Open Submission April - Menangis Adalah Bagian dari Hidup - Izzatus Shobyatin

Menangis Adalah Bagian dari Hidup


 Sebuah Perjalanan Bangkit dari Patah Hati

            Tahun 2017 menjadi tahun kelabu bagiku. Jalinan asmara yang aku rangkai bersama seorang laki-laki yang aku cintai harus pupus. Setelah hampir tiga tahun lamanya aku menyematkan namanya dalam setiap doaku, berharap ia menjadi pendamping hidupku, rasanya doa-doaku hanya akan menjadi mimpi kosong belaka.

            Ini adalah cinta pertama dan patah hati pertamaku. Aku tak tahu ternyata patah hati begitu sakit rasanya. Aku jadi merasa bersalah dengan teman-temanku, yang dulu ketika patah hati justru aku cibir. Seharusnya aku menguatkan mereka. Ternyata patah hati memang begitu pedih dan perih.

            Laki-laki itu datang ke hidupku tanpa pernah aku undang. Namun kehadirannya dalam hidupku menjadi obat atas kepedihan hidup yang aku alami. Ia seperti membawa pelangi dalam hidupku. Kami saling berkisah, saling berbagi kepedihan, dan saling menguatkan. Kami saling berbagi cita-cita dan saling mendukung satu sama lain. Kami juga punya mimpi bersama untuk mengabadikan ikatan cinta melalui pernikahan. Kami saling berjanji untuk tak saling meninggalkan. Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku aku tak akan meninggalkannya dan berjanji untuk selalu menunggunya.

            Harapanku begitu besar padanya. Aku yakin dia memang laki-laki yang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi penyempurna imanku. Maka saat keyakinanku padanya mendahului kehendak Tuhan, takdir berbicara lain. Hubungan kami harus kandas karena kesalahpahaman.  Fakta lain yang membuatku sangat terpukul adalah begitu cepatnya ia melabuhkan hatinya kepada wanita lain. Beberapa minggu setelah kami putus, ia sudah menjalin hubungan baru dengan wanita lain. Padahal aku masih menunggunya dan berharap ia akan kembali. Namun, yang menunggu hanya aku. Ia tak ada niat untuk kembali kepadaku.

            Kenyataan bahwa ia mengingkari janji tak akan meninggalkanku membuat duniaku gelap. Saat mengetahui kenyataan tersebut, aku menangis hebat.  Rasa sakit, marah, kecewa, dan benci menjadi satu. Namun pada saat itu, aku masih memaklumi alasan mengapa ia ingkar janji. Naifnya, aku masih berharap suatu hari ia akan kembali kepadaku. Bagaimanapun keadaan dan rupanya, aku akan menerimanya lagi.

            Cinta tak ada logika bisa jadi benar adanya. Selama setahun pertama pasca putusnya ikatan cintaku, setiap hari aku menangisinya. Kadang aku menangisinya karena aku mengasihaninya. Kadang aku menangis karena merindukannya. Kadang aku menangis karena aku merasa bersalah. Kadangkala aku menangis karena merasa tak sempurna untuknya. Kadang aku juga menangis karena bayang-bayang kenangan bersamanya kini hanya sekedar menjadi cerita masa lalu.

            Patah hati yang aku alami berdampak pada aspek kehidupanku yang lain. Nilai IP kuliahku terjun bebas saat itu. Nafsu makan dan pola tidurku berantakan. Aku juga tak bersemangat dalam menjalani kehidupan. Kenangan tentangnya terus membayangi hidupku dan aku malah abai pada diriku sendiri.

            Memasuki tahun kedua, aku berjanji tak akan menangisinya lagi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melupakannya dan menyibukkan diri sebagai pelarian. Nyatanya, semakin keras usahaku untuk melupakannya justru bayangan tentangnya semakin jelas di pelupuk mataku. Aku sangat frustrasi saat itu. Aku menyesali keadaanku yang masih mengharapkannya. Aku benci diriku sendiri yang tak berdaya.

