Manusia adalah makhluk yang penuh misteri dan tidak ada habisnya untuk terus dikaji. Maka, studi tentang manusia dan perilakunya terus berkembang pesat hingga saat ini. Setiap manusia diciptakan dengan fitrah yang selalu menghendaki pada kebaikan. Dalam tradisi transendensi Islam, manusia terdiri dari nafs, jasad, dan ruh. Selama ini, Psikologi Barat banyak mengkaji pada ranah nafs. Sementara itu, ilmu kedokteran dan banyak keilmuan lainnya berfokus pada ranah jasad. Namun, banyak hal yang tidak dapat dijelaskan jika pembahasan hanya sebatas pada area yang paling dekat dengan dunia ekstrinsik. Padahal, hakikatnya jiwa manusia semakin diselami ke dalam, maka akan semakin terungkap jati dirinya.
Dalam kajian humanistik, khususnya teori hierarki kebutuhan dari Maslow, dijelaskan tentang kebutuhan paling dasar yang berkaitan dengan fisiologis. Lalu, kebutuhan yang paling tertinggi, yaitu aktualisasi diri, yang pada versi lain juga terdapat kebutuhan kognitif dan estetik. Pada konsepsi tersebut ditekankan bahwa individu baru dapat mencapai tingkatan yang lebih tinggi (rasa aman, cinta, keberhargaan diri), apabila tingkatan sebelumnya telah dipenuhi (kebutuhan fisiologis) (Maslow, 1943; Wiramihardja, 2007). Namun, dalam realitasnya konsepsi ini tidak cukup komprehensif dalam menjelaskan fenomena tertentu. Misalnya, pada orang yang menjalankan ibadah puasa, namun tetap dapat produktif dan menjalankan aktualisasi dirinya. Atau orang yang kekurangan tidur di malam hari karena fokus beribadah, namun memperoleh energi yang cukup untuk menjalankan aktivitasnya sepanjang hari. Atau pun orang yang sedang serba kekurangan secara fisiologis, tapi tetap dapat mengutamakan kepentingan orang lain. Sebut saja banyak kasus di mana orang yang kurang mampu secara finansial, justru lebih pemurah dalam menolong orang yang kesulitan, dibandingkan dengan orang-orang yang berkecukupan secara materi. Bahkan, tidak sedikit orang yang diberi amanah berupa kelebihan harta, malah masih menginginkan hak orang lain (contoh, korupsi). Kenyataan ini mengarahkan kepada kita bahwa sebenarnya terdapat jenis kebutuhan yang lebih fundamental dibanding sekedar fisiologis. Secara bersamaan, kebutuhan tersebut sekaligus menjadi pencapaian tertinggi umat manusia. Hal ini mengarah pada kebutuhan transendental, yaitu suatu dorongan dasar untuk terhubung dengan makna dan hakikat dari jiwa manusia, yang pada akarnya akan terkoneksi dengan ruh keilahian.
Apabila diselisik dari naskah-naskah Timur, konstruksi mengenai transendensi telah ada jauh sebelum Psikologi Barat ditemukan. Bukan hanya pada tradisi Islam saja, juga termasuk Buddhisme, Hindu, Konghucu, dan Kristen. Akan tetapi tulisan ini lebih difokuskan pada kajian Psikologi Islam, sebagai suatu pendekatan dalam memahami hakikat manusia. Islam memandang manusia sebagai makhluk paling mulia, sampai-sampai pada penciptaan mula-mula, malaikat diminta untuk bersujud kepadanya. Lalu, Iblis dengan menyombongkan diri enggan untuk bersujud, sebab manusia hanya diciptakan dari tanah liat yang berasal dari lumpur hitam. Sampai di sini, jika hanya melihat pada aspek fisik atau berhenti sampai di ranah nafs dan jasad, maka memang rentan miskonsepsi dalam memandang manusia (Ancok & Suroso, 2000). Akan tetapi, satu hal yang luput dari pandangan iblis (sebagai metafora), bahwa di balik jasad dan nafs (tanah liat dari lumpur hitam), terdapat sumber cahaya di dalam diri setiap manusia, yang mana berasal dari Sang Khalik. Maka dari itu, hakikat dari manusia adalah akal dan hati nurani, suatu paket lengkap yang mendukung tujuan penciptaan manusia, yang mana tiap orang berbeda. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari manusia yang dapat menyadari makna ini, sehingga akal dan hati nuraninya tidak berkembang hingga batas potensialnya, lalu menjadi sia-sia dan mubazir. Pada akhirnya, kita lebih sering mengkaji terkait jasad dan nafs, tapi luput untuk menjangkau lebih dalam, sehingga tersingkap jati diri dan tujuan penciptaan tersebut. Maka, tidak heran banyak penguasa yang zalim dan orang-orang yang memandang indah keburukannya. Sebenarnya, mereka telah menjadikan tingkatan nafs terendah (nafs tirani) untuk menguasainya. Manusia jenis seperti ini digambarkan oleh Tuhan, tidak lebih baik dari hewan ternak. Sebab, nafs tirani sendiri merupakan bagian dari dorongan dasar yang bersifat hewani, buas, berorientasi kesenangan, dan selalu menuntut untuk segera dipuaskan (dalam konstruksi psikoanalisis dikenal sebagai ‘id’). Sayang sekali, kalau sampai di ujung hayat, diri ini masih terbelenggu oleh nafs tirani dan luput untuk mengeksplor jauh ke dalam diri. Maka, pantas saja terdapat golongan orang-orang tertentu, yang kelak di Hari Akhir, tidak akan disapa oleh Sang Khalik, sebab Dia sendiri sudah tidak mengenal hamba-Nya (karena mereka telah menyalahi diri-fitrahnya).
