Bertahan Dalam Badai


Halo. Perkenalkan, namaku Muhammad Bintang Akbar. Kalian bisa memanggilku Bintang, Bin, atau Tang, atau keseluruhan nama tengahku. Aku lahir di Bantul, Yogyakarta 22 tahun silam. Sekarang sedang menempuh S1 Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, doakan saja dipertengahan tahun 2020 ini aku yudisium kelulusan. Kegiatanku selain berkuliah adalah berkelana di beberapa komunitas seperti tim forum taman bacaan masyarakat hingga tim narasi sebuah museum milik salah satu organisasi Islam di Indonesia.
                Pada kesempatan kali ini, aku ingin berbagi cerita tentang pengalamanku yang mungkin sedikit banyak akan bisa membantu teman-teman. Didasari keinginan sendiri dan dikejar oleh Mbak Anggun Kusumawardhani (kakak tingkat waktu kuliah tapi beda jurusan), maka aku akan mulai bercerita. Nah, pengalamanku kali ini adalah bagaimana keluar dari jerat lingkungan yang toxic. Ini jangan dibayangkan salah satu lingkungan saja ya, aku benar-benar mengalami hidup di lingkungan toxic mulai dari lingkungan keluarga, pertemanan, hingga lingkungan masyarakat. Kalau ditanya gimana rasanya, ya jelas menantang sekaligus tidak mengenakkan. Tapi aku selalu ingat sebuah pepatah bahwa “musuh yang tidak mematikan justru menguatkan”, sehingga hingga detik ini aku dapat berdiri tegak walaupun beberapa kali terjatuh.
                Aku lahir dari pasangan seorang ayah yang berkuliah di Pendidikan Luar Biasa dan seorang ibu yang berkuliah dan menjadi guru bidang Pendidikan Luar Biasa. Meski begitu, ayahku pada akhirnya memilih jalan berwirausaha sebagai mata pencaharian dan pengembangan kemampuannya, sedangkan ibu sendiri selain menjadi guru, juga aktif di kegiatan yang berkaitan dengan inklusivitas. Setidaknya kedua orang tuaku memiliki pengetahuan psikologis yang sedikit banyak membantu dalam membesarkan anak-anaknya kelak.
                Cerita pengalamanku kali ini akan kubagi menjadi tiga bagian dalam menghadapi lingkungan yang toxic yaitu dari keluarga/saudara dan tetangga/tempat tinggal. Memang sih akan menjadi cerita yang lumayan panjang namun setidaknya bisa sedikit berbagi hal yang bisa saling memberi pelajaran bagi kita semua. Semua dimulai dari masa kecilku.
                Aku lahir sebagai anak yang introvert dan cenderung mendapatkan perilaku over-protective. Nenekku benar-benar membatasi gerak dan interaksiku dengan dalih kasih sayang walau terkadang aku juga merasa terkekang tetapi tidak enak hati untuk menolak. Aku masih teringat ketika anak-anak seusiaku mengadakan acara seperti ulang tahun atau sekedar bermain bersama, perasaanku seakan tidak tenang berada di keramaian seperti itu. Akan tetapi sedikit demi sedikit berubah dengan treatment yang diberikan oleh orang tuaku.
                Treatment yang dilakukan orang tua ku diantaranya adalah sering mengajak aku untuk keluar baik sekedar berinteraksi dengan tetangga yang heterogen (Tionghoa, non muslim, dsb) hingga ke acara-acara mereka seperti pernikahan dan workshop. Ibu pun juga mengenalkan ku dengan dunianya melalui mengajakku ke sekolah SLB tempatnya mengajar sehingga aku mengetahui bahwa ada kawan-kawan yang memiliki kebutuhan khusus. Tak lupa juga aku sering menjemput ibu bersama bapak ketika ibu masih menempuh S2 di kampus yang sama denganku.
                Di keluarga besarku, rata-rata mereka memahami keagamaan sebagai hal yang dogmatis dan teoritis. Jadi paham kan bagaimana suasana yang terbangun di keluargaku? Semua hal yang dikaji secara letterlicjk (harfiah), tekstual dan kontekstual sering dianggap tidak tepat. Satu contoh konkret saja, ketika keluarga kami ‘diserang’ maka kami memilih untuk mendiamkan dan “menghibur diri” atau sekedar “mencari pembenaran” dengan kalimat seperti sabar, iklas, dan sebagainya. Meski orang tua sangat membebaskan aku untuk mengkaji berbagai pandangan keagamaan, tapi kalau sudah berhadapan dengan keluarga besar, ya memilih nurut tapi gak dilaksanakan atau sekedar diam untuk menjaga persaudaraan.
                Untuk menghadapi masalah ini, aku justru mencari pelarian dengan membaca kajian keagamaan tetapi dalam tema progresif atau liberal. Tak tanggung-tanggung, aku pun mendapatkan banyak pengetahuan untuk sekedar berbagi pengetahuan yang lain kepada saudara-saudaraku. Ya walaupun pada akhirnya aku dikatakan akan rusak aqidahnya tapi bagiku tidak masalah karena hidup pasti akan lebih berwarna jika ada silang pendapat dalam pengetahuan.
                Mungkin juga bisa jadi hal itu dikarenakan posisi keluarga besarku yang sifatnya berada ‘ditengah’, tidak di atas dan tidak pula di bawah, membuat mereka merasa nyaman dengan keadaan yang ada sehingga tidak perlu bergerak kemana-mana. Dampak dari pandangan tersebut terlihat dari sikap-sikap menghadapi keadaan seperti tetap bersaudara dengan saudara jahat, atau tetap bertetangga dengan tetangga jahat. Apabila diserang dengan fitnah, ya dibiarkan tanpa klarifikasi.
