(November Submission) Bissu dan Toleransi terhadap Gender Non-Konforming
Dalam psikologi, kita mengetahui bahwa gender merupakan hal yang fluid dan tidak hanya dikategorikan ke dalam dua hal. Alih-alih laki-laki dan perempuan, mereka mengenal LGBTQ+A1 alias Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer + Asexual. Berarti, kita tidak memasukkan orang-orang dalam gender ini ke dalam gender yang normatif dan konforming. Hal ini disebutkan oleh banyak pihak sebagai nilai Barat. Tapi, apakah benar sebenarnya mereka nilai barat dan tidak ada nilai dalam nusantara yang sesuai dengan hal ini?
Kita mengetahui bangsa Bugis dan Makassar kuno memiliki sistem gender yang berbeda dengan sistem gender modern. Mereka memiliki Laki-Laki, Perempuan, Calalai (perempuan yang mirip laki-laki), Calabai (laki-laki yang mirip perempuan), dan Bissu (atau non-gender). Kelima gender ini merupakan warisan dari kearifan lokal di Indonesia yang kerap dikutip oleh para feminis dan aktivis minoritas gender untuk memberikan analisis post-kolonialis atas kebenaran bahwa “apakah benar LGBTQ+A itu berasal dari barat. Padahal jika kita lihat, sudah banyak nilai-nilai lokal yang juga memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia tidak bias gender dalam sejarah kedaerahannya.2
Sebagai manusia modern kita perlu move on dari konsep bahwa gender hanya ada dua. Justru konsep inilah yang mengandung nilai Barat karena diperkenalkan ketika bangsa kolonial mulai menjajah nusantara. Sebelumnya, utamanya di daerah Bugis, Bissu masih menjadi tokoh suci, Calabai masih menjadi perias pengantin dan Calalai masih menjadi pasukan raja. Kita perlu mempertanyakan apakah benar LGBTQ+A merupakan nilai barat, sementara sebenarnya dalam nusantara kita nilai-nilai tersebut sudah ada. Sehingga, ini menunjukkan bangsa kita sebenarnya menghargai semua gender, tidak hanya gender mayoritas. Orang-orang gender non-konforming sudah pernah dihargai sebelumnya di masyarakat bangsa ini dengan konsep Bissu. Ini membuktikan bahwa tanpa nilai barat masyarakat kita sudah mengedepankan kesehatan mental gender non-konforming dengan menghargai mereka, bahkan Bissu memiliki tempat suci di samping Raja, dan di anggap orang yang dapat menghubungkan manusia dengan dewa karena asexualitas mereka. Sehingga, mereka sangat dekat dengan dewa.
Bissu dulu digunakan masyarakat Sulawesi Selatan sebagai pemanggil hujan, figur yang dapat memohon kepada dewa agar dapat memberkahi tanah Sulawesi Selatan dengan air. Jika kita mengingat ini tentu kita dapat menghargai sahabat-sahabat kita yang merupakan mayoritas gender. Tidak semuanya dapat dikategorisasikan sebagai perempuan dan laki-laki. Hal tersebut merupakan konsep barat yang kemudian diaplikasikan dalam nilai-nilai sosial dan spiritualitas masyarakat pasca kolonialisme. Sementara kini dengan maraknya teknologi kita dapat menemukan bahwa sebelum nilai-nilai Barat masuk sebenarnya daerah kita sudah memiliki berbagai value yang tidak mempersekusi dan tidak mengadili keberadaan gender lain di luar laki-laki dan perempuan. Jika kita membawa ini ke ranah kehidupan sehari-hari, kita dapat memberikan ruang aman bagi gender minoritas dan memastikan tidak ada peristiwa pembakaran transgender seperti yang terjadi di Jakarta.3 Jika persekusi ini tidak ada maka sahabat-sahabat kita yang berbeda gender dapat merasa lebih aman dan tidak merasa ada bahaya terhadap physical dignity mereka. Karena ini kita dapat berkaca pada sistem budaya kearifan lokal ini dalam membuat undang-undang atau menentukan sikap pribadi pada para transpuan dan memberikan mereka Indonesia yang lebih baik. Tentunya akan lebih baik bagi kesehatan mental mereka jika mereka tidak hidup dibayangi rasa takut akan dibakar.
Dalam film Brokeback Mountain juga ditunjukkan bahwa terdapat persekusi pasangan sesama jenis di Amerika zaman dulu. Saat itu di Amerika sering terjadi pembakaran gay, begitu pula di Afrika. Jika kita berkaca pada kearifan lokal mungkin kita juga ingat bahwa mereka juga manusia yang pantas kita lindungi haknya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengadvokasi hak mereka dan dapat ada buat mereka. Adapun kita dapat menjaga kesehatan mental sesame dengan memastikan bahwa hukum di Indonesia menghargai hak asasi setiap manusia. Jika seseorang melakukan melela (come out) pada kita baiknya kita tidak judging dan merasa mereka sama dengan sebelumnya.
Jika seseorang melela (come out) mereka ingin agar kita tidak berubah dan tetap memperlakukan mereka seperti sebelumnya. Adanya Indonesia diharapkan menjadi negara yang aman untuk minoritas gender ke depannya. (*)
Daftar Pustaka:
1 Definisi dalam https://www.apa.org/pubs/journals/sgd yang disetujui oleh
2 https://tirto.id/2000-tahun-mempersoalkan-kelamin-cr2L
3 https://metro.tempo.co/read/1329671/polisi-ungkap-kronologi-pembakarantranspuan-di-cilincing
Editor: Laili Faristin (Tim Editor Halo Jiwa)
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.