Artikel
Psikologi Kemerdekaan

Lalu setelah bangsa ini merdeka hingga 74 tahun
lamanya, dan telah dipimpin oleh 7 presiden yang mana dua diantaranya telah
dipilih langsung oleh rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum, apakah kita
sudah merasakan kemerdekaan tersebut? Apakah kita telah merdeka sepenuhnya?
Bagaimana kita memaknai kemerdekaan? Apakah merdeka hanya sekedar ‘kata’ untuk suatu
bangsa? Kata yang tak dapat berwujud menjadi suatu keadaan?
Terlepas dari suatu bangsa merdeka atau tidak, setiap
individu pada dasarnya mendambakan kemerdekaan sebagai perwujudan hak asasi
manusianya. Hal inilah yang mendorong individu bergabung dalam
kelompok-kelompok pergerakan untuk kemudian membuat kelompoknya merdeka sebab manusia
memahami bahwa kemerdekaannya tak akan berarti tanpa kemerdekaan lingkungan
yang melingkupinya. Meskipun suatu negara merdeka telah terbentuk, hal tersebut
juga tidaklah menjamin bahwa seluruh rakyatnya telah merasakan kemerdekaan
secara merata.
Konsep Psikologi terkait Kemerdekaan
Sebagai sebuah kondisi yang menjadi dambaan setiap
orang, kemerdekaan juga dijelaskan dalam ilmu psikologi - ilmu yang mempelajari
perilaku dan proses-proses mental individu. Terdapat beberapa konsep yang
dikaitkan dengan kemerdekaan. Dalam perkembangan psikologi, dikenal aliran
humanistik yang memberikan penekanan penting terhadap kebebasan seorang
individu. Para penganut aliran yang dimotori oleh beberapa nama besar-seperti
Abraham Maslow dan Carl Rogers- ini berpendapat bahwa manusia memiliki kualitas
perilaku yang membedakannya dengan hewan [1]. Kualitas tersebut berupa
adanya kehendak bebas (free will) dan potensi pertumbuhan pribadi yang
melatarbelakangi perilaku dan proses-proses mentalnya[1]. Para
humanis percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan mereka sendiri[1]. Maslow menyebutkan
bahwa manusia terlahir baik dan terus berusaha untuk menuju aktualisasi diri,
yaitu mencapai versi terbaik dirinya[2]. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu otonomi untuk mengatur kehidupannya.
Selanjutnya, terdapat pula konsep lain yang diturunkan
dari konsep kehendak bebas, yaitu self-determination (determinasi diri).
Determinasi diri adalah kemampuan ataupun proses dalam membuat keputusan
sendiri dan mengontrol kehidupannya sendiri[3]. Teori Self-Determination
(SDT) merupakan teori yang banyak diketahui terkait dengan determinasi diri
yang menghubungkan kepribadian, motivasi manusia dan keberfungsian optimal.
Berdasarkan teori ini, terdapat dua tipe utama motivasi manusia, yaitu intrinsik
dan ektrinsik. Keduanya memberikan pengaruh yang kuat terhadap cara individu
berperilaku atau memberikan respon. SDT berpusat pada kebutuhan psikologis
dasar yaitu otonomi, kompetensi, dan keterhubungan[4], sehingga self-determination
adalah bagian dari well-being, khususnya psychological well-being.
Semua manusia tentunya merasa senang jika dirinya merasa bisa mengontrol
kehidupannya sendiri.
Aliran psikologi humanistik ini juga menjadi inspirasi
bagi berkembangnya cabang lain dari psikologi, yaitu psikologi positif. Psikologi
positif adalah studi ilmiah tentang kekuatan-kekuatan karakter yang memungkinkan
individu dan komunitas mencapai pertumbuhan, kebermaknaan, dan kesuksesan dalam
hidup[5]. Penelitian-penelitian terdahulu terkait topik locus of
control (lokus pengendalian) menyebutkan bahwa masyarakat akan berfungsi
dengan lebih baik apabila mereka merasa dapat mengontrol kehidupannya[5].
