Sastra
Aku Tak Lagi Butuh Resolusi: Ketika Melepas Tuntutan Menjadi Awal dari Segalanya
oleh Arifa Nourma
“You don’t have to know where you are going to be headed
in the right
direction.”
-Christian
Bosse-
Hari ini adalah hari Senin, tanggal 27 Januari 2019.
Maksudku, 2020.
Tak terasa
sudah setahun berlalu semenjak kelulusanku dari bangku perkuliahan. Tahun lalu
menyimpan begitu banyak kenangan—pahit dan manis—, pun sama halnya dengan
tahun-tahun sebelumnya. Ketika melihat ke belakang, terkadang aku tersenyum
simpul mengingat berbagai peristiwa yang berlangsung selama hidupku. Banyak hal
yang memang kuinginkan terjadi, namun di sisi lain ingatan akan segala sesuatu
yang terjadi di luar dugaan selama ini nyatanya terasa lebih kuat.
Satu hal
yang aku sadari, selama ini aku—dan mungkin kebanyakan orang pada umumnya—
menjalani hidup layaknya menyalakan batang-batang lilin. Lilin baru yang
dibakar di awal lama-lama habis di penghujung tahun untuk kemudian diganti
dengan lilin-lilin yang baru di tahun berikutnya. Hal ini sepadan dengan hidup
berpedoman pada resolusi-resolusi yang kita buat setiap tahunnya.
Apakah
semua orang hidup berdasarkan resolusi yang dibuatnya? Bisa jadi, karena akupun
berusaha demikian—sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk berhenti mengejar “mimpi-mimpi”
ku.
Resolusi
sendiri bagiku merupakan sebuah kata dengan makna yang cukup unik. Apabila dilihat
dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam jaringan/daring), definisi resolusi
adalah “putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang
ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang)”. Selain itu, resolusi juga
diartikan sebagai “pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu
hal”. Belum lagi jika dilihat dari konteks lain, resolusi memiliki berbagai
macam artian. Sedangkan jika kita merujuk pada kamus daring Lexico (mengacu pada kamus Bahasa
Inggris Oxford), resolusi didefinisikan sebagai keputusan kuat untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu—satu pengertian yang mungkin paling bersahabat di
telinga kita dibandingkan dengan kawan-kawannya yang lain.
Seakan
hadir beriringan bersama momentum tahun baru, resolusi lahir sebagai bentuk
pengharapan pada awal yang lebih baik. Seakan waktu yang telah berlalu dapat
disetel ulang kembali; apapun yang telah terjadi, kita yakin akan adanya
kesempatan baru yang muncul, pun dengan asa yang bertumbuh untuk kita kembali
mengukir mimpi.
Aku masih
ingat dengan jelas resolusi-resolusi yang aku tuliskan di secarik kertas
robekan buku sketsa. “Tes TOEFL, bikin passport,
dapat kerjaan, baca 1 buku per bulan, beli buku tiap 3 bulan sekali, persiapan
cari beasiswa” adalah rentetan keinginan yang aku goreskan di atasnya. Kertas
putih nan tebal yang hanya seukuran kertas A5 itu tak ayal menjadi pedomanku
dalam menjalani hidup selama dua belas bulan kedepan.
Aku pun
masih ingat kegigihanku di awal tahun 2019 dalam menjalani hidup sebagai seorang
mahasiswi yang baru saja lulus dari perguruan tinggi. Karena memang targetku
kala itu adalah menyongsong beasiswa-beasiswa ke luar negeri, aku tidak terlalu
berambisi dalam mencari pekerjaan. Dengan berbekal resolusi dan keyakinan yang
kuat, aku memfokuskan diri pada pekerjaan-pekerjaan sambilan yang mendatangkan
pundi rupiah untuk bekal mengambil tes TOEFL resmi, membuat paspor, dan
mengurus berkas-berkas beasiswa. Aku pun menjadi tutor, instruktur, dan guru
Bahasa Inggris, baik secara privat maupun dalam lingkup lembaga bimbingan
belajar. Sambil mendaftar pekerjaan yang memang sesuai dengan expertise-ku, aku memperbanyak
pengalaman mengajar demi memenuhi persyaratan untuk mendaftar salah satu
beasiswa bergengsi dari pemerintah. Aku juga mengikuti kegiatan kerelawanan di
Resolusi
yang kubuat atas dasar keyakinanku untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi nyatanya mengantarkanku pada hidup yang penuh dengan semangat
juang. Puncaknya adalah pertengahan tahun lalu dimana aku akhirnya mendapatkan
pekerjaan tetap dengan gaji yang sangat memadai. Selain itu, di waktu yang
bersamaan aku juga mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan yang
diselenggarakan oleh salah satu direktorat jenderal kementrian. Pekerjaan dan
pengalaman baru yang begitu berkesan justru aku peroleh di luar rencanaku;
ajaibnya, semuanya membantuku dalam membangun profil diri yang lebih prospek sebagai
calon penerima beasiswa yang selalu aku impi-impikan. Apakah semua ini peran
dari resolusi yang aku buat? Bisa jadi memang demikian.
