I Wanna Show A Happy World For Him - Esti Falistya






I wanna show a happy world for him
By: Esti Falistya


Kejadian ini terjadi sekitar 2 tahun lalu...
Saat itu sore hari. Saya mengunjungi salah satu taman di kota saya. Suasana sore saat itu cukup ramai. Banyak keluarga yang sedang berjalan-jalan di area taman dan tak jarang pula terlihat anak-anak muda yang sedang menikmati makanan sambil berbincang-bincang dengan kawan atau pasangannya. Terdengar suara canda-tawa anak-anak yang sedang bermain dan berlarian kesana-kemari dengan membawa beberapa mainan. Suara tangis dan amukan beberapa anak lainnya juga ikut menghiasi suasana taman menjadi ramai. Ditengah keramaian itu, saya datang sendiri. Jika anda, khawatir saya sedang merasa sedih, tenang saja karena saya tidak merasa kesepian. Saya hanya membutuhkan ruang sendiri untuk melepas penat sejenak karena tugas akhir saya.

Saya mulai melihat sekeliling saya dan menatap satu-persatu orang yang ada disana. Kemudian, pandangan saya teralihkan kepada dua orang yang duduk di sebelah bangku saya yang terdiri dari satu orang anak laki-laki dan wanita paruh baya yang menemaninya. Dari sini-lah kisah ini bermula.

            Kami mulai berkenalan dan menanyakan hal-hal umum. Tentu bertanya nama, pekerjaan, dan asal merupakan hal yang biasa ditanyakan ketika awal berkenalan, tidak terkecuali kami. Ketika saya menyebutkan bahwa saya dari jurusan psikologi, wanita paruh baya tersebut mulai menunjukkan ketertarikan terhadap saya. Berawal dari bertanya apa saja yang saya pelajari selama kuliah, cabang peminatan psikologi, hingga detail mengenai beberapa kejadian yang disangkut pautkan dengan ilmu psikologi. Beliau mulai bercerita soal dunia anak yang tidak lain adalah menceritakan kondisi anaknya tersebut. Ketika mulai mendengarkan cerita tersebut, saya mulai berpikir bagaimana saya menanggapinya karena saya sendiri tidak terlalu menguasai tentang psikologi anak.

            Beliau beranggapan bahwa ada sesuatu yang berbeda dari anaknya. Sang anak sering dipanggil oleh pihak guru karena beberapa permasalahan dari perilakunya, seperti tidak mau duduk tenang ketika proses belajar, cenderung jalan-jalan di kelas dan menjahili temannya, mudah terdistraksi dengan kejadian sekitar, jarang menyelesaikan tugas, tidak mau menulis, bahkan beberapa kali sang anak berjalan dari satu meja ke meja lain, cenderung tidak mau antri atau baris, merebut mainan teman dan terkadang bertindak agresif. Beberapa kali sang Ibu harus rela bolak-balik ke sekolah dan ke tempat kerja karena ada panggilan dari guru sekolah terkait perilaku sang anak. Bahkan ketika bercerita hal ini, saya melihat raut kesedihan dan bingung di wajah beliau.
“Saya tuh udah sering mengingatkan, terkadang saya omelin tapi masih gak ada perubahan. Kadang saya hukum, kadang kalo udah mulai cape saya marah-marah tapi tetep aja, yang ada dia malah balik memarahi saya atau kadang gak mau bicara sama saya. Nilainya bener-bener anjlok tapi saya rasa sebenernya dia ini mampu. Gak tau kenapa di sekolah dia seperti itu dan gak jarang banyak yang bilang anak saya ini nakal dan bodoh. Ini benar-benar mengganggu saya. Ayahnya juga sama-sama cape dan bingung ngadepin anak saya ini. Tapi untungnya, Ayahnya kadang berusaha nenangin dia kalo saya udah marah-marah. Dia juga lebih nyaman sama Ayahnya ketimbang sama saya”.

baca juga: Menanamkan Value pada Anak

            Saat itu saya mulai merasakan emosi yang dirasakan oleh sang Ibu. Saya paham betul beliau ingin melakukan sesuatu untuk anaknya. Saat ini, saya juga tidak tau harus menanggapi seperti apa karena saya merasa bukan ahlinya dalam memberikan rekomendasi. Akhirnya, saya coba menyarankan beliau untuk konsultasi dengan psikolog dan saya beri kontaknya. Beliau pun akan berkata untuk mencoba menghubunginya. Dari pertemuan itu akhirnya kami berpisah sejenak. Saya meninggalkan taman itu terlebih dahulu seiring perpisahan dari pertemuan pertama itu. Setelah pertemuan singkat itu, saya mulai penasaran dan banyak mempelajari kembali mengenai perkembangan anak dan membaca literatur mengenai parenting. Saya juga mencoba mengaitkan ilmu-ilmu tersebut dengan kondisi anak sesuai yang diceritakan oleh sang Ibu.

Singkat cerita, 1 bulan berikutnya saya kembali ke taman itu dan duduk di bangku yang sama. Entah ini takdir Tuhan atau kebetulan, saya bertemu dengan beliau dan anaknya namun kali ini saya juga bertemu dengan Ayahnya yang juga dengan hangat menyapa saya. Sang Ibu tanpa segan berkata, “Yah, ini mbak-mbak yang waktu itu ngasih nomor kontak psikolognya si X (nama anak)”. Setelah itu, beliau tampak antusias ketika bertemu dengan saya dan kembali menceritakan kondisi anaknya. Hal pertama yang beliau ceritakan adalah pihak keluarga sudah berkunjung ke psikolog yang saya rekomendasikan dan saat ini telah menjalankan beberapa program dari psikolog tersebut. Disitu saya ikut senang dan saya juga coba memberikan masukan untuk menjalankan rekomendasi tersebut dengan konsisten.

