Ruang Refleksi - Refleksi Proses Pendampingan Sebaya : Perjalana Panjang Menuju Kebermaknaan
PERJALANAN PANJANG MENUJU
KEBERMAKNAAN
(Oleh
Afga Yudistikhar, S.Psi.)
Halo Jiwa Indonesia melalui salah satu
programnya, yaitu Ruang Refleksi, turut berkontribusi dalam melayani
masyarakat, untuk mengembangkan kesadaran kesehatan mental. Ruang Refleksi
adalah pendampingan sebaya kepada masyarakat, umumnya remaja dan dewasa awal,
yang mengalami persoalan harian dan sedang membutuhkan teman bercerita. Sebagai
salah satu pendamping, proses yang saya alami cukup beragam dan dinamis. Selama
ini, saya bertemu dengan teman sebaya dari latar belakang yang berbeda-beda dan
gambaran persoalan yang unik. Maka dari itu, sebagai pendamping, saya perlu
menentukan cara-cara yang unik juga, untuk mendekati partisipan.
Biasanya sebelum pendampingan, saya akan
berdoa dan meminta agar Yang Mahakuasa terlibat dalam menuntun saya untuk
mendampingi hamba-Nya. Perlu kerendahan hati untuk sanggup menghadirkan diri
sepenuhnya dan mendengarkan seorang manusia di samping saya, dengan fitrah diri
yang unik dan diciptakan baik oleh Dia. Maka, perspektif yang terbawa selama
pendampingan adalah bahwa seorang manusia yang punya segenap potensi, kebaikan,
dan kekuatan, diarahkan untuk bertemu kami. Lalu ia bercerita mengenai
persoalan hidupnya yang mestinya menjadi tantangan, sehingga sekurang-kurangnya
ada dua kemungkinan, persoalan tersebut adalah hambatan bagi potensinya atau
justru merupakan langkah mundur untuk melejit sebagai versi diri yang lebih
baik.
Bagi saya, Ruang Refleksi adalah
perjalanan untuk belajar dari pengalaman hidup orang lain. Sampai kemudian bisa
menyadari bahwa setiap orang sedang berjuang dengan kisahnya masing-masing.
Semua emosi yang dirasakan nyata adanya dan setiap perjuangan tidak dapat
dibandingkan satu sama lain. Karena meski peristiwa yang terlihat serupa,
proses yang dilalui dan kepribadian setiap orang berbeda. Akan tetapi, satu hal
yang perlu disadari bahwa terdapat suatu pola di mana perjalanan panjang menuju
kebermaknaan diawali dengan penerimaan. Terkait hal ini, setiap orang
menunjukkan respons yang berbeda-beda terhadap peristiwa yang sebenarnya
netral. Semakin rela seseorang untuk menurunkan egonya, kemudian memilih rendah
hati untuk menerima, maka akan semakin mudah pula perjalanan menuju kebermaknaan
itu. Akan tetapi, kembali lagi setiap manusia unik dan dinamis, apa yang kita
lihat sebagai kurang rendah hati, ternyata saat diselisik lebih jauh ada
insekuritas, lalu melahirkan kecenderungan mempertahankan diri sebagai respons
trauma psikologis atau pada kasus lain untuk melindungi diri sendiri dari
kemungkinan serangan orang lain, yang lagi-lagi dipersepsikan secara subjektif.
Maka dari itu, sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia Psikologi, sangat
penting untuk mawas diri agar tidak mudah menilai orang lain. Sebagaimana kata
orang bijak, kita tidak akan pernah tahu kondisi seseorang, sebelum kita
menjalani kehidupannya dan melihat dari balik bola matanya.
Pendekatan spiritualitas juga ada kalanya
terlibat selama proses pendampingan. Terkadang sebagai pendamping, saya
memaknai bahwa serangkaian persoalan yang dialami oleh partisipan, sebenarnya adalah
bukti betapa besar kasih sayang Sang Pencipta. Ada kalanya, masalah adalah cara
Dia melindungi kita dari hal-hal yang tidak baik, sementara Dia Yang Mahatahu.
Misalnya, pada suatu kasus seorang partisipan bercerita mengenai pasangannya
(dalam konteks relasi pacaran), yang dinilai kerap melakukan kekerasan, lalu ia
menjadi terpuruk dan menyalahkan diri sendiri. Sebagai orang yang tidak mengalaminya
secara langsung, saya iri dengan partisipan tersebut, di mana dari sudut
pandang saya, bisa saja Tuhan sedang menunjukkan siapa pasangannya, sebelum
berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Lalu kemudian, ada kesan penolakan,
bahwa jika demikian, mengapa tidak dari awal saja, sekalian Tuhan tidak
mempertemukan ia dengan pasangannya yang sekarang. Saat itu, hati saya
tergelitik, “Bukankah Anda sendiri yang memilih jalan itu. Entah sebelumnya,
sudah seberapa banyak petunjuk yang Dia kirimkan, tapi pada akhirnya Anda tetap
memilih pasangan Anda. Lantas meski sudah seperti itu, Tuhan masih sangat
sayang kepada Anda, dengan menunjukkan siapa pasangan Anda sebenarnya.” Lalu
partisipan itu terdiam dan mengangguk, dengan mata berkaca-kaca.
Pada kasus yang lain, terdapat partisipan
yang masih menyalahkan situasi, peristiwa, orang lain, dan segala hal di luar
dirinya. Kemudian ada kecenderungan menolak perspektif yang diberikan. Biasanya
partisipan dengan pola seperti ini, akan menuliskan “Belum merasakan efek
pendampingan” di formulir evaluasi. Memang benar, bahwa sangat susah ketika
yang kita hadapi dalam proses pendampingan adalah ego yang terluka. Karena yang
ditunjukkan adalah kemarahan, kadang-kadang juga ada kebencian. Di situasi
seperti ini, menurut saya sudah ranah profesional, ketika perspektif baru susah
untuk diterima, karena tebalnya dinding ego. Ketika seseorang masih melihat
segala permasalahan disebabkan oleh hal-hal di luar diri, dan menolak untuk
rendah hati mengakui dan menerima peristiwanya, maka perjalanan menuju
kebermaknaan akan lebih jauh. Sebenarnya, tujuan kehidupan ini bukanlah untuk
mencapai kebahagiaan, tapi bagaimana kita bisa memaknai setiap peristiwa.
Terkadang kita tidak perlu mencari-cari siapa yang patut disalahkan, bukan orang
lain dan tidak juga diri sendiri. Di situasi seperti itu, kita hanya perlu
menerima peristiwa sebagaimana adanya. Pada akhirnya, kita perlu mengedepankan
empati, pemahaman, dan belas kasih. Lalu, berikan otonomi untuk menghadapi
persoalan. Bagi sebagian orang, butuh waktu yang tidak sebentar. Tidak masalah,
selama kita terus berproses dari hari ke hari. Selebihnya, biarlah kesehatan
mental menjadi pilihan terbaik bagi setiap orang.
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.