Sementara itu, merasa tidak memiliki kontrol dihubungkan dengan depresi,
ketidakberdayaan, perilaku destruktif, kekerasan dalam rumah tangga serta
konsekuensi buruk lainnya[5].
Masyarakat yang Merdeka
Tidak cukup pada tingkat individu, kemerdekaan juga
dilihat pada level masyarakat. Setiap individu tentu memiliki kemerdekaannya
masing-masing. Namun, sebagai bagian dari sistem masyarakat, kemerdekaan itu
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di luar dirinya. Faktor tersebut diantaranya
adalah pengaruh sosial.
Apa yang membuat seseorang mematuhi pihak berwenang?
Sebaliknya, apa yang membuat sebagian orang menjadi oposisi?
Pertanyaan-pertanyaan ini dikaitkan dengan kebebasan sebagai warga negara,
hingga kemudian mengarahkan pada pertanyaan seperti bagaimana membangun sebuah
masyarakat yang merdeka? Apakah ada sebuah masyarakat yang merdeka? Kondisi
sosial dan pribadi yang seperti apa yang dapat berkontribusi untuk membangun
masyarakat yang lebih bebas?
Sebuah
penelitian eksperimen fenomenal dilakukan oleh Stanley
Milgram. Eksprimen ini bertujuan untuk menemukan bahwa pada kondisi lingkungan
seperti apakah manusia biasa dapat dipengaruhi untuk menyebabkan bahaya
terhadap orang lain. Bentuk eksperimennya adalah partisipan ditugaskan menjadi
guru yang memberikan rangsangan listrik kepada pelajar ketika pelajar tidak
menjawab pertanyaan dengan benar[2]. Hasilnya adalah 66% partisipan
memberikan rangsangan yang mereka anggap maksimal sebesar 450 Voltz[2].
Subjek tidak tahu bahwa pelajar tersebut tidak kaget dengan adanya rangsangan
listrik. Ketika eksperimenter mendesak subjek untuk memberikan rangsangan
listrik, subjek menjadi frutasi bahkan sampai memberikan rangsangan yang
memiliki tegangan yang besar. Meskipun eksperimen ini mendapat kritik terkait
standar etik yang diberlakukan, eksperimen ini memberikan kontribusi terhadap
perngembangan konsep obedience atau kepatuhan kepada pihak otoritas,
yaitu faktor yang dapat memengaruhi kemerdekaan masyarakat.
Selain
eksperimen Milgram, eksperimen Philip Zimbardo juga menyita perhatian publik.
Zimbardo mengatur ruang eksperimen sedemikian rupa sebagai sebuah penjara. Lalu,
partisipan dibagi menjadi dua kelompok. Ada kelompok yang ditugaskan sebagai
tahanan dan sekelompok lainnya sebagai sipir. Ekperimen ini terpaksa dihentikan
pada hari keenam dikarenakan penjaga bertindak sadis kepada tahanan dan
kekerasan pun tidak terelakkan. Ekperimen ini menunjukkan bahwa ternyata
pemberian tugas dan peran tertentu dapat membuat perilaku individu berubah
secara drastis[2]. Hal ini dapat menunjukkan bahwa peran sosial
seseorang juga dapat memengaruhi kemerdekaan masyarakat.
Dalam
kehidupan masyarakat, kita juga tak bisa memungkiri adanya konformitas atau
kecenderungan untuk sama dengan kebanyakan orang. Hal ini juga dapat menjadi
faktor yang memengaruhi masyarakat merdeka. Asch menyimpulkan dari hasil
eksperimennya bahwa pengaruh sosial yang normatif yang dihasilkan dari
keinginan untuk memperoleh penerimaan sosial, lebih banyak memengaruhi perilaku
individu daripada pengaruh sosial informatif[2]. Seorang individu
kemungkinan akan cenderung mengikuti norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
meskipun hal tersebut belum didukung oleh fakta-fakta. Mungkin kita pernah
merasa bahwa kita mengikuti apa yang kebanyakan orang lakukan dibandingkan apa
yang diperoleh dari sumber-sumber terpercaya seperti jurnal penelitian dan
perkataan para ahli.