Sayang
seribu sayang. Layaknya kisah dongeng yang mulai kehilangan pesona
keajaibannya, hidupku yang kupikir sudah mulai terarah bergerak menuju impian
dan ambisi besarku, perlahan runtuh. Hadir sesosok lelaki dalam hidupku yang
entah bagaimana mulanya kini mengalihkan perhatianku serta mengombang-ambingkan
perasaanku. Aku yang semula fokus pada harapan-harapanku sedikit demi sedikit
melupakannya dan lebih memilih untuk mencari kesenangan semata. Namun bukan itu
penyebab utamanya. Setelah beberapa bulan berlalu, terciumlah permasalahan
dalam perusahaan tempatku bekerja. Hingga pada bulan Oktober, aku dan ketiga
temanku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan kami lantaran kondisi
kantor yang tidak lagi “sehat”. Pukulan demi pukulan menghantam lambung bahtera
pengharapanku hingga akhirnya tenggelam bersama dengan puing-puingnya ke dasar
laut yang dalam.
Pada momen
inilah lilin yang dulu kunyalakan—yang pada mulanya apinya berkobar-kobar—
mulai mengerdil dan cahayanya meredup. Selepas resign aku seakan kehilangan semangat untuk melakukan apapun.
Depresiku yang sempat muncul di tahun sebelumnya, kini keluar lagi ke
permukaan. Tak kusangka jika efek keluar dari pekerjaan yang nyaman secara
finansial namun dengan lingkungan yang penuh dengan toxicity ternyata bisa semengerikan ini. Tak ada lagi impian dan
harapan, semuanya sirna bersama matahari yang tenggelam, menyatu dengan
gelapnya malam. Pencapaianku di tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya pun seakan
lenyap ditelan bumi. Bagai seorang musafir yang tersesat, aku diserang rasa
panik dan kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih. Alhasil, aku berkahir
mengajar di sekolah dasar, hal yang sedari dulu aku hindari karena jujur saja,
aku tidak pandai menghadapi anak-anak dengan segala dinamikanya. Keputusan ini
pun kubuat karena aku tergesa-gesa: aku takut sekali menganggur.
Dan
dengan ini, lilinku benar-benar padam—aku menghabiskan akhir tahunku dengan
kegagalan demi kegagalan, kesedihan demi kesedihan, ketakutan demi ketakutan,
dan keputusasaan demi keputusasaan yang tak terperi rasanya. Pada titik ini tak
perlu lagi mempertanyakan perihal resolusi yang sudah kutempel di dinding
dengan rapi—aku bergegas menyobeknya ketika untuk melanjutkan hidup saja
rasanya sudah tak ada lagi harapan yang tersisa.
Tapi
tahukah kamu, ada satu hal dari diriku yang benar-benar aku kagumi: resilience, atau seberapa
tahan-bantingnya diriku ini. Di antara emosi-emosi negatif yang kurasakan
sebagai hasil dari meratapi kegagalanku di tahun 2019, aku belajar banyak
sekali hal di waktu yang sama. Justru dari pahitnya peristiwa yang kualami, aku
belajar untuk menghadapi pikiran-pikiran buruk dan mengubahnya menjadi lebih
positif, aku belajar untuk menghadapi situasi-situasi yang tidak terduga
sebelumnya, aku belajar untuk menerima kekurangan yang ada pada diriku, aku
belajar untuk mengikhlaskan apa yang Tuhan berikan dalam hidupku—entah baik
ataupun buruk—, aku belajar untuk membina hubungan yang lebih baik dengan orang
lain dan membatasi diri pada kecenderungan berperilaku destruktif. Singkatnya,
aku belajar tentang mindfulness dan
bagaimana pengaruhnya dalam diriku untuk menghadapi berbagai macam tantangan
yang ada saat ini dan di masa yang akan datang.
