Open Submission November - Inner Child - Sosok Dwi Fitriani

 

 INNER CHILD

SOSOK “DWI FITRIANI”


         Hi, teman-teman! Perkenalkan nama lengkapku Dwi Fitriani. Aku lebih akrab dengan panggilan Fitri sejak kecil. Aku anak kedua dari empat bersaudara dan merupakan anak perempuan satu-satunya di keluargaku. Saat aku umur 1 tahun 3 bulan, kakak pertamaku meninggal dunia karena wabah demam berdarah di tahun 1998. Sejak itu, aku mengemban amanah menjadi kakak tertua dan teladan untuk adik-adikku. Saat ini, aku merantau untuk menyelesaikan tesis di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja.

         Aku lahir dari keluarga abdi negara. Jadi, aku sudah terbiasa mengikuti pindah tugas orang tua sejak kecil. Bapak adalah polisi dan Mama adalah pegawai negeri sipil di bidang kesehatan rumah sakit yang dinaungi oleh POLRI juga. Aku lahir di Manado, dan dari umur 2 tahun sudah dibawa oleh orang tua untuk menjelajahi Jawa, Manado, Tegal, Jepara, Kudus, dan akhirnya sekarang aku dan keluargaku berdomisili di Kota Manado Sulawesi Utara. Aku ingin bercerita mengenai pengalaman masa kecilku sebelum aku beranjak remaja dan akhirnya memasuki fase dewasa.

Sejak aku kecil, orang tuaku bersikap cukup otoriter. Sedangkan aku bisa dibilang adalah anak yang suka mengeksplor banyak hal dan suka nekat jika dilarang. Aku memiliki pengalaman yang buruk dengan figure Bapak. Sebagai anak perempuan, aku merasa dia tidak mencintai aku seperti anak perempuan lainnya yang banyak disayang oleh Bapak mereka. “Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing”, begitu nasihat dari salah satu sahabatku. Sosok Bapak adalah pribadi yang sulit untuk mengendalikan emosi atau kita lebih mengenalnya dengan emosional yang meledak-ledak (temperamental). Jadi, aku pun sampai saat ini masih menganggap Bapak adalah sosok yang dingin dan menakutkan.

Ada beberapa alasan mengapa aku menyimpulkan demikian. Ketika Bapak memerintahkan sesuatu dan tidak langsung dilaksanakan, dia akan bisa marah besar. Saat aku TK, aku melihat Bapak membentak kasar ke Mama. Dia juga pernah membalikkan meja makan dan seluruh isinya sampai berpindah tempat di depan aku, Mama, dan juga adik-adikku. Aku pribadi menganggap orang tuaku terlalu mengekang dan over protektif ke anak-anaknya terutama aku sebagai anak perempuan.

Ada salah satu kesalahan fatal yang pernah aku perbuat. Kronologinya, saat itu bulan puasa, dan menjelang berbuka ada pengajian di masjid, dan orang tuaku terutama Bapak mewajibkan aku dan adik-adikku untuk mengikuti kegiatan itu. Saat itu hujan deras, dan sepupu-sepupuku mengajak untuk mencari keong di sawah. Aku mengiyakan. Adikku bersamaku saat itu, tapi dia memilih pulang karena dia takut Bapak marah besar. Aku tetap nekat, karena itu pertama kalinya aku main hujan. Tiba-tiba Bapak datang memakai motor RX King-nya, dan sudah membawa sebatang daun yang biasa jadi makanan kambing dan teriak dari jauh memanggil namaku. Langsung aku lari terbirit-birit keluar dari sawah. Sesampai di rumah, kejadian itu waktu aku umur 9 tahun kelas 4 SD, aku langsung bergegas mandi di sumur. Bapak datang marah-marah dengan muka merahnya, dia mengambil selang air, dan sebanyak 5 kali dia memukul aku tepat di pantat. Adik bungsu melihat dengan rasa kasihan dan Mama juga seperti itu. Jika aku dan adik-adikku berbuat salah Bapak sering bermain tangan memukul kepala dan wajah kita. Dan itu sering terjadi sampai kita menginjak Sekolah Menengah Pertama.

