SENYUM MALAIKAT: METAFORA TOXIC RELATIONSHIP


By Afga Yudistikhar
Sebuah Cerpen

Sore itu sejenak gelap ketika malaikat Uril turun ke bumi. Sayapnya terbentang luas menutupi cakrawala. Ia mendarat di permukaan salju, pegunungan Himalaya. Ia melihat sekeliling. Nyaris senyap tiada suara.

“Aku belum mengerti alasan Tuhanku mengirimku ke tempat ini. Tiada siapa pun di sini” gumamnya.

Malaikat Uril memutuskan untuk berjalan menuju ke puncak tertinggi Himalaya. Sayapnya menyapu salju dan bebatuan yang dilewatinya. Ia terus berjalan sembari menengok ke kanan dan ke kiri. Berusaha untuk mengenali pertanda sekecil apa pun wujudnya.

Sejenak ia terperanjat mendengarkan suara manusia samar-samar. Tidak jelas apa yang diucapkannya. Terdengar seperti suara teriakan namun sangat tipis. Malaikat Uril mempercepat langkahnya sembari mencari sumber suara yang didengarnya.

“Tapi tiada siapapun di sini. Aku belum melihat ada jejak manusia di salju”.

Semakin ia mendekati puncak, semakin jelas pula suara itu terdengar. Malaikat Uril mengambil langkah mundur, kemudian berlari kecil ke depan sambil mengepakkan sayapnya perlahan. Dari ketinggian ia melihat ke bawah. Memicingkan mata untuk mencari pertanda sekecil apa pun wujudnya. Ia tahu Tuhan sering kali berkomunikasi dengannya melalui pertanda-pertanda. 

“Aku melihatnya. Seorang pria putus asa yang sebentar lagi akan terjatuh dari ketinggian 29 ribu kaki”.

Malaikat Uril menorehkan senyum tipis di wajahnya. “Akhirnya aku tahu peranku di sini”.

Ia terbang turun dan mendarat di balik batu karang. Ia tidak bisa menemui pria itu dalam wujudnya yang sekarang. Seketika dilipatnya sayapnya dan seolah-olah awan mendung telah menurunkan hujannya. Kemudian ia menjadi seorang pria yang sempurna dibalut pakaian yang serba putih dan sorban sebagai penutup kepala. Perlahan, malaikat Uril mendekati pria itu. Langkahnya terlalu hati-hati, ia tidak ingin membuat pria itu terkejut dan melepaskan pegangannya. Tentu kalau itu terjadi, tugasnya gagal dan ia akan menghabiskan ribuan tahun berikutnya untuk mengurung diri sembari merenung di sebuah gua di kaki gunung Qaf. 

Hanya tersisa beberapa langkah lagi untuk menyelamatkan pria itu. Pada langkah kesembilan puluh, malaikat Uril menahan kakinya. Ia terkejut pria itu hanya berpegangan pada tumbuhan Altaica. Ia nyaris tidak percaya dengan pemandangan di depannya.

“Bagaimana mungkin tumbuhan serapuh itu bisa menahan beban tubuh seorang pria buncit. Aku tahu ini pasti pertanda. Lagi-lagi Tuhan telah mendahuluiku. Artinya tugasku hanya melanjutkan bagian yang tersisa”.

Tepat di langkah yang kesembilan puluh sembilan, malaikat Uril berada di hadapan pria itu. Malaikat Uril heran pria itu tidak terkejut dengan kedatangannya.

“Aku tahu kamu pasti pendaki yang tersesat. Sini bantu aku untuk naik. Aku nyaris terjatuh ketika kakiku tergelincir di kala menikmati indahnya pemandangan dari atas sini. Apa yang kamu lakukan? Jangan diam saja, sini tarik tanganku”.

Malaikat Uril kemudian membungkuk dan mengulurkan tangannya. Ketika pria itu menggapai tangan malaikat Uril, ia nyaris saja terjatuh. “Tanganmu halus sekali seperti sutra. Pasti kamu pria dewasa yang tidak pernah bekerja keras” sindir pria itu.

Ujung bebatuan tempat malaikat Uril berpijak, mendadak rubuh. Mereka panik. Sekilas kilat menyambar penglihatan pria itu. Malaikat Uril nyaris kehilangan kendali. Kilatan cahayanya menyambar ke mana-mana. Bebatuan kembali rubuh. Kini mereka berdua berada di ujung tanduk. Hampir saja ia membentangkan sayapnya dan membawa pria itu terbang bersamanya.

