Psikologi Kemerdekaan


Sebagai bangsa Indonesia, Agustus menjadi bulan yang istimewa. Pada bulan ini, sejarah terpenting bangsa Indonesia teringat kembali. Tujuh belas Agustus adalah hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamasikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka secara de facto dari praktik-praktik kolonialisme bangsa-bangsa lainnya.

Lalu setelah bangsa ini merdeka hingga 74 tahun lamanya, dan telah dipimpin oleh 7 presiden yang mana dua diantaranya telah dipilih langsung oleh rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum, apakah kita sudah merasakan kemerdekaan tersebut? Apakah kita telah merdeka sepenuhnya? Bagaimana kita memaknai kemerdekaan? Apakah merdeka hanya sekedar ‘kata’ untuk suatu bangsa? Kata yang tak dapat berwujud menjadi suatu keadaan?

Terlepas dari suatu bangsa merdeka atau tidak, setiap individu pada dasarnya mendambakan kemerdekaan sebagai perwujudan hak asasi manusianya. Hal inilah yang mendorong individu bergabung dalam kelompok-kelompok pergerakan untuk kemudian membuat kelompoknya merdeka sebab manusia memahami bahwa kemerdekaannya tak akan berarti tanpa kemerdekaan lingkungan yang melingkupinya. Meskipun suatu negara merdeka telah terbentuk, hal tersebut juga tidaklah menjamin bahwa seluruh rakyatnya telah merasakan kemerdekaan secara merata.

Konsep Psikologi terkait Kemerdekaan

Sebagai sebuah kondisi yang menjadi dambaan setiap orang, kemerdekaan juga dijelaskan dalam ilmu psikologi - ilmu yang mempelajari perilaku dan proses-proses mental individu. Terdapat beberapa konsep yang dikaitkan dengan kemerdekaan. Dalam perkembangan psikologi, dikenal aliran humanistik yang memberikan penekanan penting terhadap kebebasan seorang individu. Para penganut aliran yang dimotori oleh beberapa nama besar-seperti Abraham Maslow dan Carl Rogers- ini berpendapat bahwa manusia memiliki kualitas perilaku yang membedakannya dengan hewan [1]. Kualitas tersebut berupa adanya kehendak bebas (free will) dan potensi pertumbuhan pribadi yang melatarbelakangi perilaku dan proses-proses mentalnya[1]. Para humanis percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan mereka sendiri[1]. Maslow menyebutkan bahwa manusia terlahir baik dan terus berusaha untuk menuju aktualisasi diri, yaitu mencapai versi terbaik dirinya[2]. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu otonomi untuk mengatur kehidupannya.

Selanjutnya, terdapat pula konsep lain yang diturunkan dari konsep kehendak bebas, yaitu self-determination (determinasi diri). Determinasi diri adalah kemampuan ataupun proses dalam membuat keputusan sendiri dan mengontrol kehidupannya sendiri[3]. Teori Self-Determination (SDT) merupakan teori yang banyak diketahui terkait dengan determinasi diri yang menghubungkan kepribadian, motivasi manusia dan keberfungsian optimal. Berdasarkan teori ini, terdapat dua tipe utama motivasi manusia, yaitu intrinsik dan ektrinsik. Keduanya memberikan pengaruh yang kuat terhadap cara individu berperilaku atau memberikan respon. SDT berpusat pada kebutuhan psikologis dasar yaitu otonomi, kompetensi, dan keterhubungan[4], sehingga self-determination adalah bagian dari well-being, khususnya psychological well-being. Semua manusia tentunya merasa senang jika dirinya merasa bisa mengontrol kehidupannya sendiri.

Aliran psikologi humanistik ini juga menjadi inspirasi bagi berkembangnya cabang lain dari psikologi, yaitu psikologi positif. Psikologi positif adalah studi ilmiah tentang kekuatan-kekuatan karakter yang memungkinkan individu dan komunitas mencapai pertumbuhan, kebermaknaan, dan kesuksesan dalam hidup[5]. Penelitian-penelitian terdahulu terkait topik locus of control (lokus pengendalian) menyebutkan bahwa masyarakat akan berfungsi dengan lebih baik apabila mereka merasa dapat mengontrol kehidupannya[5]. Sementara itu, merasa tidak memiliki kontrol dihubungkan dengan depresi, ketidakberdayaan, perilaku destruktif, kekerasan dalam rumah tangga serta konsekuensi buruk lainnya[5].

Masyarakat yang Merdeka

Tidak cukup pada tingkat individu, kemerdekaan juga dilihat pada level masyarakat. Setiap individu tentu memiliki kemerdekaannya masing-masing. Namun, sebagai bagian dari sistem masyarakat, kemerdekaan itu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di luar dirinya. Faktor tersebut diantaranya adalah pengaruh sosial.

Apa yang membuat seseorang mematuhi pihak berwenang? Sebaliknya, apa yang membuat sebagian orang menjadi oposisi? Pertanyaan-pertanyaan ini dikaitkan dengan kebebasan sebagai warga negara, hingga kemudian mengarahkan pada pertanyaan seperti bagaimana membangun sebuah masyarakat yang merdeka? Apakah ada sebuah masyarakat yang merdeka? Kondisi sosial dan pribadi yang seperti apa yang dapat berkontribusi untuk membangun masyarakat yang lebih bebas?