            Di tahun ketiga, aku berjanji tak akan stalking media sosial miliknya dan tak penasaran dengan kehidupannya. Daripada terus menyangkal dan menolak kenyataan, aku belajar untuk menerima takdir pahit ini. Aku menerima semua perasaan dan tak membohongi diriku. Aku melepaskan semua keinginan untuk memilikinya dan memasrahkan jalan cerita hidupku pada Sang Kuasa. Ketika aku melepaskan semuanya, justru hatiku tenang. Aku merasa kembali kepada jati diriku. Aku mulai menemukan diriku dan mencintai diriku tanpa syarat.

            Patah hati tak selamanya buruk bagiku. Justru lewat patah hati ini aku belajar untuk bijak dan tabah. Aku bisa mengevaluasi diriku di masa lalu dan menjadikan momen kelabu itu turning point sebagai bekal hidup di masa depan. Patah hati mampu menjadi momen pendewasaan diri. Dari pengalaman ini aku belajar memahami diri dan menjadikan diri sebagai rumah terbaik untuk kembali.

            Aku sangat bersyukur mampu melalui fase kehidupan setelah kandasnya kisah asmaraku. Hal ini tentu tak lepas dari dukungan banyak pihak. Adalah keluargaku, yang menjadi penyemangatku melanjutkan hidup. Mereka selalu ada bagiku dalam suka dan dukaku. Mereka menjadi penawar lara hatiku dan mau menerima aku dengan segala kondisiku. Kasih sayang keluarga menghangatkan hatiku sehingga aku mampu keluar dari jurang depresi.

            Teman-temanku menjadi salah satu support system terbaikku. Kala itu, aku di perantauan. Jauh dari keluarga ketika aku mengalami putus cinta. Mereka adalah rumah bagiku di tanah perantauan. Mereka selalu mendengarkan keluh kesahku, memelukku, dan menghapus air mataku. Mereka selalu mendukungku untuk bangkit dari keterpurukan. Mereka teman yang sungguh baik hati. Aku bersyukur, Tuhan mengirim mereka untuk menemani masa sulitku.

            Putusnya kisah asmaraku membuat aku semakin mengenal diriku. Aku yang mampu bangkit dari keterpurukan tak terlepas dari diriku sendiri yang memilih untuk bangkit menjalani hidup. Aku memilih untuk menyelesaikan rasa sakit dan emosiku karena ini tugasku, bukan tugas orang lain. Diriku-lah yang tak pernah meninggalkan aku, yang paling mengerti aku, dan teman berjuangku menjalani masa-masa sulit. Segala pahit, perih dan nelangsa aku terima. Segala perasaan tersebut kini membuatku menjadi lebih bijak dan kuat. Kini aku memilih untuk memaafkan semuanya. Memaafkan lelaki tersebut dan juga memaafkan diriku. Karena dengan memaafkan, hidupku terasa tenang dan hatiku lapang. Kini aku sudah bahagia dengan diriku dan aku sangat berterima kasih pada diriku yang tak pernah meninggalkanku.

            Yang paling utama adalah keyakinan dan harapan yang tak kunjung padam kepada Tuhan. Aku sangat yakin, aku masih bisa berdiri hingga detik ini karena kebaikan Tuhan. Dia selalu menguatkan aku dan selalu memelukku dalam setiap sujudku. Tuhan selalu menghapus air mataku lewat perantara rapalan doa yang kukirimkan ke langit. Dia selalu ada dan tak pernah meninggalkanku. Tak bisa aku bayangkan bagaimana hidupku tanpa Tuhan. Dalam setiap kesulitan pasti Tuhan menciptakan kemudahan. Janji Tuhan untuk selalu memberikan yang terbaik untukku membuat semangat hidupku kembali berkobar. Aku sungguh meyakini janji Tuhanku, yang tak akan pernah ingkar kepadaku.

 oleh : Izzatus Shobyatin

 

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.