Kalau saja malaikat Uril tidak menyeru asma Tuhannya, tentu ia akan menunjukkan siapa dirinya. Dan jika sampai seperti itu, pria di hadapannya akan gila karena telah menjadi saksi penampakan yang Agung.

Setelah beberapa saat peristiwa nahas itu berlalu, malaikat Uril mulai tenang. Namun pria di bawahnya terus berteriak ketakutan. “Kamu pasti sengaja kan? Aku tahu kamu berniat menjatuhkanku” bentak pria itu.

Malaikat Uril hanya tersenyum menanggapi pria malang itu. Sekarang ia lebih terfokus kepada beban ditangannya yang semakin berat.

“Jangan khawatir. Apa pun yang terjadi aku akan berusaha sekuat tenaga menyelamatkanmu” seru malaikat Uril.

Ia sekuat tenaga menarik pria buncit itu ke atas hingga wajahnya nyaris menyentuh bebatuan di bawahnya. Keringat malaikat Uril tidak berhenti menetes menuruni dagunya hingga terjatuh ke jurang di bawahnya. Pria itu takjub sekilas melihat tetesan keringat itu menyerupai butiran-butiran mutiara. Tanpa mereka berdua sadari, tetesan keringat itu telah menciptakan sungai yang mengalir di bawah mereka. Jadi meskipun pria itu terjatuh, ia kemungkinan masih bisa selamat.

Malaikat Uril masih mengerahkan segenap tenaganya untuk menolong seorang manusia di hadapannya. “Aku tidak tahu siapa pria ini. Tapi pasti Tuhan begitu mencintainya. Sampai aku dikirim langsung untuk menyelamatkannya,” gumamnya.  

Tangan malaikat Uril semakin licin dibasahi keringat. Ia merasa tidak lagi sanggup menarik tubuh pria ini. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak berhenti sedetik pun mengucapkan “Hasbunallah”.

Sementara itu, di bawah awan kepanikan yang menaungi mereka, pria itu akhirnya putus asa.

Situasi sejenak menjadi hening. Sampai pria itu menggapai lengan malaikat Uril dan menggenggamnya dengan erat. Sepintas malaikat Uril mengerang kesakitan. Tangan pria itu mencengkeram lengannya begitu erat, layaknya lilitan ular. Pria itu menarik tubuhnya. Mereka berdua melayang begitu cepat ke dasar jurang. Sungai yang mengalir dengan tenang di bawah mereka mendadak berubah menjadi bebatuan karang seperti semula. Tubuh pria itu terpelanting hingga terbentur keras. Batuan karang yang runcing menembus dadanya. Darah mengalir deras dan merembes ke seluruh penjuru. Tampak kontras dengan putihnya salju.

Ketika nyawanya telah sampai di kerongkongan, pria itu menyaksikan pemandangan yang aneh. Pria yang tadi menolongnya, sang malaikat Uril, berdiri di hadapannya dengan pose yang unik, mirip seseorang yang berdoa. Ia melihat malaikat Uril menangis sembari menengadahkan kepalanya ke langit. Di saat matanya setengah tertutup, ia melihat malaikat Uril seketika berubah menjadi merpati putih kemudian terbang meninggalkannya.

Tuhan menyaksikan semua kejadian itu dari singgasana-Nya. Ketika pria buncit itu menabrak batu karang, Dia Yang Maha Rahim, memalingkan wajah-Nya dengan penuh kesedihan.

Situasi di Pegunungan Himalaya kembali senyap. Angin berhembus menerbangkan salju dan bebatuan kecil yang dilewatinya. Sementara itu, matahari telah tenggelam berganti malam.



Sepatah kata dari Penulis:
“Berteman dengan orang toxic, seperti memecahkan batu es. Orang di sekelilingnya juga akan kecipratan pecahan es yang runcing. Kebayang betapa sakitnya? Oleh karena itu, ia perlu untuk meleleh sendiri dan kita bisa menjadi mataharinya. Memang akan sangat melelahkan. Karena orang toxic tetaplah toxic, sampai ia sadar untuk berubah. Sebelum itu, ia akan menarik tanganmu untuk jatuh bersamanya, tidak peduli engkau sudah berusaha menariknya. Tapi cobalah kenali lagi, barangkali Tuhan ingin menjadikanmu perpanjangan tangan-Nya untuk menolong orang itu agar menjadi lebih baik. Tapi bagaimanapun juga, engkau perlu mengenali batasanmu. Sampai sejauh mana ia bisa memperlakukanmu sedemikian rupa hingga pada saatnya kamu tahu batasanmu dan memilih untuk mundur”

Editor: Retno Pratiwi Sutopo Putri (Tim Editor Halo Jiwa)

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.