                Situasi ini kuakali dengan solusi mengurangi interaksi dengan mereka. Aku berinteraksi sebutuhnya saja, tak perlu bermanis-manis dan tak perlu memanjangkan obrolan. Bertemu jika penting saja dan ketika lebaran tiba, aku memilih bersilaturahmi sendiri dengan motor. Obrolan seperlunya, masalah kelar. Mengapa demikian? Karena ketika mereka mulai membuka forum dan aku mengajukan pendapat yang berbeda, maka pada akhirnya aku tetap dianggap salah. Perlawanan cantik yang kulakukan adalah ketika orang tua ku tidak diajak menjadi among tamu di pernikahan saudara, maka kuberikan mereka tiga karangan bunga atas namaku, atas nama ayahku, dan atas nama ibuku. Pukulan telak tanpa melakukan kekerasan.
                Kemudian kita bahas tetanggaku. Walaupun aku baik dengan sebagian besar tetanggaku, tetapi hidup bertetangga dengan saudara itu sebenarnya bukan opsi yang baik. Mengapa bisa demikian? Saat saudara berkumpul dalam satu lingkungan tempat tinggal, maka justru konflik yang ditimbulkan. Misalnya begini, iri dengan apa yang didapatkan saudara itu menjadi api dalam sekam. Tinggal menunggu kapan terbakarnya. Apalagi sehari-hari sering bertemu, ya jelas di depan mata dong.
                Akhirnya konflik pun berkembang jadi kemana-mana. Pak RT di lingkungan rumahku masih memiliki hubungan saudara dengan keluarga kami, dan sayangnya dialah menjadi pembuat masalah pertama. Menyebarkan gosip, membuat fitnah, hingga menjerumuskan keluarga kami dalam hiruk-pikuk bahtera dalam badai. Serangan dari mimbar agama pun tak luput mengguncang kami, ayat-ayat dipotong-potong, hadist-hadist di pas-pas kan, semua itu untuk menyerang kami terutama di pengajian atau di kajian bulan Ramadhan seperti kultum tarawih dan sebagainya. Ditambah lagi ada seorang tokoh masyarakat yang kaya raya dan memiliki kuasa menopang usaha Pak RT tersebut.
                Dampaknya jelas, tetangga yang die hard dengan Pak RT dan si tokoh masyarakat pun memilih untuk berkubu dengan mereka. Tetangga yang ragu-ragu juga terpaksa merapat karena keadaan mereka secara sosial-ekonomi berada dibawah Pak RT dan si tokoh masyarakat. Ada juga yang merapat karena Pak RT dan si tokoh masyarakat di pandang sebagai Guardian of Religion. Kejadian lucu pun terjadi seperti tetangga-tetangga banyak yang berpikir dua kali untuk terlihat akrab dengan keluargaku, apalagi mengunjungi rumahku. Namun tetangga yang memiliki prinsip, tetap menunjukkan etika baik terhadap keluargaku dan tetap santai mengunjungi rumahku.
                Cara menghadapinya pun sebenarnya sederhana tapi memang sulit dilakukan untuk yang masih ragu-ragu. Bisa dengan aktif di kegiatan luar dan mengurangi atau menghentikan segala kegiatan bersama mereka, dalam hal ini tetangga-tetanggaku yang tadi. Memang sih akan banyak omongan dari mereka, namun lebih baik demikian karena kebahagiaan hati, ketenangan perasaan, dan akal sehat kita lebih utama. Aku dan keluargaku sadar bahwa kami memang harus melepas suatu hal untuk mendapatkan hal yang lebih baik. Ya itulah saran dari orang yang rumahnya langsung di pinggir jalan raya, sehingga tak akan ada interaksi berlebih dengan tetangga toxic.
                Lantas, di mana aku merasa jatuh? Jatuhnya bukan karena mereka-mereka tetapi lebih kepada usahaku untuk melawan dan melindungi keluarga kecilku justru tidak mendapatkan dukungan dari keluarga besar. Aku sering disalahkan dengan dalih dogma agama dan dituduh macam-macam karena tidak membalas keburukan dengan kebaikan. Orang tuaku awalnya memang seperti keluarga besar, namun lambat laun karena merasakan sendiri tekanan itu, maka sedikit-demi sedikit merekapun berubah. Akhirnya, ketika aku “berulah” untuk membalas saudara jahat dan tetangga jahat, maka orang tuaku hanya pura-pura tidak tahu tetapi menyetujui tindakanku.
                Itulah sedikit cerita yang bisa kubagikan kepada kalian. Apapun keadaan kalian, harus dihadapi semampu kalian. Jangan karena ceritaku, kalian terus mengikuti apa yang kulakukan disaat tindakan itu tidak tepat. Menyerah dan pasrah bukan selalu bisa dijadikan jalan keluar, dan terkadang melawan adalah hal yang diperlukan, asalkan kita berani menanggung resiko dan konsekuensinya. Semangat untuk terus maju teman-teman. Badai memang tidak akan pernah berhenti berhembus selama kita masih hidup, namun kita juga tidak berhenti untuk semakin kuat dalam menghadapinya.



Editor: Retno Pratiwi (tim Editor Halo Jiwa)

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.