Sebuah penelitian eksperimen fenomenal dilakukan oleh Stanley Milgram. Eksprimen ini bertujuan untuk menemukan bahwa pada kondisi lingkungan seperti apakah manusia biasa dapat dipengaruhi untuk menyebabkan bahaya terhadap orang lain. Bentuk eksperimennya adalah partisipan ditugaskan menjadi guru yang memberikan rangsangan listrik kepada pelajar ketika pelajar tidak menjawab pertanyaan dengan benar[2]. Hasilnya adalah 66% partisipan memberikan rangsangan yang mereka anggap maksimal sebesar 450 Voltz[2]. Subjek tidak tahu bahwa pelajar tersebut tidak kaget dengan adanya rangsangan listrik. Ketika eksperimenter mendesak subjek untuk memberikan rangsangan listrik, subjek menjadi frutasi bahkan sampai memberikan rangsangan yang memiliki tegangan yang besar. Meskipun eksperimen ini mendapat kritik terkait standar etik yang diberlakukan, eksperimen ini memberikan kontribusi terhadap perngembangan konsep obedience atau kepatuhan kepada pihak otoritas, yaitu faktor yang dapat memengaruhi kemerdekaan masyarakat.  
Selain eksperimen Milgram, eksperimen Philip Zimbardo juga menyita perhatian publik. Zimbardo mengatur ruang eksperimen sedemikian rupa sebagai sebuah penjara. Lalu, partisipan dibagi menjadi dua kelompok. Ada kelompok yang ditugaskan sebagai tahanan dan sekelompok lainnya sebagai sipir. Ekperimen ini terpaksa dihentikan pada hari keenam dikarenakan penjaga bertindak sadis kepada tahanan dan kekerasan pun tidak terelakkan. Ekperimen ini menunjukkan bahwa ternyata pemberian tugas dan peran tertentu dapat membuat perilaku individu berubah secara drastis[2]. Hal ini dapat menunjukkan bahwa peran sosial seseorang juga dapat memengaruhi kemerdekaan masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat, kita juga tak bisa memungkiri adanya konformitas atau kecenderungan untuk sama dengan kebanyakan orang. Hal ini juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi masyarakat merdeka. Asch menyimpulkan dari hasil eksperimennya bahwa pengaruh sosial yang normatif yang dihasilkan dari keinginan untuk memperoleh penerimaan sosial, lebih banyak memengaruhi perilaku individu daripada pengaruh sosial informatif[2]. Seorang individu kemungkinan akan cenderung mengikuti norma-norma yang berlaku dalam masyarakat meskipun hal tersebut belum didukung oleh fakta-fakta. Mungkin kita pernah merasa bahwa kita mengikuti apa yang kebanyakan orang lakukan dibandingkan apa yang diperoleh dari sumber-sumber terpercaya seperti jurnal penelitian dan perkataan para ahli.
Satu lagi konsep pengaruh sosial dalam ilmu psikologi, yaitu pemenuhan terhadap keinginan orang lain (compliance). Individu-individu dan kelompok memiliki keterampilan untuk meyakinkan orang lain agar mengikuti permintaannya . Selain kepatuhan, konsep ini dapat diterapkan pada persuasi politik para tokoh-tokoh pemegang kekuasaan dalam mengkampanyekan ide-ide mereka dan menggerakan masyarakat. Terdapat istilah Foot-in-the-door berkaitan dengan konsep ini, yaitu kecenderungan untuk memenuhi permintaan yang lebih besar apabila kita sudah memenuhi permintaan-permintaan kecil sebelumnya[2]. Hal ini bisa diterapkan oleh pihak yang meminta, untuk memengaruhi pihak yang dimintanya. Selain itu, adanya pemberian hadiah dapat membuat seseorang merasa wajib untuk mematuhi permintaan berikutnya (Reciprocity)[2]. Hal ini bisa saja terjadi pada peristiwa ‘suap-menyuap’ di kalangan elit pemerintahan.
Ketika kita memperhatikan kondisi suatu masyarakat, kita mungkin juga akan bertanya-tanya. Mengapa masyarakat menolak melakukan perubahan terhadap sistem, bahkan ketika sistem itu korupsi atau tidak adil? Bukankah masyarakat bebas tidak dapat dicapai, apalagi dipertahankan, kecuali orang-orang bersedia mempertanyakan otoritas yang menciptakan sistem tersebut. Mengapa banyak yang lebih menyukai status quo? Mengapa individu bertahan dalam sistem atau instansi tempat dirinya hidup (pemerintah, perusahaan, dan pernikahan), bahkan ketika orang lain menilainya akan gagal total? Berkaitan dengan semua pertanyaan ini, sebuah penelitian menjelaskan istilah ‘pembenaran sistem’ atau system justification[5], yang dapat membuat orang dan masyarakat tetap memperhatahankan kondisinya pada saat itu sebagaimana kondisi pada saat sebelumnya.

