Artikel
(Discussion Corner) Sisi Patriarki dan Matriarki dalam Cerita Dongeng Anak
Sisi
Patriarki dan Matriarki dalam Cerita Dongeng Anak
Oleh
: Anggun Mita Tri Kusumawardani
Saya
punya 3 keponakan, 2 perempuan dan 1 laki-laki. 1 orang perempuan sudah berusia
8 tahun. Bacaan yang dia baca seputar cerita-cerita putri-putrian dan dongeng
rakyat yang masih patriarki. Saya ambil contoh legenda Malin Kundang. Persoalan-persoalan
yang muncul dalam legenda Malin Kundang dalam perspektif feminis adalah gender,
esensialisme dan konstruksi sosial, patriarki dan falogosentrisme, serta
wacana, representasi dan resistansi. Legenda Malin Kundang menghadirkan dua
tokoh utama, yaitu ibu Malin Kundang dan Malin Kundang sendiri. Narasi
merepresentasikan wacana anak durhaka yang disampaikan oleh narator dan melalui
dialog ibu Malin Kundang sendiri. Malin Kundang merupakan anak yang mengingkari
ibu kandungnya karena malu dihadapan istrinya yang tidak mengetahui masa
lalunya sebelum ia menjadi kaya.
Anak
yang disayang sejak kecil oleh sang ibu, dibesarkan dengan penuh perjuangan
adalah konstruksi wacana yang bersifat matriarkat. Perempuan dipanggil ibu yang
berjuang untuk anaknya, berhak mendapatkan balasan yang setimpal dengan segala
kebaikan yang telah diberikannya. Jika anak tersebut tidak membalasnya,
perempuan itu memiliki kekuasaan untuk menghentikan kehidupan anak tersebut
sebagai manusia dengan mengutuknya. Hal itu berkaitan dengan kekuasaan
perempuan sebagai pemberi kehidupan bagi anaknya. Hubungan kekuasaan terlihat
pula dalam etos merantau berupa untaian kalimat berbentuk pantun yang biasa
disampaikan oleh seorang ibu Minangkabau terhadap anaknya yang mulai menjelang
dewasa. Ibu menganjurkan anak laki-laki pergi merantau karena menurut ibu,
keberadaannya di kampung belum berguna. Batasan belum berguna itu adalah
kemampuan mendapatkan materi.
Ibu
menggunakan kekuasaan ke-perempuan-nya untuk menyuruh anak laki-laki yang telah
bujang atau pemuda untuk berjuang meningkatkan taraf kehidupan keluarga. Wacana
patriarki yang mengkonstruksikan maskulinitas laki-laki sebagai pemberi nafkah,
gigih, ulet, dan sukses dimanfaatkan oleh ibu untuk mensejah-terakan keluarga
asal. Keluarga asal pemuda perantau yang tinggal di kampung Minangkabau terdiri
dari kaum perempuan, yaitu nenek, ibu, dan saudara-saudara perempuan. Seorang
pemuda tidak dapat menolak himbauan ibunya untuk meninggalkan kampung karena
konstruksi sosial mengharuskannya demikian; apabila seorang anak laki-laki
telah menginjak usia dewasa, mereka malu bila masih memakan nasi dan berdiam di
rumah gadang matrilineal ibunya.
Kaum
perempuan tidak diharuskan merantau karena jaminan hidupnya ada di tangan mamak
(saudara laki-laki ibu) dan saudara laki-lakinya sendiri. Hal ini
mengindikasikan sistem kekerabatan matrilineal yang mengandung ideologi
matriarkat. Bila ketidakharusan perempuan pergi merantau dan hanya menjadi
penghuni rumah belaka dianggap sebagai esensi ke-perempuan-nya yang lemah dan
mesti di bawah perlindungan laki-laki, narasi Malin Kundang tidak sepenuhnya
mengandung hal tersebut. Perempuan malah memperalat laki-laki untuk mensejah-terakannya
dengan berlindung dibalik konstruksi sosial Minangkabau yang mengharuskan anak
laki-laki berbakti secara finansial pada ibunya dan sebagai laki-laki ia mesti
meningkatkan taraf kehidupan ibunya.
Narasi
Malin Kundang ini tidak menghadirkan falogosentrisme dan patriarki secara
nyata. Malin Kundang memang mewakili maskulinitas laki-laki Minangkabau yang
gigih, ulet, dan sukses mendapatkan kekayaan di rantau. Kepergian Malin Kundang
merantau didorong oleh keinginan ibu. Di kampung, ibu menganggap Malin Kundang
belum berguna. Ketika Malin Kundang pulang ke kampung untuk membuktikan
kesuksesannya di rantau, ia dikutuk jadi batu sebab ibunya tidak berkenan pada
pengingkaran Malin Kundang. Wacana Malin Kundang merepresentasikan kedurhakaan
seorang anak laki-laki yang tidak mengakui ibunya padahal ibu adalah orang yang
harus dibalas jasanya karena telah berjuang membesarkannya sejak kecil.
Struktur narasi Malin Kundang menghadirkan wacana kekuasaan perempuan yang
dimiliki ibu; dia yang menyuruh anaknya merantau dan dia pula yang mengakhiri
kehidupan anaknya karena tidak mengikuti tujuan pergi merantau.
Resistansi
yang ditemukan dalam narasi hanya memperkuat wacana kekuasaan perempuan sebab
jika dipandang yang melakukan resistensi adalah perempuan (ibu) yang inferior
karena tidak pergi merantau, perempuan tersebut menjadi alasan dan penyebab
laki-laki pergi merantau. Jika laki-laki yang dianggap melakukan resistansi,
resistansi Malin Kundang juga berperan menguatkan kekuasaan ibu sebab
perlawanannya berakibat fatal; ia dikutuk menjadi batu. Oposisi biner yang
digunakan untuk menginterogasi teks Malin Kundang dapat dilakukan dengan
menemukan sesuatu yang tidak muncul dalam teks atau absence. Menemukan
ketidakmunculan itu dapat diatasi dengan bantuan teks yang lain atau
intertekstual. Teks lain yang dianggap relevan untuk menyanding Malin Kundang
adalah konstruksi sosial budaya Minangkabau.