Mindful sendiri
artinya berkesadaran. Kita sepenuhnya sadar akan pikiran kita, perasaan kita, keberadaan orang lain, alam dan
lingkungan yang ada di sekitar kita, dan sebagainya. Ternyata, tanpa disadari,
tiga bulan terakhir di tahun 2019 membelajarkanku akan konsep hidup ini. Tidak
mudah, dan jelas belum seratus persen tuntas, tetapi dengan berbekal perspektif
baru ini, menjalani kehidupanku yang sebetulnya mungkin masih belum membaik
hingga saat ini menjadi jauh lebih mudah. Dampak langsung bagi diriku pribadi
adalah, aku jadi lebih berani untuk menjadi diriku sendiri, lebih berani
mengambil resiko, lebih berani menghadapi segala macam tantangan dan hal-hal
yang tidak terpikirkan, serta lebih ikhlas dalam menjalani hidup yang ada.
Lantas, apa hubungan mindfulness dengan resolusi?
Dari
pengalaman dan sudut pandangku pribadi, bisa dikatakan mindfulness merupakan strategi yang tepat sebagai pengganti
resolusi dalam menghadapi tahun baru. Daripada mengeset macam-macam goals yang membebani hati dan pikiran
serta seringkali tidak realistis, alangkah lebih baik melakukan refleksi
terhadap pengalaman kita selama setahun— bahkan lebih—ke belakang,
menginterpretasi hal-hal yang mungkin masih mengganjal di benak kita, dan
menimbang kembali keputusan-keputusan yang sebaiknya dibuat.
Aku
baru menyadarinya akhir-akhir ini bahwa ada banyak resolusi yang aku buat di
masa silam yang sampai sekarang masih belum mampu kucapai. Hal itu karena
sebagian besar resolusi yang kubuat adalah harapan, keinginan, dan juga ambisi
yang tidak akan bisa diwujudkan pada “level”-ku
yang masih belum seberapa. Layaknya bermain game,
kita juga perlu menaikkan level atau
kualitas diri kita untuk mencapai sesuatu. Dan bisa dikatakan, di tahun lalu
aku terlalu banyak memainkan “stage”
dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi tanpa diikuti dengan usaha menaikkan
level yang sepadan. Sederhananya, apa
yang kita impikan akan sulit untuk terwujud jika kita belum selesai dengan
masalah kita sendiri. Memaksakan suatu keadaan tentu bukan hal yang bijak jika
kita sendiri belum memiliki kemampuan yang memadai untuk menghadapinya.
Tentu tak
ada salahnya kita tetap membuat resolusi. Aku pun, meski tidak lagi menuliskan
dan memajang impian-impianku, tetap menanamkan dalam hati apa-apa saja yang
ingin aku lakukan dan capai di tahun 2020 ini. Tetapi berbeda dengan tahun
lalu, aku tidak memaksakan diri, aku tidak menghakimi diriku sendiri jika apa
yang aku lakukan belum membuahkan hasil, dan aku menganggap kegagalan yang
mungkin bakal terjadi kedepannya adalah pelajaran yang perlu aku ambil
hikmahnya. Aku juga mengubah mimpi-mimpiku menjadi langkah-langkah kecil yang
untuk saat ini paling mungkin untuk kulakukan, sehingga mimpi besar yang
kumiliki tetap realistis untuk digapai.
Singkatnya,
aku tak akan lagi menyalakan batang demi batang lilin di awal tahun yang pada
akhirnya habis terbakar di akhir. Cukup nyalakan saklar lampu saja sebagai
penerangan,. Kan, sudah ada listrik, hehe, pasti akan terus terang benderang.
Asal jangan lupa hemat listrik saja. ;D
Tulisan ini juga dapat diakses melalui
laman: https://arifanourma.blogspot.com/2020/01/aku-tak-lagi-butuh-resolusi-ketika.html
Editor: Retno Pratiwi (tim Editor Halo Jiwa)
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.