Satu
lagi konsep pengaruh sosial dalam ilmu psikologi, yaitu pemenuhan terhadap
keinginan orang lain (compliance). Individu-individu dan kelompok
memiliki keterampilan untuk meyakinkan orang lain agar mengikuti permintaannya
. Selain kepatuhan, konsep ini dapat diterapkan pada persuasi politik
para tokoh-tokoh pemegang kekuasaan dalam mengkampanyekan ide-ide mereka dan
menggerakan masyarakat. Terdapat istilah Foot-in-the-door berkaitan
dengan konsep ini, yaitu kecenderungan untuk memenuhi permintaan yang lebih
besar apabila kita sudah memenuhi permintaan-permintaan kecil sebelumnya[2].
Hal ini bisa diterapkan oleh pihak yang meminta, untuk memengaruhi pihak yang
dimintanya. Selain itu, adanya pemberian hadiah dapat membuat seseorang merasa
wajib untuk mematuhi permintaan berikutnya (Reciprocity)[2].
Hal ini bisa saja terjadi pada peristiwa ‘suap-menyuap’ di kalangan elit
pemerintahan.
Ketika
kita memperhatikan kondisi suatu masyarakat, kita mungkin juga akan
bertanya-tanya. Mengapa masyarakat menolak melakukan perubahan terhadap sistem,
bahkan ketika sistem itu korupsi atau tidak adil? Bukankah masyarakat bebas tidak dapat dicapai, apalagi
dipertahankan, kecuali orang-orang bersedia mempertanyakan otoritas yang
menciptakan sistem tersebut. Mengapa banyak yang lebih menyukai status quo?
Mengapa individu bertahan dalam sistem atau instansi tempat dirinya hidup
(pemerintah, perusahaan, dan pernikahan), bahkan ketika orang lain menilainya
akan gagal total? Berkaitan dengan semua pertanyaan ini, sebuah penelitian
menjelaskan istilah ‘pembenaran sistem’ atau system justification[5],
yang dapat membuat orang dan masyarakat tetap memperhatahankan kondisinya pada
saat itu sebagaimana kondisi pada saat sebelumnya.
Kemerdekaan masyarakat juga tidak terlepas dari
pemimpin dan orang-orang yang dipimpin. Kualitas kepribadian yang dapat
memengaruhi kemerdekaan dalam masyarakat dari berbagai bentuk, adalah
kepribadian otoriter dan konservatif. Selain itu, rasisme, dogmatism, serta
pikiran yang tertutup juga menjadi faktor yang dapat menghambat suatu bangsa
meraih kemerdekaannya[5].
Kemerdekaan yang Sesungguhnya?
Lantas seperti apakah makna kemerdekaan bagi kita?
Apakah merdeka berarti bebas sebebas-bebasnya sesuai dengan kehendak kita?
Bagaimana dengan kehidupan orang lain jika kita bebas untuk mencampurinya?
Setidaknya terdapat dua hal yang digarisbawahi penulis dalam mendefinisikan
kemerdekaan.
Secara umum, konsep kehendak bebas secara dekat
dihubungkan dengan konsep tanggung jawab moral. Kita telah memahami bahwa kemerdekaan
adalah hak sebagai individu. Selain itu, penelitian terkait dengan otonomi
telah menemukan bahwa seseorang akan mencapai kesejahteraan psikologis apabila
dirinya mampu mencapai beberapa indikator, salah satunya adalah otonomi dan
perasaan mampu mengontrol diri dan kehidupannya. Meskipun demikian, ketika kita
hidup di dunia ini sebagai makhluk yang berpikir dan bersosialisasi, kita
seyogyanya memiliki kesadaran dan kecerdasan moral.