         Aku sering merasa tidak adil, karena Bapak sangat ringan tangan untuk memukul anak-anaknya. Ketika aku sering bertanya perihal itu, alasannya untuk membuat kami bertiga jera dan tidak melakukan kesalahan itu kembali. Tapi, sejujurnya pengalaman itu membuat aku dan adik-adikku trauma dengan kejadian tersebut. Bahkan saat aku sudah beranjak SMA dan memasuki bangku kuliah, setiap Bapak mengangkat tangannya, sugesti di kepala ku “Dia pasti akan memukul aku..” padahal realitanya tidak terjadi demikian. Trauma dan ketakutan itu terus menghantui aku sampai saat ini. Dan perihal hubungan dengan lawan jenis, aku pribadi paling menentang pasangan yang kasar secara verbal dan temperamental, karena trauma masa kecilku akan kembali teringat lagi. Semenjak aku SMA Bapak sudah tidak bermain kasar secara fisik. Dia lebih menyudutkan aku dalam hal verbal. Setiap usaha yang aku lakukan jarang dihargai. Karena di pikiran Bapak aku harus menjadi Polisi Wanita (Polwan), tetapi aku gagal. Dan kegagalanku dijadikan bahan ejekan ketika kumpul keluarga. Aku memilih S1 mengambil Psikologi, dia meremehkan “Mau jadi apa kamu? Mau kerja apa kamu?”. Aku tidak banyak berkomentar jika disudutkan seperti itu. Mungkin hanya bisa menangis, kenapa Bapak bisa sejahat itu mengkritisi setiap keputusan anak perempuannya.

         Kemudian, perlahan aku melihat perilaku Bapak mulai berubah. Mungkin karena faktor umur juga, beliau juga makin mulai melunak. Aku bisa lulus S1 tepat waktu 4 tahun menjadi awal yang hebat dan aku bisa melihat beliau bangga padaku. Setelah itu aku mencoba mendaftar CPNS 3x dan masih gagal, karena mungkin Tuhan menginginkan jalanku memberikan hadiah gelar Magister untuk Bapak dan Mama. Dan semenjak aku jauh dan merantau dari Bapak, beliau terlihat yang paling khawatir dengan keadaanku.

         Yang bisa disimpulkan dari ceritaku, bahwa setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dan tidak selamanya badai akan selalu badai, tapi akan ada pelangi indah setelah badai berlalu. Orang tua memiliki cara yang berbeda untuk membentuk karakter pada diri anak mereka. Namun, terkadang belum semua orang tua paham tentang bagaimana cara menasihati anak dengan tepat, sehingga terkadang maksud nasihat itu baik namun di dalam mindset anak menjadi sebaliknya, bahkan bisa menimbulkan trauma. Hubunganku dengan Bapak jauh lebih baik sekarang. Memahami dan sayang dengan karakter beliau membutuhkan waktu dan kesabaran ekstra keras untuk aku sebagai anak perempuan satu-satunya beliau. Bapak sekeras itu, karena punya inner child yang lebih buruk dibandingkan aku, menjadi yatim di umur 3 tahun dan memiliki Ibu yang kurang peduli dengan keadaan anak-anaknya. Sehingga Bapak dari kecil sudah ikut orang lain, mandiri dan bekerja keras untuk mencapai mimpi-mimpinya. Ada salah satu nasihat dari Ustazah dr. Aisah Dahlan “Keburukan inner child tidak bisa dihapuskan apalagi kita lupa, dengan kita menerima, berdamai dan memaafkan menjadi kunci utama agar hati kita semakin ikhlas”.

Semoga Allah jaga Bapak dimanapun dan kegiatan sibuknya Bapak. Sehat selalu lelaki hebatnya Fitri. Semoga pengalaman ini bisa menguatkan kita dan menjadi inspirasi untuk kita semua ya.

 

--Dwi Fitriani, S.Psi

085237049026 (WA)


Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.