Apabila ditinjau dari teori Psikologi Barat, khususnya dalam perspektif psikoanalisis, manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan ketidaksadaran yang berupa nafs tirani atau ‘id’. Id bersifat impulsif, agresif, berkaitan dengan libido, yang merupakan manifestasi konflik-konflik dalam diri manusia atau pengalaman traumatis yang ditekan (mekanisme represi). Dorongan id menekankan pada prinsip kesenangan dan menuntut untuk selalu dipenuhi. Maka dari itu, individu perlu memperkuat struktur kepribadian lainnya, berupa ego. Dalam hal ini, ego memiliki peran untuk mengarahkan dorongan id yang impulsif, agar bisa disalurkan sesuai dengan porsi yang diterima oleh realitas lingkungan sosial. Di samping itu, ego perlu didukung oleh superego yang berisi seperangkat aspek moralitas, sehingga dorongan-dorongan dalam diri dapat dimunculkan tanpa melanggar aturan-aturan dan etika, yang mengatur mengenai bagaimana manusia semestinya menempatkan diri secara adaptif dalam lingkungan sosialnya (Lapsley & Stey, 2011). Berbeda dengan konstruksi tersebut, Psikologi Islam memandang manusia secara luhur, di mana setiap insan memiliki fitrah yang diciptakan baik dan selalu menghendaki pada kebaikan. Dorongan-dorongan nafs tirani (id) bukanlah suatu bagian fundamental, melainkan sebagai ‘hijab’ yang menjadi tabir/penghalang dari cahaya dalam diri manusia yang maha rahasia. Untuk mengenali cahaya tersebut, maka manusia perlu untuk menyingkapkan tabirnya atau dengan kata lain tidak membiarkan diri terbelenggu oleh nafs tirani.
Sama halnya dengan gangguan mental. Dalam konstruk Psikologi Islam, masalah pada jiwa dan jasad, merupakan peringatan bahwa hati perlu untuk segera dibersihkan. Berbagai tuntunan peribadatan sebenarnya merupakan intervensi atau terapi yang diperuntukkan untuk penyucian hati (Naan, 2018; Sukmawati, 2020; Zaini, 2015). Hanya saja persoalannya, praktik peribadatan sering kali hanya sebatas rutinitas, bukan sebagai ritual yang dimaknai. Maka, terdapat istilah men-diri-kan salat, yang sejatinya mengandung makna bahwa salat mestinya tidak sekedar hanya dilaksanakan sesuai dengan urutan gerakannya, tapi seyogianya men-diri atau merasuk ke dalam jiwa, sehingga termanifestasikan melalui ketenangan batin dan akhlak yang mulia kepada sesama. Maka, tidak heran, salah satu syarat yang ditekankan dalam salat adalah tuma’ninah atau upaya untuk menjiwai. Kadang-kadang apabila telah mengupayakan untuk sampai ke level tersebut, pengalaman yang dijumpai ketika salat bisa beragam. Misal, ada yang sampai dapat melihat Ka’bah di hadapannya atau seakan-akan berada di tengah-tengah jagad raya, atau pada kasus lain melihat dirinya berada di dalam suatu ruang Cahaya. Meski tanpa pengalaman terlepas dari ruang dan waktu, ketenangan yang mengarahkan kita pada belas kasih, merupakan esensi yang lebih utama dari praktik peribadatan itu sendiri. Tentunya, semua terjadi atas izin Allah SWT..