Kecerdasan moral dapat dipahami sebagai kemampuan yang
dimiliki seseorang untuk memproses informasi-informasi moral dan mengelola
regulasi diri sedemikian rupa sehingga tujuan moral yang diinginkan dapat
tercapai[6]. Seseorang yang cerdas secara moral adalah mereka yang
memiliki keinginan untuk memperjuangkan tujuan-tujuan moral dan menggunakan
prinsip-prinsip moral serta keterampilan mengatur diri sendiri dalam melakukan
apa yang baik untuk masyarakat, manusia lainnya, ataupun makhluk hidup lainnya di
luar manusia. Pengertian ini merupakan perluasan dari definisi awal Lennick dan
Kiel tahun 2015 bahwa kecerdasan moral mengacu pada kapasitas untuk menerapkan standar
moral universal pada nilai, tujuan, dan tindakan seseorang[6].
Dengan demikian, orang yang memiliki kesadaran dan kecerdasan moral akan dapat
mengelola dirinya dalam bertindak sedemikian rupa untuk menunjukkan
kemerdekannya, tanpa melanggar batas-batas orang lain dan senantiasa berlaku
sesuai dengan standar moral yang adil dan bermanfaat bagi masyarakat dan
makhluk hidup lainnya.
Selain itu, dalam menerapkan hak-hak kemerdekaan dalam
suatu masyarakat, diperlukan suatu pagar yang dapat membatasi pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi akibat kesewenang-wenangan ataupun mencegah terjadinya
kecenderungan melanggar hak asasi manusia. Masyarakat yang merdeka perlu untuk
membuat aturan-aturan hukum yang berlaku untuk semua individu yang ada dalam
lingkup masyarakat yang merdeka. Tanpa hukum, kita tidak bisa mencapai
masyarakat yang merdeka sesungguhnya. Mungkin, sebagai individu, seseorang bisa
saja merdeka. Namun, bertemunya orang-orang merdeka perlu dipagari dengan hukum
yang adil agar tercipta sistem yang mendukung kemerdekaan tersebut.
Sebagai penutup, kemerdekaan adalah hak setiap
individu serta menjadi hak setiap bangsa. Diperlukan kesadaran dan kecerdasan
moral setiap individu untuk dapat memaknai dan menerapkan kemerdekannya itu.
Diperlukan hukum dalam suatu negara untuk mengatur warga -warganya dalam
menjalankan kemerdekannya tersebut.
Selamat memaknai kemerdekaan. Dirgahayu Republik
Indonesiaku.
Editor: Syurawasti Muhiddin
Referensi:
1. Maitland, L.L. (2010). 5 Steps to A (5) AP Psychology. Chapter History and Approaches. New York: The McGraw-Hill
2. Maitland, L.L. (2010). 5 Steps to A (5) AP Psychology. Chapter Social Psychology. New York: The McGraw-Hill
3. Legault, L. (2017). Self-Determination Theory. Diakses dari: https://www.researchgate.net/publication/317690916_Self-Determination_Theory. DOI. 10.1007/978-3-319-28099-8_1162-1
4. Ackerman, C. (2019). Self-Determination Theory of Motivation: Why Intrinsic Motivation Matters. Diakses dari: https://positivepsychology.com/self-determination-theory/
5. Presley, S. (2015). The Psychology of Freedom: An Introduction. Diakses dari: https://www.libertarianism.org/columns/psychology-freedom-introduction
6. Tanner, C. & Christen, M. (2013). Moral Intelligence – A Framework for Understanding Moral Competences. Empirically Informed Ethics. Diakses dari: https://www.researchgate.net/publication/259532302_Moral_Intelligence_-_A_Framework_for_Understanding_Moral_Competences.
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.