Pertemuan kali itu cukup singkat. Sebelum meningalkan taman tersebut, siapa yang menyangka bahwa beliau meminta nomor HP saya. Saya bertanya-tanya dalam diri sendiri, untuk apa meminta nomor HP saya? Dan saya tanpa ragu memberikannya. Setelah meninggalkan taman tersebut, entah mengapa saya kembali mendapatkan energi untuk kembali belajar mengenai psikologi anak dan psikologi keluarga.  Selang beberapa hari kemudian, sang ibu menghubungi saya. Awalnya saya sedikit canggung ketika berkomunikasi via WhatsApp dengan beliau, namun percakapan kami mengalir begitu saja. Waktu demi waktu, kami menjadi cukup sering berinteraksi, walaupun mungkin intensitasnya tidak setiap hari. Terkadang beliau bercerita tentang kondisi anaknya dan saya juga mencoba untuk sharing mengenai hal-hal yang sudah saya pelajari sebelumnya. Beberapa bulan kemudian, beliau bercerita bahwa kondisi anaknya kian membaik dan lebih mudah diberikan pengertian. Saya pun ikut merasa senang mendengarkan kabar baik tersebut.

Banyak ilmu yang saya dapatkan dari hasil sharing dengan beliau, dan beberapa tips dalam membimbing anak yang saya rangkum, yaitu:

1.      Menjalin komunikasi dua arah
“Saya sejauh ini terlalu banyak mengatakan ini dan itu, dan saya sadar bahwa anak juga perlu didengar”.
Satu hal yang disadari oleh sang Ibu adalah beliau terlalu banyak berceramah dan menuntut si anak. Hal tersebut membuat sang anak merasa tidak dihargai karena setiap kali menyampaikan pendapat sering mendapat penolakan. Beliau mulai menerapkan komunikasi dua arah dengan menanyakan kegiatannya selama di sekolah, bagaimana harinya, menanyakan apa yang dia rasakan saat itu dan sebagainya.

2.      Membantu anak untuk mengontrol emosi negatif
“Ketika anak marah, awalnya saya beranggapan bahwa dia sedang melawan saya padahal mungkin saja dia meniru perilaku saya yang sering memarahi dan membentaknya”.
Sebelum berkonsultasi dengan psikolog, beliau cenderung menggurui anak ketika anak mulai menunjukkan kemarahannya. Beliau menyadari justru hal tersebut membuat anak semakin menunjukkan kemarahannya dan bahkan dikemudian hari, anak cenderung memendam perasaan marahnya dan tidak tau cara menyalurkan serta mengontrol emosinya. Perlu bagi orang tua untuk dapat membantu anak identifikasi emosi, memberikannya ruang untuk mengekspresikan emosinya dan berkomunikasi terkait dengan perilakunya. Hal tersebut akan cukup membantu anak untuk dapat menyalurkan emosinya. 

3.      Mengidentifikasi mengenai pesan moral yang ada
“Terkadang saya kurang fokus dengan anak saya dan saya lengah bahwa pendidikan moral utama adalah dari keluarga”.
Hal sederhana yang dilakukan oleh sang Ibu untuk bisa menanamkan nilai moral kepada anaknya adalah dengan membaca cerita. Beliau mencoba mencari cerita yang sesuai dengan perilaku yang kurang tepat yang dilakukan di sekolah, kemudian beliau meminta sang anak untuk membaca cerita dan menceritakan kembali mengenai moral dari cerita tersebut. Sebelum berangkat sekolah, tak jarang beliau meminta anak untuk mengingat pesan moral dari cerita yang pernah ia baca sebelumnya.

4.      Menyesuaikan kompetensi anak ketika mengerjakan sesuatu dan berikan reward atau hadiah setelahnya
“Mungkin saya terlalu banyak menuntut sesuai kemauan saya dan itu membuat anak saya terbebani”.
Beliau memastikan sejauh mana kompetensi anak, sehingga hal tersebut digunakan sebagai acuan awal ketika belajar. Membimbingnya secara perlahan dan berulang jauh lebih efektif daripada harus menuntut sesuai target yang diinginkan oleh orang tua.  Pemberian apresiasi dan reward juga tidak lupa untuk dilakukan dengan tujuan meningkatkan motivasi sang anak.

5.      Tegas dan konsisten kepada anak
“Walaupun saya mulai memahami kondisi anak saya bukan berarti saya menjadi tidak tegas. Saya juga mengajarkannya untuk disiplin dan memberikannya pilihan”.
Tegas bukan berarti keras, itulah kata-kata beliau yang sederhana namun efektif jika diterapkan. Beliau mencoba untuk memberikan beberapa rules dan kesepakatan ketika anak mulai melanggar. Hal ini dilakukan dengan bernegsiasi dengan anak.

Beberapa saran diatas merupakan beberapa hal yang bisa saya rangkum dari pola asuh beliau. Beliau juga menuturkan bahwa  pola asuh yang demikian cukup efektif untuk anaknya. Hal yang paling saya ingat dari beliau adalah “Saya sadar bahwa anak saya itu refleksi dari saya. Kalau dia seperti itu, apa yang salah dari cara saya mendidiknya? Dia hanya anak kecil yang masih proses mengenal dunia. Saya ingin dia memandang dunia ini indah, sehingga saya perlu membimbingnya pula dengan baik pula”. 




Editor: Retno Pratiwi S. P. (Tim Editor Halo Jiwa Indonesia)



Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.