Sastra
Lipstik Orange - Oleh Anggun Mita K.
LIPSTIK ORANGE
BY: ANGGUN MITA K.
Hari itu aku bingung memoles bibirku dengan lipstik warna
apa. Biasanya juga bingung sih, tapi hari ini hari aku harus presentasi paper
kelompokku di kampus. Di depan kelas. Sudahlah, warna orange, batinku seraya
mengoles serapi mungkin. Kurapikan juga catok rambutku dan alat-alat make upku
di rak meja. Aku berangkat, yuhuu! Masih pagi, kuparkir mobilku di parkiran
kampus yang masih lengang ini. Aku pikir memperbaiki riasanku di toilet akan
lebih baik untuk mengatasi kegugupanku menghadapi presentasi pagi ini. Tak ada masalah Keara, pasti semua berakhir
dengan baik, tenang tenang tenang. Aku jarang gugup sebenarnya berbicara di
depan umum, namun materi yang akan kusampaikan belum benar benar kukuasai. Aku
seorang freelance jurnalis lepas terkenal di ibukota disuruh mempresentasikan
mata kuliah statistika. Menempuh program magister akuntansi adalah satu satunya
pilihan untukku jika ingin menjadi dosen, yah program studi sarjanaku juga
akuntansi. Tak apalah, belajar lagi, ilmu tak ada yang basi.
Kelas masih ada satu orang, kusapa dengan baik laki-laki
yang duduk di pojok belakang kelas. Dia membalas dengan baik juga, setidaknya ini menenangkanku untuk lebih
rileks menghadapi presentasi. Perlahan, semua anggota kelas masuk dan kelas
penuh. Dosen datang, presentasi dimulai. Presentasi selesai selama durasi waktu
sejam, tidak ada yang spesial. Namun aku lega karena setidaknya sudah selesai
menyelasaikan presentasi paper yang sudah merenggut jam tidurku berhari hari.
Kuputuskan untuk makan di depan kampus berdua dengan partner presentasiku.
Tanpa kuduga aku bertemu laki-laki di kelas yang duduk di
pojok belakang tadi pagi, dan tak disangka sangka dia ikut bergabung dengan
kita.
“Presentasi kalian keren.” Ucapnya sembari mengawali
bahan obrolan. Kita bertiga nyambung ngobrol tentang hal-hal seru. Entah itu
hal kampus atau kerjaan. Ketika aku pulang, dia menghampiriku, namun hanya aku
yang dihampiri. Bukan dengan partnerku.
“Key, nanti aku chat pribadi ya. Nomormu kan ada di
grup.” Katanya sembari tersenyum.
“Oh, iya pasti tak apa.” jawabku retoris. Tentu saja, aku
tak mungkin menolak permintaannya.
Sesampainya di apartemen, tak ada pesan darinya. Sampai
seminggu kemudian, dia mengontakku dan mengajakku bertemu berdua. Sejujurnya
aku terlalu introvert untuk hubungan seperti ini. PDKT, gebetan, jadian, putus.
Hal-hal itu sudah terlalu melelahkan untuk wanita berusia 28 tahun yang sudah
memakan asam garam dunia perbucinan. Tapi kuputuskan untuk tetap berangkat
memenuhi ajakannya, ya dia memang terkenal cerdas dalam urusan materi kuliah,
siapa tahu aku bisa sharing ilmu karena jurusan kuliahku tidak linier dengan
pekerjaanku.
Pertemuan pertama, aku tahu pekerjaannya. Konsultan
pajak. Pertemuan kedua, aku tahu tempat tinggalnya, Jakarta Selatan. Pertemuan
ketiga, dia mulai terbuka tentang keluarganya, dia korban perceraian dari
kecil. Pertemuan keempat, dia bercerita membaca semua seri buku Yuval Noah
Harari. Disitu aku mulai tertarik. Aku penggemar Harari juga, jarang ada
mahasiswa akuntansi suka buku yang ditulis Harari. Pertemuan selanjutnya kita
berbagi hal-hal lain. Kemudian hal lainnya lagi. Sampai kita berbagi bibir satu
sama lain. Proses itu begitu cepat. Dia berkunjung ke apartemenku, kita bibir.
Ya hanya sebatas itu. Teman kelasku tak ada yang tahu tentang hubungan ini.
Aku jatuh cinta, namun tak ada yang pasti di hubungan
ini. Semua terjadi begitu saja. Kuputuskan untuk memperjelas hubungan ini.
“Aku jatuh cinta.” ucapku di ranjang.
“Aku juga.” balasnya sambil memegang tanganku.
“Lalu?” tanyaku.
“Aku jatuh cinta, tapi aku tak percaya pernikahan.”
jawabnya. Kucerna dalam dalam jawabannya. Apa
mungkin dia korban perceraian sehingga dia tidak percaya pernikahan? Tapi bukankah aku juga skeptis terhadap
pernikahan? Lalu mengapa relung hati ini menginginkan lebih? Air mataku
menetes. Aku menangis sejadi-jadinya. Ia memelukku, menenangkanku dengan sabar.
Entah, aku terlanjur jatuh cinta dan tak tahu akhir seperti apa nantinya
hubungan ini.
Editor: Anggun Mita (TIM EDITOR HALO JIWA)
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.