Physical Distancing - Meramal Diri Part. 2, Tulisan Tentang COVID19 (by: Azmul Fuady I.)




                                  Meramal diri sendiri: Physical Distancing?

“Mengitung jumlah udara masuk dalam paru-paru, panas dan hujan terasa sama, batas-batas hidup ditentukan oleh nafas manusia lain, lantas mana diriku?”

    Media sedang menggalakkan sebuah istilah, yang katanya istilah tersebut, dengan menjaga jarak dengan manusia lain, maka akan dapat menekan penyebaran virus yang ada, yang pada akhirnya muncul istilah “social distancing”, karena menjaga jarak sosial itu meliputi banyak aspek, termasuk berinteraksi, saling bertukar bahasa, sampai pada bertukar informasi. Namun, hal ini pada akhirnya meningkatkan social isolation pada masyarakat, sehingga pada akhirnya muncul istilah baru, yaitu physical distancing, yang hanya melibatkan pembatasan secara fisik, hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial, berdiskusi, dan bertukar informasi masih tetap diperbolehkan asalkan dilakukan dalam jarak tertentu atau menggunakan media virtual. Dikutip dari www.kompas.com bahwasanya penggantian frasa pembatasan sosial menjadi pembatasan fisik bertujuan agar individu tetap terkoneksi secara sosial.

    Namun, jauh sebelum physical distancing menjadi topik pembicaraan yang hangat, praktek-praktek pembatasan fisik ini sudah sering dilakukan, dengan alasan yang sama yaitu salah satunya agar mampu menekan kekhawatiran. Adapun sejak disahkannya undang-undang kesehatan jiwa yang pertama pada tahun 1977, hingga undang-undang kesehatan jiwa terbaru disahkan pada tahun 2014, belum mampu betul-betul membebaskan praktek pembatasan fisik yang masih marak dilakukan ditengah-tengah masyarakat. Praktek pembatasan fisik (read: pasung) yang sangat ekstrim bahkan sampai terjadi bertahun-tahun hingga mereka bisa mengitung jumlah udara masuk dalam paru-paru. Panas dan hujan terasa sama.

    Batas-batas hidup ditentukan oleh nafas manusia lain, lantas mana diriku? Mana diriku yang katanya menjadi pemerhati kesehatan mental di negara ini? Mungkin, karena virus pasung ini berada dalam taraf pemakluman bagi tiap lapisan masyarakat, hingga pada akhirnya keluarga yang melakukan pemasungan tidak termasuk dalam ODP (orang dalam pemantauan). Kemudian masyarakat juga hanya menyematkan stigma khusus kepada yang menjadi objek pasung. 

    Jadi, melalui physical distancing ini, saya mengajak kepada diri sendiri untuk segenap merasakan bagaimana lelahnya berjarak dengan manusia lain. Bagaimana rasanya meramaikan kesepian yang selalu datang dari siang hingga kembali siang. Bagaimana rasanya menahan kerinduan untuk bersua dengan keluarga. Ini masih satu bulan berlalu, bagaimana mereka yang mengalami extreme physical distancing selama bertahun-tahun? Bersyukur bahwa diri masih dapat mempertahankan hak bebas. Pasung oleh diri sendiri yang sedang dilakukan ini, adalah jalan ikhtiar agar dapat menyelamatkan banyak saudara di luar sana. Semoga pada akhirnya, kita semua bisa terbebas dari pembatasan ini, baik yang dilakukan oleh diri sendiri, maupun yang dilakukan oleh manusia lain.


Depok, di Hari ke 27 membatasi diri di kos, April 2020


Azmul F. I.


Editor: Retno Pratiwi (Tim Editor Halo Jiwa)



Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.