Untuk dapat melihat jauh ke dalam diri, dibutuhkan suatu penglihatan batin. Sementara itu, penglihatan baru bisa terbuka, jika kita telah membebaskan diri dari semua hal-hal kesenangan duniawi (tanpa berusaha untuk meninggalkannya). Selama kita masih membiarkan nafs tirani (dalam psikoanalisis disebut ‘id’) menguasai kita, maka penglihatan tersebut ibarat cermin yang tertutupi debu atau seperti melihat bayang-bayang di genangan air yang keruh. Inti sari dari semua ini adalah cinta. Sebenarnya, Tuhan sering kali berpesan dan mengajak kita untuk menapaki jalan cinta-Nya. Melalui penderitaan, kemelaratan, kesempitan duniawi, dan hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya, merupakan bahasa Tuhan. Bisa dibayangkan betapa banyak manusia yang hidupnya dilalaikan karena terbiasa dengan kemewahan. Jadi sebenarnya kondisi hidup yang tidak mudah, misalnya pernah mengalami kekerasan atau pengalaman tidak dicintai, merupakan seruan Tuhan bahwa cinta yang kekal hanya bersumber dari-Nya. Cobalah dilihat kembali ke dalam dirimu, jangan-jangan Tuhan sedang memanggilmu selama ini. Jika demikian, maka bersiaplah, sebab jalan ini mendaki menuju Dia Maha Tinggi. Pada mulanya akan terasa sangat sulit. Namun, begitu engkau memberanikan diri, akan banyak kemudahan-kemudahan dan keajaiban sebagai penghiburan, layaknya pos-pos peristirahatan saat pendakian (termasuk pemandangan alam yang luar biasa indah). Mungkin akan ditemui di mana satu per satu orang terdekat akan menjauh, teman jadi berkurang, atau bahkan kejadian demi kejadian membuatmu ragu dan ingin berbalik ke belakang. Itulah bagian dari tantangannya untuk menguji ketulusanmu (Frager, 2014). Bahkan, tukang sisir Fir’aun dan anak-anaknya rela melompat ke dalam minyak panas, karena cintanya yang begitu besar.
Pada dasarnya, segala sesuatu merupakan bagian dari kekuasaan dan kehendak-Nya, maka mintalah pertolongan. Kembalikan segala sesuatunya kepada Sang Khalik. Sebab jika direnungi kembali mengenai nikmat dan karunianya yang tak terbatas, di mana manusia diberikan anugerah kelahiran hingga dijanjikan surga/keridaan yang tak sebanding dengan amalan, maka niscaya kita akan sadar bahwa satu-satunya kesempatan untuk berterima kasih kepada Tuhan hanyalah di dunia ini. Sebab kelak di Hari Akhir, saat perhitungan hisab telah dirampungkan, tak ada lagi peribadatan dan pengabdian. Maka bersegeralah untuk mensyukuri nikmat-Nya. Jangan seperti orang-orang yang baru tersadar ketika dihadapkan pada pertemuan dengan-Nya, lalu kemudian menyesal dan ingin kembali ke dunia sekali lagi, hanya untuk sekedar beribadah/berterima kasih kepada Tuhan (sebab Tuhan dengan Kemurahan-Nya telah memaafkan semua kesalahan-kesalahan). Wallahu A’lam Bishawab.
Referensi:
Ancok, D., & Suroso, F. N. (2000). Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Pustaka Pelajar (Yogyakarta).
Frager, R. (2014). Psikologi Sufi: Untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh. Penerbit Zaman (Jakarta).
Lapsley, D. K., & Stey, P. C. (2011). Id, Ego, and Superego. Encyclopedia of Human Behavior, 2.
Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Personality: Critical Concepts in Psychology, 370-396.
Naan, N. (2018). Model Terapi Ibadah dalam Mengatasi Kegersangan Spiritual. Syifa Al-Qulub, 2(2), 98-107.
Sukmawati, T. (2020). Salat Sebagai Media Terapi Jiwa Perspektif Tafsir Sufistik Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi. (Skripsi) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.
Wiramihardja, S. A. (2007). Pengantar Psikologi Klinis. PT Refika Aditama (Bandung).
Zaini, A. (2015). Salat Sebagai Terapi bagi Pengidap Gangguan Kecemasan dalam Perspektif Psikoterapi Islam. Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 6(2), 319-334.
Ditulis oleh: Afga Yudistikhar, S.Psi.
Tidak ada komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.