saat nanti, tapi bagaimanapun juga Kiki sudah merasuk ke dalam jiwaku dan menjadi bagian dari diriku. Lagipula aku menjadi diriku yang saat ini karena Kiki. Kiki atau ketakutanku telah banyak mengajarkan sesuatu kepadaku. Aku menjadi orang bijak dengan penuh pertimbangan, selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, lebih rendah hati, sabar, dan tangguh, semuanya karena ketakutan terbesar yang kumiliki. Jadi bagiku, ketakutan tidak perlu dihilangkan. Kita hanya perlu untuk memberanikan diri menghadapinya, berkenalan dengannya, kemudian menjadikannya sahabat. Dengan begitu, ketakutan akan dengan sendirinya patuh. Lagipula tanpa ketakutan, seseorang akan kehilangan dirinya layaknya seorang psikopat yang begitu egois dan tidak berperasaan.

     Aku meyakini setiap pertemuan akan diakhiri dengan perpisahan. Aku selalu siap menanti hari di mana ketika aku menoleh ke belakang, awan hitam yang menaungiku selama ini telah menurunkan hujannya. Ketakutan terbesarku akan sirna bersama hujan yang membasahi jiwaku. Hujan yang membersihkan sanubariku dari noda jiwa yang telah lama mengendap. Aku akan kehilangan Kiki dan sebagian dari jiwaku. Aku akui jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin terlepas dari ketakutan terbesar dalam hidupku. Aku ingin lepas dan hidup bebas. Aku akan selalu mencari cara untuk membebaskan Kiki dari wujudnya yang saat ini. Aku sadar ketika tiba saatnya nanti, mungkin aku menemukan diriku yang sedikit berbeda. Aku tetap optimis bisa menjalani hidup lebih baik tanpa sosok sahabat sejatiku yang selama ini selalu mengekor di belakangku. Aku meyakini melepaskan ketakutan terbesarku, bukan berarti melepaskan seluruh ketakutanku.

     Orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang diriku, selalu mungkin akan menilaiku sombong, cuek, tidak percaya diri, dan kurang menonjol. Mereka hanya tidak tahu perjalanan panjang yang telah kulalui untuk menaklukkan monster dalam diriku dan menjadikannya awan hitam yang meneduhkan. Satu hal yang kuyakini, semua ini merupakan cara Tuhan untuk melindungiku dari orang-orang yang munafik, sehingga hanya mereka yang tulus yang bisa mendekatiku.


Penulis: Afga Yudistikhar
Narasumber: Vanessa N. Pinarto

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.