berbagi cerita
New Normal: Sudahkah Kita Menemukan Kekuatan yang Baru?
Begitulah awalnya, aku dan mungkin kita semua
mempertanyakan, “ada apa dengan dunia ini?”. “Kenapa COVID-19 datang di awal
tahun 2020?”. COVID-19 datang dan menghentikan semua kebiasaan-kebiasaan yang telah
tertata sebelumnya. Bagiku yang seorang mahasiswa, COVID-19 telah menghentikan
seluruh aktivitas yang sudah aku rencanakan di kampus. Kuliah bersama
teman-temanku yang super heboh di kelas sambil mendengar guyonan dosen kami,
bertukar cerita yang tidak ada habisnya di kelas sambil karaoke bersama
memanfaatkan fasilitas kampus, bercengkerama di meja bundar dengan berbagai
topik dari A zampai Z, nugas sampai magrib di koridor, dan shalat jamaah bersama
si cowok-cowok yang berebutan untuk menjadi ma’mun (pengikut). Semua itu dalam
hitungan jam, telah berubah menjadi sebuah interaksi virtual via aplikasi meeting.
Setidaknya kami masih bisa bertukar kabar secara online, masih bisa
saling melihat senyum dan mendengar suara, tapi ada yang masih terasa berbeda.
Entahlah, aku merasa bahwa tak ada yang bisa menggantikan interaksi langsung
itu.
Waktu berlalu, pada akhirnya, sampai detik ini,
aku bisa menerima situasi ini dan melepaskan kejengkelan-kejengkelan halus di
hatiku setelah melalui proses perdamaian dengan diri. Aku pada akhirnya
menemukan keinginan untuk kembali ke rumah meninggalkan kota rantau yang penuh
suka cita, dengan bercucuran air mata. Sungguh bercucuran air mata, tak pernah
menyangka akan meninggalkannya secepat itu dan tak tahu persis kapan akan
kembali lagi.
Aku kembali, aku menyapa kampung halamanku, aku
bertemu bapak dan ibu. Aku menjalani hari-hari kuliah jarak jauh, mengerjakan
tugas di rumah, serta berdiskusi membicarakan tugas kelompok secara virtual.
Bukan hal yang mudah tentunya, butuh penyesuaian-penyesuaian. Penyesuaian
dengan iklim rumah yang penuh dengan atmosfer santai dan liburan. Penyesuaian
dengan pola kehidupan bapak dan ibu di rumah, termasuk penyesuaian dengan gangguan
yang kadang datangnya tak disangka-sangka: jaringan internet yang lambat, atau
keluarga yang meminta bantuan, dan sebagainya. Aku yang tak bekerja kantoran
merasakan penyesuaian yang tak mudah, apalagi mereka yang notabene merupakan pegawai
yang sehari-hari bekerja di kantor dengan segala dinamikanya, lalu tiba-tiba
dunianya berubah. Tentu saja rumah akan berbeda bagi mereka yang terbiasa
bekerja di kantor. Work from Home menjadi tak semudah kedengarannya.
Di tengah tahapan demi tahapan aku menyesuaikan
diri, aku tentunya pernah merasa kesepian, merasa cemas, khawatir, takut dan tak
bahagia. Aku merasa jenuh dan kadang merasa sangat lelah. Duduk seharian di
depan komputer dan mengawasi notifikasi Handphone karena semua informasi
telah berada di sana. HP dan Komputer adalah benda paling berharga saat-saat
ini. Semua berdoa agar kedua benda itu diberikan kelancaran untuk tetap
menemani sang empunya dalam melaksanakan segala aktivitas online. Kadangkala,
aku merasa tak berguna. Jauh di pelosok negeri ini. Tak bisa melakukan apa-apa
bahkan di rumahku sendiri.
