berbagi cerita
What I Feel in 2 Months (A quarantine diary) - Nooriftita Rizky
“What
I Feel in 2 Months”
Nooriftita Rizky
Akhir
Maret lalu
tepat setelah UTS, aku
dijemput pulang bapak dan ibu. Waktu itu, aku pikir
sekitar bulan Mei aku akan kembali ke kos
dan menjalani kehidupanku sebagai mahasiswa seperti biasa. Tapi kenyataannya
sampai sekarang aku masih di rumah.
Hari-hari awal di rumah, cukup sulit
buatku. Biasanya di kos sesuka hati mau ngapain
aja, begitu di rumah harus ikut aturan orang tua. Sesederhana jam tidur, kalau di kos mau tidur pukul satu dini hari pun gak
masalah, tapi di rumah pukul sembilan malam udah harus tidur. Jiwa kebebasanku seperti meronta-ronta. Seiring waktu berjalan
aku sudah bisa beradaptasi dengan hal itu. Mulai membiasakan diri lagi sebagai
anak rumahan,
seperti dulu sebelum nge-kos.
Ada plus-minus yang aku alami selama berkuliah dari rumah. Plus-nya semua hal atau kebutuhan yang mendasar sudah tersedia, istilahnya
aku nggak perlu usaha lagi untuk melakukan itu. Misalnya seperti makan
dan cuci baju. Minus-nya ya aku jadi
sedikit terlena. Sampai pernah aku baru sadar sudah H-1 pengumpulan tugas.
Hal itu jadi tamparan tersendiri buat aku. Kalau di kos aku strict dengan waktu karena semua aku
lakukan sendiri. Akhirnya, muncul ide untuk bikin to-do-list seperti biasa aku
lakukan di kos. Cukup berhasil karena aku jadi nggak terseok-seok lagi
dalam mengatur waktu. Tapi… ya namanya rasa malas itu tetap muncul. Sempat
nggak nulis to-do-list, jadi
berantakan lagi waktunya. Pelan-pelan mulai lagi, mengulang dari awal.
Memasuki bulan Mei, proposal skripsi
mulai serius harus
dikerjakan. Kadang seminggu-dua
minggu sekali konsultasi dengan dosen pembimbing. Rasanya tegang setiap saat.
Tiada hari tanpa baca jurnal. Kalau udah bener-bener nggak bisa mikir
alias mentok, seharian cuma nonton youtube, baca novel, atau main game.
Dua bulan lebih berada di rumah. Jujur saja,
aku belum bosan sama sekali. Hal yang bikin sedih dari
semua ini adalah nggak bisa ketemu teman-teman. Ketemu sih walau secara
virtual, tapi terasa
masih kurang gitu lho. Inginnya ketemu langsung, ingin peluk. Apalagi sewaktu karantina dimulai adalah waktu terakhirku
magang. Belum sempat ngucapin ‘goodbye’, eh
udah di-‘goodbye’-in dulu sama keadaan. Ah, sedih
banget!
Percayalah… nanti setelah semua ini berakhir, pasti semua akan
jauh lebih indah daripada sebelumnya.
Editor: Laili Faristin (Tim Editor Halo Jiwa)
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.