Open Submission April - Save Our Soul - Indah Karsunawati
Save Our Soul
Save Our Soul
Aku telah mengenal Tama sejak SMP. Aku
menaruh curiga jika ia ada hati denganku. Sebab ia sering ketahuan mengawasiku
di kelas. Kami kemudian menjadi teman dekat. Kebetulan kami satu SMA. Aku rasa
banyak hal baik yang bisa dibanggakan dari Tama. Dia tipe cowok yang pandai dan
patuh kepada orangtuanya. Kami tetap berkomunikasi meskipun kuliah di kota yang
berbeda. Seringkali kami bertemu saat sama-sama pulang kampung. Ketika kami sama-sama
sudah lulus kuliah tahun 2014, kami berkomitmen
untuk menjadi sepasang calon suami-istri. Saat itu aku sudah bekerja di tempat
magang saya sejak masih kuliah semester 4. Sementara Tama sempat menganggur
beberapa bulan setelah mengundurkan diri dari sales obat yang dilakoninya tiga
bulan saja.
Aku menemani Tama mencari pekerjaan,
memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan, menghadiri tes dan interview. Aku sempat
izin masuk kerja terlambat karena mengantarnya dahulu. Maklum, tempat tesnya
ada di kota tempatku bekerja, yang dia tidak begitu paham daerahnya. Aku
bahagia melakukan itu untuknya. Aku ingin menyemangatinya.
Tama akhirnya diterima di sebuah BUMN. Kami
mulai jarang bertemu karena Tama sibuk. Suatu kesempatan ketika Tama ke rumah,
ibu menanyakan keseriusannya padaku. Saat itu usiaku 24 tahun. Teman-temanku
sudah banyak yang menikah. Tinggal di desa membuat ibuku membanding-bandingkan
aku dengan mereka yang sudah berkeluarga di usiaku bahkan lebih muda. Aku tidak
tahu bagaimana Tama. Siapkah dia? Selama ini dia hanya bilang akan menikahiku
saat dia sudah mapan. Aku sendiri menjawab aku siap menunggu. Kalaupun menikah
saat itu juga aku tidak keberatan karena
aku bukan tipe wanita yang hanya mengandalkan laki-laki. Aku sudah ada
pekerjaan. Aku rasa aku sudah sangat siap untuk menikah dengan Tama yang kucintai.
Hal yang tak pernah ku ketahui sebelumnya
akhirnya terbongkar. Ibu Tama tak menyukaiku. Saat itu Tama dirawat di rumah
sakit karena demam tinggi. Aku dan ibuku datang menjenguk. Hanya tanggapan
dingin yang kami dapatkan. Bahkan terjadi hal yang membuat ibuku tersinggung sampai saat
ini. Saat itu ibuku izin belanja sebentar. Aku diberi waktu untuk menemani Tama
di RS. Aku kaget karena sepeninggal ibuku, ibu Tama membawa Tama pulang. Aku
ditinggalkan begitu saja di RS. Tama terlihat sedih menghadapi ibunya. Aku tak
bisa berbuat apa-apa. Mencoba tersenyum dan menyemangati Tama agar dia cepat
sembuh. Saat mobil yang membawa Tama telah menghilang, aku menangis. Entah apa
yang ada di pikiran ibu Tama. Aku berharap paling tidak Tama dibawa pulang
menunggu ibuku kembali. Atau aku diajak ke rumahnya, nanti aku bisa pulang naik
ojek atau apa. Aku jangan ditinggal sendirian di RS.
Setelah peristiwa itu, sikap Tama kurasa
semakin berubah. Sebenarnya perubahan itu kurasakan sejak ia bekerja di BUMN.
Ia sering pergi berlibur dengan teman-temannya tanpa memberitahuku. Biasanya
dia rajin memberi kabar saat sedang menghabiskan waktu liburan dengan temannya.
Kami memang suka menghabiskan waktu liburan untuk mendaki gunung, ke pantai,
atau sekedar ke taman dan membeli jajan di pinggir jalan. Tapi tidak pernah
bermalam. Orangtua kami sama-sama tipe orangtua yang mewajibkan anak-anaknya
sudah di rumah selepas isya.
Ibuku semakin sering menanyakan kapan Tama
akan melamar. Aku mendapatkan jawaban mengejutkan dari Tama. Tama mengatakan
bahwa ibunya tak suka denganku. Aku tak tahu apa alasannya. Tama tak bisa
menjelaskan. Aku meminta Tama berjuang. Aku tidak melakukan kesalahan yang
pantas dibenci ibunya. Aku juga tak punya niat buruk padanya. Tapi Tama
menyerah. justru menyalahkan ibuku
karena tergesa-gesa ingin kami lamaran. Aku dalam posisi serba salah. Aku
sanggup menunggu Tama, berjuang bersama membuat ibunya suka padaku. Tetapi
ibuku tidak setuju. Ibuku tidak bisa menerima jika calon ibu mertuaku tidak
menyukaiku. Aku diminta mundur. Ibuku terlalu khawatir jika ketidaksukaan ibu
Tama padaku akan mengganggu kebahagiaanku kelak. Masalah ini berlarut-larut
hingga Tama menyerah. Ia tidak tahu lagi bagaimana membujuk ibunya. Sama halnya
denganku.