Kemerdekaan masyarakat juga tidak terlepas dari pemimpin dan orang-orang yang dipimpin. Kualitas kepribadian yang dapat memengaruhi kemerdekaan dalam masyarakat dari berbagai bentuk, adalah kepribadian otoriter dan konservatif. Selain itu, rasisme, dogmatism, serta pikiran yang tertutup juga menjadi faktor yang dapat menghambat suatu bangsa meraih kemerdekaannya[5].

Kemerdekaan yang Sesungguhnya?

Lantas seperti apakah makna kemerdekaan bagi kita? Apakah merdeka berarti bebas sebebas-bebasnya sesuai dengan kehendak kita? Bagaimana dengan kehidupan orang lain jika kita bebas untuk mencampurinya? Setidaknya terdapat dua hal yang digarisbawahi penulis dalam mendefinisikan kemerdekaan.

Secara umum, konsep kehendak bebas secara dekat dihubungkan dengan konsep tanggung jawab moral. Kita telah memahami bahwa kemerdekaan adalah hak sebagai individu. Selain itu, penelitian terkait dengan otonomi telah menemukan bahwa seseorang akan mencapai kesejahteraan psikologis apabila dirinya mampu mencapai beberapa indikator, salah satunya adalah otonomi dan perasaan mampu mengontrol diri dan kehidupannya. Meskipun demikian, ketika kita hidup di dunia ini sebagai makhluk yang berpikir dan bersosialisasi, kita seyogyanya memiliki kesadaran dan kecerdasan moral.

Kecerdasan moral dapat dipahami sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memproses informasi-informasi moral dan mengelola regulasi diri sedemikian rupa sehingga tujuan moral yang diinginkan dapat tercapai[6]. Seseorang yang cerdas secara moral adalah mereka yang memiliki keinginan untuk memperjuangkan tujuan-tujuan moral dan menggunakan prinsip-prinsip moral serta keterampilan mengatur diri sendiri dalam melakukan apa yang baik untuk masyarakat, manusia lainnya, ataupun makhluk hidup lainnya di luar manusia. Pengertian ini merupakan perluasan dari definisi awal Lennick dan Kiel tahun 2015 bahwa kecerdasan moral mengacu pada kapasitas untuk menerapkan standar moral universal pada nilai, tujuan, dan tindakan seseorang[6]. Dengan demikian, orang yang memiliki kesadaran dan kecerdasan moral akan dapat mengelola dirinya dalam bertindak sedemikian rupa untuk menunjukkan kemerdekannya, tanpa melanggar batas-batas orang lain dan senantiasa berlaku sesuai dengan standar moral yang adil dan bermanfaat bagi masyarakat dan makhluk hidup lainnya.

Selain itu, dalam menerapkan hak-hak kemerdekaan dalam suatu masyarakat, diperlukan suatu pagar yang dapat membatasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat kesewenang-wenangan ataupun mencegah terjadinya kecenderungan melanggar hak asasi manusia. Masyarakat yang merdeka perlu untuk membuat aturan-aturan hukum yang berlaku untuk semua individu yang ada dalam lingkup masyarakat yang merdeka. Tanpa hukum, kita tidak bisa mencapai masyarakat yang merdeka sesungguhnya. Mungkin, sebagai individu, seseorang bisa saja merdeka. Namun, bertemunya orang-orang merdeka perlu dipagari dengan hukum yang adil agar tercipta sistem yang mendukung kemerdekaan tersebut.

Sebagai penutup, kemerdekaan adalah hak setiap individu serta menjadi hak setiap bangsa. Diperlukan kesadaran dan kecerdasan moral setiap individu untuk dapat memaknai dan menerapkan kemerdekannya itu. Diperlukan hukum dalam suatu negara untuk mengatur warga -warganya dalam menjalankan kemerdekannya tersebut.

Selamat memaknai kemerdekaan. Dirgahayu Republik Indonesiaku.

Editor: Syurawasti Muhiddin
 




Referensi:

1.     Maitland, L.L. (2010). 5 Steps to A (5) AP Psychology. Chapter History and Approaches. New York: The McGraw-Hill


2.     Maitland, L.L. (2010). 5 Steps to A (5) AP Psychology. Chapter Social Psychology. New York: The McGraw-Hill

3.     Legault, L. (2017). Self-Determination Theory. Diakses dari: https://www.researchgate.net/publication/317690916_Self-Determination_Theory. DOI. 10.1007/978-3-319-28099-8_1162-1

4.     Ackerman, C. (2019). Self-Determination Theory of Motivation: Why Intrinsic Motivation Matters. Diakses dari: https://positivepsychology.com/self-determination-theory/

5.     Presley, S. (2015). The Psychology of Freedom: An Introduction. Diakses dari: https://www.libertarianism.org/columns/psychology-freedom-introduction

6.     Tanner, C. & Christen, M. (2013). Moral Intelligence – A Framework for Understanding Moral Competences. Empirically Informed Ethics. Diakses dari: https://www.researchgate.net/publication/259532302_Moral_Intelligence_-_A_Framework_for_Understanding_Moral_Competences.

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.