Konstruksi
sosial-budaya suku Minangkabau meng-ideal-kan setiap pemuda pergi merantau
untuk tujuan mendapatkan kekayaan. Bila telah kaya, pemuda pulang ke kampung
untuk mensejah-terakan keluarga asal sambil menyumbang pembangunan kampung.
Pulang ke kampung membawa kesuksesan dianggap sebagai pemuda yang telah berguna
sehingga pinangan dari beberapa keluarga terpandang akan datang kepada ibu.
Akhirnya, ibu memilihkan jodoh yang sepadan dan hidup berbahagia. Malin Kundang
menghadirkan persoalan yang tidak sesuai dengan hal tersebut. Malin Kundang
pergi merantau, sukses, memperistri perempuan di luar etnisnya sendiri, membawa
kekayaan dan istri asing (di luar etnis) ke kampung, mengingkari ibu kandung,
dan dikutuk menjadi batu.
Ada
satu persoalan pokok yang menyebabkan tujuan merantau Malin Kundang menjadi
gagal total, yaitu memperistri perempuan yang bukan Minangkabau dan membawanya
pulang kampung. Seharusnya Malin Kundang tidak beristrikan perempuan dari luar Minangkabau
karena hal itu akan menyebabkan Malin Kundang malu mengakui masa lalunya disaat
ia telah mencapai kesuksesan. Hal yang tidak pantas telah dilakukan Malin
Kundang, yaitu dengan memperistri perempuan asing dan membawanya pulang
kampung. Malin Kundang secara ideal ke rantau hanya untuk mendapatkan harta,
sedangkan kekuasaan memilih jodoh ada di tangan ibunya. Perjodohan yang pantas
dilakukan untuk pemuda perantau adalah dari etnisnya sendiri sebab perempuan
tersebut dan keluarganya semenjak awal telah mengetahui latar belakang pemuda
perantau.
Cerita diatas cenderung mencerminkan kesombongan Malin Kundang yang tidak mau mengakui ibu kandungnya, namun disisi lain, saat membedah sisi matriarki dari adat Minangkabau, terlihat bahwa sebenarnya Malin Kundang bisa saja tertekan karena kewajiban yang harus ia emban. Harus mengikuti perintah sang ibu untuk merantau dan harus menerima pula keputusan sang ibu yang nantinya akan memilihkan calon istri baginya. Semua tekanan tersebut dapat memberi dampak negatif kepada kesehatan mental sang Malin Kundang yang seakan menjadi sosok tertindas karena harus menuruti semua perintah sang ibu. Belum lagi tuntutan dan ekspektasi dari sang istri yang mengira dirinya adalah anak dari seorang yang kaya, sehingga hal-hal tersebut mendorong Malin Kundang untuk menjadi anak durhaka dan tidak mau mengakui ibunya.
Adapun nilai moral yang dapat diambil dari cerita Malin Kundang apabila dikaitkan dengan kesehatan mental adalah agar kita, baik laki-laki maupun perempuan, tidak seyogyanya menekankan sisi patriarki maupun matriarki masing-masing karena dapat berdampak tertekannya golongan yang berlawanan jenis. Tekanan mental yang dirasakan oleh lawan jenis akan berdampak pada kesehatan mental yang menimbulkan diri untuk membuat keputusan yang tidak semestinya, sehingga keputusan tersebut dapat merugikan bagi orang yang tertindas oleh sisi patriarki/matriarki, dan dapat pula berdampak negatif bagi orang yang meninggikan sisi patriarki/matriarki miliknya.
Editor: Retno Pratiwi (Tim Editor Halo Jiwa)
Cerita diatas cenderung mencerminkan kesombongan Malin Kundang yang tidak mau mengakui ibu kandungnya, namun disisi lain, saat membedah sisi matriarki dari adat Minangkabau, terlihat bahwa sebenarnya Malin Kundang bisa saja tertekan karena kewajiban yang harus ia emban. Harus mengikuti perintah sang ibu untuk merantau dan harus menerima pula keputusan sang ibu yang nantinya akan memilihkan calon istri baginya. Semua tekanan tersebut dapat memberi dampak negatif kepada kesehatan mental sang Malin Kundang yang seakan menjadi sosok tertindas karena harus menuruti semua perintah sang ibu. Belum lagi tuntutan dan ekspektasi dari sang istri yang mengira dirinya adalah anak dari seorang yang kaya, sehingga hal-hal tersebut mendorong Malin Kundang untuk menjadi anak durhaka dan tidak mau mengakui ibunya.
Adapun nilai moral yang dapat diambil dari cerita Malin Kundang apabila dikaitkan dengan kesehatan mental adalah agar kita, baik laki-laki maupun perempuan, tidak seyogyanya menekankan sisi patriarki maupun matriarki masing-masing karena dapat berdampak tertekannya golongan yang berlawanan jenis. Tekanan mental yang dirasakan oleh lawan jenis akan berdampak pada kesehatan mental yang menimbulkan diri untuk membuat keputusan yang tidak semestinya, sehingga keputusan tersebut dapat merugikan bagi orang yang tertindas oleh sisi patriarki/matriarki, dan dapat pula berdampak negatif bagi orang yang meninggikan sisi patriarki/matriarki miliknya.
Editor: Retno Pratiwi (Tim Editor Halo Jiwa)