Begitulah hari demi hari hingga tak terasa
hampir tiga bulan telah berlalu. Aku melakukan kilas balik. Pada suatu titik,
aku akhirnya menyadari bahwa larut dalam berbagai perasaan negatif membuat
hidupku stagnan, membuat waktuku
terbuang sia-sia, membuat mimpi-mimpi, visi dan misiku hanya tinggal perkataan
belaka. Di suatu malam yang berhiaskan bintang-bintang itu, aku sengaja duduk
di tengah kegelapan sambil menghirup udara yang menyejukkan. Aku membatin.
Seperti sebuah pesan dari langit, sebuah kutipan lama dari buku favoritku
teringat kembali, ‘untuk mengalahkan kegelapan di luar sana, kamu harus
mengalahkan kegelapan dalam dirimu terlebih dahulu’ dan sebuah energi terasa
kembali mengalir dalam diriku. Aku mengucapkan janji pada diriku dan pada alam
semesta, di saksikan oleh Tuhan tentu saja. Aku tak akan tinggal diam dan
terpuruk. Sejak saat itu, aku mengarahkan diriku untuk melihat di balik apa yang
tak terlihat di balik yang terlihat, mencoba menemukan berbagai hikmah yang
terselubung.
Mungkin tak ada yang spesial bagi sebagian
orang, namun bagiku ini adalah suatu pelajaran berharga. Aku menggunakan
waktu-waktu selama tanggap darurat COVID-19 ini untuk rehat sejenak dari
tuntutan resolusi-resolusi tahun 2020 yang kadang membuatku lupa untuk berhenti
dan memikirkan diriku sendiri. Aku menggunakan waktu ini untuk bersama dengan
keluargaku dan mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Aku menggunakan
waktu-waktu ini untuk sering terkoneksi dengan alam, menikmati alam kampung
halamanku, meskipun hanya dari beranda
rumah. Aku menggunakan waktu-waktu ini untuk melakukan hal-hal yang selalu
tertunda ketika aku berada di perantauan. Aku menggunakan waktu-waktu ini untuk
mengenali kembali diriku dan menegakkan kembali tujuan-tujuanku, serta menyusun
kembali rencana-rencanaku.
Aku menemukan kembali kekuatan-kekuatanku. Aku
menemukan kembali tentang kebersyukuran, spiritualitas, keingintahuan,
kecintaan belajar, ketekunan, kerjasama, serta harapan di tengah ketidakpastian. Aku
mempelajari kekuatan baruku; apresiasi akan keindahan, memaafkan, humor, keteguhan
hati, hingga kerendahan hati, yang awalnya selalu tidak mudah bagiku. Pada
akhirnya aku menyadari, mengapa kita tidak pernah berpikir bahwa ini adalah
suatu privilege yang diberikan Tuhan kepada kita yang merasakan dampak
dari COVID-19 ini? Bagi kita perantau, jarang kita bisa pulang kampung dalam
waktu yang lama. Bagi kita pekerja kantoran, jarang kita punya waktu lebih
bersama keluarga. Bagi kita yang selalu ‘berjalan’ dan ‘berlari’, jarang kita
“berhenti sejenak” dan “merasakan nafas” kita.
Banyak hal-hal yang jarang dilakukan, yang
kemudian kita lakukan karena adanya pandemik ini. Termasuk melakukan interaksi
sosial melalui teknologi berbasis internet. Sebelumnya, kita mungkin tak pernah
menyangka akan melakukan kuliah online
hingga setengah semester, melakukan ujian online,
melakukan rapat online, bahkan
melakukan perayaan kelulusan secara online.
Kita tak terbiasa dengan itu semua. Kita tak pernah menjadikan cuci tangan, dan
perilaku hidup bersih dan sehat lainnya sebagai kebiasaan kita. Bagi
orang-orang tertentu, mungkin sebelumnya dia tak terbiasa berkomunikasi dengan
saudara-saudaranya di rumah atau bahkan dengan orang tuanya, tidak terbiasa
tinggal di rumah, serta berbagai ketidakbiasaan lainnya, yang pada akhirnya
menjadi kebiasaan baru. Kita semua, sadar atau tanpa sadar, telah berhasil
melalui sebuah fase penyesuaian menuju bab baru dalam rangkaian cerita kehidupan
kita di bumi. Kita memasuki tatanan yang berbeda, lebih dari perihal penerapan
protokol kesehatan. Tatatan ini juga menyangkut sikap dan persepsi kita, pola
perilaku atau kebiasaan kita, bahkan kepribadian kita.