Bermodalkan dendam, ibu memaksaku menikah
dengan lelaki yang baru aku kenal. Aku lalu
mengejar beasiswa ke luar negeri. Maksudku, melarikan diri dari rhs yang
belum bisa aku terima. Bahwa aku harus kehilangan orang yang aku cintai dan
harus bersanding dengan orang lain.
Di negeri seberang, setiap malam aku
menangisi kisah cintaku. Mengapa aku tidak bisa bersanding dengan Tama? Mengapa
Tama menyerah untuk melanjutkan hubungan kami? Mengapa aku menerima Diki yang
baru aku kenal? Pola pergaulanku dan Diki tidak sefase seperti Tama. Banyak hal
yang aku sukai tidak sesuai dengan prinsip Diki. Begitu pula sebaliknya. Aku
dan Diki sering bertengkar. Tak jarang aku meminta pisah. Aku ingin mengakhiri
semua ini.
Perusahaan Diki membuka cabang di dekat
tempat tinggal ibuku. Diki kebetulan dimutasi ke sana. Ibu dan Diki semakin
dekat. Aku sering mendapat protes dari Diki. Aku anak yang tega. Ibu tinggal
sebatang kara ditinggal pergi jauh. Bahkan suaminya pun ditinggal. Demi apa?
Diki tak pernah tahu gejolak yang aku hadapi. Aku membencinya karena terlalu
sering memprotes. Ia menginginkan aku menemaninya. Membangun rumah tangga yang
bahagia. Dia sudah memiliki pekerjaan. Aku tak perlu bekerja. Apalagi sampai
pergi jauh dari keluarga.
Tama masih terus menghantuiku. Sherly
keponakan Tama masih sering menanyakan kabarku lewat instagram. Aku tak berani
bertanya kabar Tama. Karena aku menghargai Diki. Aku sudah tak pernah
berkomunikasi dengan Tama. Tapi aku memberi tahu Sherly bahwa aku telah
menikah.
Aku sangat tersiksa. Tugas kuliah,
penelitian, organisasi dan masalah keluarga menumpuk jadi satu. Diki jarang
menunjukkan dukungannya padaku yang tengah belajat di negeri orang. Ia justru
menuntutku untuk pulang setiap libur panjang. Aku akui, di mata ibuku Diki
adalah menantu yang ideal. Diki tak pernah merepotkan ibu. Justru Diki banyak
membantu ibu. Menjadi temannya saat aku tak ada.
Pikiranku sering terganggu. Itu berefek
buruk pada nafsu makanku. Aku jarang makan. Jarang mandi juga. Aku hanya ingin
tidur sepanjang hari. Tapi aku tidak bisa melakukannya di asrama karena satu
kamar berisi 6 orang dari berbagai negara. Aku malu dengan kekacauanku. Mataku
sering menangis saat aku tidur. Aku sering tidur di bawah tangga lantai 11
gedung fakultasku, lantai yang paling jarang dijamah orang. Kebetulan di sana
ada papan-papan pameran yang bisa
kugunakan untuk bersembunyi. Aku juga pernah tidur di roof top, di tempat yang
sekiranya sepi karena tempat persembunyianku sedang digunakan untuk pameran.
Aku tak bisa berpikir jernih. Proyek
penelitianku kacau balau. Aku sering membuat masalah di lab. Aku bahkan merasa
telah merugikan profesorku. Aku akan mengundurkan diri tapi tak berani
mengatakannya. Aku sempat mencoba bunuh diri. Kulilitkan hijabku ke hidung dan
mulutku sambil terduduk di kamar mandi. Tetapi seorang cleaning service menggedor-gedor
pintu sampai aku membukanya sebelum aku kehabisan napas. Aku juga pernah mencoba
melompat dari roof top. Tapi tiba-tiba sebuah drone terbang di atasku. Aku
segera turun dari pagar dan duduk di bawah pagar. Aku tak suka orang lain
melihat kekacauanku. Drone itu berputar-putar mengelilingi roof top. Lama
sekali sampai keinginanku untuk melompat urung dan aku meninggalkan roof top.
Kurasa Tuhan belum mengizinkan aku mati.
Aku masih harus merasakan patah hati dan beban pikiran karena harus berkeluarga
dengan orang yang baru ku kenal. Aku menyerah. Pasrah. Uangku habis. Beasiswaku
sudah tidak berlaku karena aku terlambat lulus. Aku mencari part time job
sekedar untuk makan. Aku tak akan meminta Diki. Sampai suatu hari majikanku
memberhentikan aku karena ada teman labku yang melapor bahwa aku kerja paruh
waktu. Hal itu sangat dilarang di labku karena mengganggu kinerja. Memang
bekerja di restoran itu melelahkan dan sangat berpengaruh pada energiku untuk
melanjutkan proyek penelitian.
Saat tak punya uang sama sekali, aku pernah
menemukan bungkusan makanan Indonesia di labku. Aku pikir punya temanku yang
menyukai masakan Indonesia. Tapi sampai malam bungkusan itu masih tergeletak di
meja. Kulihat temanku membuangnya ke tong sampah sebelum ia pulang. Aku sangat
lapar. Sebenarnya punya siapa makanan itu? Sepeninggal temanku, kupungut makanan
itu dari tong sampah. Sambil menumpahkan air mata, kusantap makanan itu. Entah
berapa hari aku sudah berpuasa. Lezat sekali makanan yang barangkali hampir
basi itu.
***
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.