Apakah kita memang betul-betul memasuki suatu
fase normal yang baru? Atau pada dasarnya kita hanya meninggalkan fase abnormal
kita menuju fase normal? Mungkin saja sebelumnya, kita mengagung-agungkan kebiasaan
berlebihan yang pada kenyataannya tak baik untuk well-being kita tanpa
kita sadari. Kita menjunjung tinggi kebiasaan nongkrong di luar rumah hingga
dini hari sambil mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat hingga kita
akhirnya menghargai waktu dan tubuh kita saat ini. Kita mengelu-elukan makanan
dan minuman bermerek hanya untuk memperoleh pengakuan hingga kita akhirnya
menyadari cinta keluarga kita melalui masakannya di rumah. Kita menganggap
biasa saja untuk bermalas-malasan di kantor dan di kampus hingga akhirnya kita
sangat ingin berangkat ke kantor dan ke kampus. Mirisnya, kita mungkin tak
pernah peduli pentingnya komunikasi langsung dengan orang lain, menatap mata
dan mendengarkan mereka sepenuhnya karena lebih mementingkan pandangan pada
gadget kita, hingga akhirnya sekarang kita merasa jenuh dengan gadget kita dan
merindukan interaksi itu. Mungkin saja selama ini kita berjalan dengan
topeng-topeng kita untuk menutupi diri yang sesungguhnya hingga akhirnya kita
menemukan diri kita yang sesungguhnya dan berubah menjadi lebih apa adanya.
Jawabannya berpulang kepada diri kita masing-masing.
Meskipun demikian, terlepas dari kenyataan
bahwa kita beralih dari fase normal ke normal baru atau dari fase abnormal ke
fase normal, hal terpenting adalah bahwa kita tidak berpindah dari fase normal
ke fase abnormal di sebelah kiri kurva normal (di bawah rata-rata). Mungkin
saja kita berlaih ke fase abnormal di sebelah kanan kurva normal (di atas
rata-rata). Saat itu, Anda menjadi orang yang luar biasa dan bahkan bisa
membawa perubahan besar. Namun kenyataannya, seseorang akan tetap cenderung
senang berada dalam posisi normal, di mana kebanyakan orang akan berada. Apapun istilahnya, inti dari perubahan dan
perpindahan itu adalah kita semua bergerak maju, bukan bergerak mundur.
Bukankah kita menghindari untuk jatuh pada lubang yang sama, kecuali bagi orang-orang
yang merugi? Ada jauh lebih banyak hal-hal yang baik di depan daripada apa yang
tertinggal di belakang, bukan?
Sejarah mencatat bahwa manusia pada akhirnya
bisa melalui krisis-krisis sepanjang hidupnya di bumi dengan kekuatan-kekuatan
karakter yang dimilikinya, termasuk memiliki resiliensi, yaitu kemampuan untuk
beradaptasi dan tetap tangguh dalam situasi sulit. Setelah melalui
krisis-krisis tersebut, manusia menyadari kekuatan-kekuatannya yang mungkin tak
pernah diketahuinya jika dia tidak diperhadapkan pada kondisi tersebut. Beberapa memilih jalan yang tepat untuk terus
bertumbuh setelah krisis, namun tak bisa dipungkiri bahwa beberapa mengambil
jalan yang lain untuk kembali ke belakang atau tetap berada di tempatnya saat
itu. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menemukan kekuatan kita? Sudahkah
kita memikirkan jalan untuk menjalani hidup dan terus bertumbuh dalam tatanan new normal? Saatnya berbenah dan
“menggeledah diri”, agar kita tak tertinggal oleh waktu hingga kita
diperhadapkan pada suatu penyesalan.
Syura Muhiddin
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.